1965

SOAL 1965: KBRI Den Haag ‘Ancam Mahasiswa’

Facebook | Thu, November 05 2015

Written by Aboeprijadi Santoso · 2 min read >
Photo: Via newmandala.org

Pangkatnya Letnan, namanya Rusdianto. Nah Letnan ini rupanya memainkan peran yang di zaman Orde Baru sering disebut dongeng “Intel Melayu”. Setelah rangkaian sensor – kasus Majalah Lentera di Salatiga dibreidel dan Festival Penulis UWRF di Ubud dibatalkan – kini giliran Perwakilan R.I. di Belanda melakukan sejumlah intimidasi terhadap mahasiswa Indonesia di Leiden.

Menurut sejumlah narasumber yang saya hubungi, Sang Letnan itu datang ke Leiden, dimana banyak mahasiswa Indonesia menempuh studi, lalu mengaku ingin kuliah di Universitas Leiden. Pembicaraan dengan cepat melantur ke bidikannya: soal 1965 dan rencana IPT 1965 (International People’s Tribunal tentang kejahatan kemanusiaan 1965) yang akan menggelar sidang di Den Haag pada 10 s/d 13 Nov. yad. Sekitar seminggu kemudian rombongan ‘Intel Melayu’ ini kembali ke Indonesia. Tapi kisahnya tak berhenti disini, justru baru berawal. Dua mahasiswa Indonesia di Leiden mendapat peringatan. Salah satunya, Ketua PPI Leiden, dipanggil Atase Pendidikan ke kantor perwakilan, sedangkan satu lagi, yang merupakan pimpinan PPI Belanda ditelpon. Pesannya: Awas ada “gerakan komunis baru”. Mereka “mengancam mahasiswa” dengan meminta menimbang konsekuensinya pada beasiswanya, jelas sebuah sumber.

Masalahnya berkembang ketika muncul edaran IPT yang menawarkan kerja relawan dalam rangka penyelenggaraan IPT 1965 tsb. Yang menarik, soal itu sendiri sudah dibicarakan dalam Facebook PPI Leiden sebelum kedatangan sirkus Intel Melayu tsb. Di kalangan mahasiswa di kota tersebut, tapi juga di kota kota lain seperti Amsterdam, rupanya cukup banyak perhatian dan tak kurang dari 15 mahasiswa mendaftarkan diri sebagai “relawan IPT”. Terlepas dari kunjungan ‘Intel Melayu’ tsb, PPI Leiden sendiri memang merencanakan akan menggelar nonton bareng film Joshua Oppenheimer “The Look of Silence”. Walhasil, Sang Letnan tadi seperti mendapat umpan untuk menitip pesan kepada perwakilan. Dan disinilah mereka mencatat ada sejumlah mahasiswa yang beasiswanya berasal dari pemerintah R.I. dan menjadi relawan IPT. Kini terpetik kabar bahwa sementara mahasiswa telah mengundurkan diri dari pendaftaran relawan IPT sedangkan sebagian lain belum menentukan sikap.

Anehnya, pihak KBRI ketika saya hubungi mengaku tidak tahu menahu. “Saya tidak terlalu tahu apa itu IPT. Saya tidak pernah membuat peringatan apa pun. Dan nggak perlu melarang-larang,” jelas Atase Pendidikan Pak Bambang Hari Wibisono ketika saya hubungi lewat telpon Rabu 4 Nov. kemarin. Mengenai kegelisahan sementara mahasiswa yang berbeasiswa RI, Atase tsb pun mengaku tak tahu menahu. Bahkan pejabat ini mengatakan bersedia berjanji tidak akan memberi peringatan, melarang kegiatan, atau pun mempertimbangkan sanksi pencabutan beasiswa. “Kami tidak akan melarang, itu terserah mereka,” jelasnya. Namun ketika ditanya, daripada menjadi heboh, mengapa janji janji tsb tidak ditegaskan dengan pernyataan tertulis saja agar tidak menimbulkan kegelisahan mahasiswa, Bambang Hari menolak tanpa memberi alasan. “Ach, itu terserah mereka.”

Jadi kita tunggu saja apakah janji-janji itu dapat diandalkan, ataukah akan seperti kata kata Kapolres Ubud yang mengaku tidak menuntut pembatalan acara, tapi mengatakan panitianya sendiri yang memutuskan membatalkan acara acara yang menyangkut Tragedi 1965. Yang jelas, bagaimana pun juga, upaya upaya sensor itu – di Salatiga, di Ubud mau pun di Belanda – telah mendapat tentangan tentangan khalayak luas, dan akan terus dilawan. “Hanya ada satu kata: Lawan!” ujar seorang teman mengutip Wiji Thukul.

Di Belanda, upaya intimidasi tsb telah menjadi pokok pembicaraan hangat di kalangan masyarakat Indonesia dan civitas academica Belanda. Bahkan kejadian itu diungkap oleh seorang gurubesar dari Leiden di muka publik dalam sebuah symposium di di Amsterdam tadi malam mengenai agresi dan kekerasan tentara Belanda di Indonesia pada 1940an. Kalangan akademi kini mempertimbangkan kemungkinan menyediakan beasiswa pengganti apabila beasiswa mahasiswa mahasiswa tsb dicabut. Bila itu terjadi, itu hanya akan merugikan peluang dan nama baik Indonesia sendiri.

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile

One Reply to “SOAL 1965: KBRI Den Haag ‘Ancam Mahasiswa’”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *