1965

Menjelang Setengah Abad ‘1965’

1965 Tribunal | Editorial | Opini | Tue, December 16 2014

Written by Aboeprijadi Santoso · 2 min read >
Illustration: Nobodycorp.

Hampir limapuluh tahun negeri ini memikul sebuah hutang besar. Sering, bahkan amat sering, kita lupa, dan sengaja melupakan, hutang moral-politik itu – melupakan suara nurani terhadap sebuah tragedi besar di masa lalu. Hampir setengah abad lalu pembantaian manusia melanda seantero Indonesia sejak 1 Oktober 1965, berbareng dan disusul dengan perburuan, penangkapan ilegal, pemenjaraan, aniaya, pelecehan seksual, penghilangan-paksa, pembuangan, penistaan, stigmatisasi dan pengingkaran hak-hak sipil terhadap seluruh mereka yang dicap sebagai ‘terlibat’ Peristiwa 30 September 1965 dan keluarga, kerabat dan sahabat mereka. Kata ‘terlibat’ menjadi dasyhat karena dapat menghabisi nyawa.

Tak hanya itu. Semua itu disusul pembiaran dan ketidakpedulian – dalam kosakata masa kini: “EGP: Emang Gue Pikirin” – terhadap kejadian, terhadap para dalang, para pelaku dan para korban dari keseluruhan musibah yang kita sebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. 

Dengan kata lain, tiga ihwal – yaitu kejahatan yang tertutup tabir, amnesia, dan impunitas – itu kini menuju usia setengah abad tanpa kita mengetahui seutuhnya apa yang terjadi, siapa dalang dan pelakunya, dan bagaimana nasib para korban dan penyintasnya. Ketiganya berjalin-kelindam, lalu bermuara disini: kita tak tahu seutuhnya ihwal kebenaran, dan ihwal cara dan upaya meraih keadilan yang teraniaya itu.  

Padahal setiap kekerasan merupakan perendahan martabat, dan setiap kekerasan yang massaal adalah perendahan martabat kemanusiaan. Walhasil, hutang moral bersama tadi perlu dibayar dengan nurani yang berbicara dalam suatu langkah kebersamaan. Tak hanya demi keadilan bagi korban dan penyintas, tapi juga demi kebersamaan kehidupan bangsa dan sesama yang lain, kedepan. 

Oleh karena itu, sejumlah teman selaku tim peneliti, tim hukum dan aktivis, di Indonesia mau pun di pelosok dunia, memprakarsai suatu tribunal rakyat, International People’s Tribunal (IPT) – sebuah proses yang, meski pun bukan formal dan tak menjanjikan kompensasi bagi korban dan penyintas, namun hendak menyingkap tabir, menelisik peristiwa-peristiwa dan menuntut negara agar bertanggungjawab dan menindaklanjutinya demi hukum (Lihat Preambule). 

Tahun ‘1965’, demikian pernah dijuluki, adalah ‘tahun yang tak pernah berakhir’. Julukan itu berteriak ketika di Afrika Selatan dan di banyak negeri Amerika Latin, tragedi serupa – setidaknya sebagian penting – berhasil dilampaui melalui proses peradilan transisional dalam transformasi pasca-keotoriteran, namun tak terjadi di Indonesia – juga tidak, misalnya, di Spanyol.

Disana, para tokoh penanggungjawab maha prahara tersebut dilimpahi impunitas. Di Spanyol ini terjadi melalui apa yang disebut ‘Pakta Diam’ yang disusul amnesti demi hukum bagi para penyokong Jenderal Besar Franco yang terlibat pelanggaran HAM, sedangkan di Indonesia idem dito melalui impunitas yang diam-diam dibiarkan lestari, bagi para penyokong Jenderal Besar Soeharto yang terlibat pelanggaran HAM.

Untuk itulah, kami perkenalkan situs web ini, yang hendak mengawal dengan cara mengabarkan proses tribunal dan datanya, serta membuka mimbar informasi, data dan tanggapan dari, dan bagi, siapa pun dan dimana pun. Dengan semangat itu, kami ajak Anda memanfaatkan, menanggapi dan bekerjasama dengan proses tribunal ini.

Dengan latar sejarah kelam tadi, tiga penulis kami undang untuk membuka sajian situs web ini. Sastrawan Martin Aleida pernah menulis bahwa membongkar masa silam sesungguhnya “tidak untuk mencari air mata, tapi mengulurkan tangan kepada korban keganasan dalam peradaban kita yang cacat”. Dengan upaya tribunal rakyat ini, lanjutnya, tibalah kita pada “pintu demokrasi saat mana suara dan jeritan keadilan korban (..) mendapat tempat dalam sejarah negeri ini.” Upaya itu, menurut Wijaya Herlambang, memang tak mudah karena, dalam beberapa saat dan tahap, dapat “menuntut perlunya transformasi ideologis”.

Hampir setengah abad perjalanan sejarah yang kelam itu dilalui dengan membiarkan yang kelam tetap kelam, padahal kejahatan masif yang terjadi terhadap penduduk tak bersenjata bukanlah sesuatu yang layak untuk – lagi lagi – dimaafkan.

Oleh karena itu, akhirulkalam, bersama John Roosa, pantaslah kita simpulkan bahwa bagi para pelaku yang membuat masa silam itu kelam sebenarnya hanya berlaku: “No more excuse!”.

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *