1965

Goa Grubug berbicara: ‘Saksi Bisu’ Genosida 1965

Facebook | Fri, December 29, 2017

Written by Aboeprijadi Santoso · 2 min read >

“Alam itu bisu. Dia tak salah. Dan tak’kan bersalah dalam kejadian apa pun.” Demikian Elisabeth Ida Mulyani, 38 tahun, senirupawati lulusan Akademi Senirupa di Gent, Belgia, mengawali kisah proyek senirupanya ‘Saksi Bisu’ yang dipamerkan dalam rangka Festival Seni Europalia di Cultureel Centrum, Strombeek, dekat Brussel, Belgia.

“Tapi alam itu juga saksi sejarah,” tandasnya. Di sekitar Gunung Kidul, Jawa Tengah, Ida ikut rombongan pecinta alam menyelusuri sebuah jurang di malam hari, dengan menukik ke bawah, ke kedalaman hingga 70an meter. Tempatnya: Goa Grubug. Para wisatawan turun satu per satu, masing-masing diikat tali yang dijalin seksama sehingga bisa duduk, kemudian meluncur perlahan ke bawah. Tiba di dasar lembah dan sungai mini yang sarat batu-batuan diselingi aliran air, dia menyaksikan rongga alami – sebuah jilid dari khasanah sejarah yang menurut penduduk setempat pernah menjadi lokasi drama.

Pameran senirupa audiovisual Ida menjadi atraksi yang diminati banyak orang. Media Belgia banyak meliputnya. “Inspirerend” (mengilhami) dan “eigenzinnig” (memiliki kekuatan nalar tersendiri), komentar kurator dan pengamat senirupa. Semula direncanakan berlangsung dari 12 Oktober hingga 20 Desember, kini diperpanjang hingga akhir Januari 2018. Acara ini menyajikan ramuan audiovisual berupa gambar-gambar video dan berbagai suara yang menyertai tayangan tsb. Dengan demikian, pameran ini mengajak publik ‘menghayati’ suasana di goa bawah permukaan bumi, tempat ratusan orang pernah harus beradu nasib melawan duka dan pedihnya kodrat sejarah dan, akhirnya, menemui kodrat alam dan ajal. Sebuah situs monumental.

Di ruang pameran seluas 90an meter persegi itu, sebuah projektor menatap dinding sebagai layar. Disampingnya terdapat ruang serupa dengan proyektor dan layar dinding untuk pertunjukan yang sama. Ketika pertunjukan berlangsung, rangkaian gambar dan bunyi berkisah tentang sebuah substansi yang nyaris tak terperikan, dengan dekor alam yang luar biasa. Goa itu senyap, namun berkisah: dia mengajak khalayak merasakan alam-bernuansa sejarah, atau, sebutlah, sejarah-ditengah-alam, di goa gelap yang hanya diterangi garis garis dan bintik-bintik sinar lampu yang dibawa si pemandu dan, di siang hari, sepercik sinar yang menembus dataran bumi. Di sana sini tampak bebatuan yang berkerut, bergaris-garis, bertitik-titik, di tengah gemericik air kali kecil yang terus mengalir, gelap berganti agak terang, serta dedaunan dan tumbuhan liar yang sesekali terhempas angin dan menyingkap sinar yang menyelinap dari puncak goa.

Keganasan alam itu terlukis dari cara Ida melengkapi gambar demi gambar dengan suara meraung dari gema di tengah goa dan gemercik air yang mengalir perlahan. Dua meter dimuka dinding pertunjukan visual, ada tanda dua telapak kaki tempat penonton berdiri dan menggerakkan tangan agar audio bunyi-bunyian itu hidup, bersuara perlahan, bergema atau meraung sesuai gerak tangan penonton. Semakin Anda menggerakkan tangan dan badan, semakin terdengar gemuruh silih berganti hening mengiringi gambar gambar kekejaman alam. Dengan pertunjukan visual karya Ida dan latar audio karya seniman Meksiko Mauricio Valdes San Emeterio, ramuan audiovisual itu mengajak publik meresapi detik-detik maut menjelang ajal yang dialami ratusan korban tadi.

Disitulah publik, melalui pertunjukan video, gambar demi gambar, diajak menyelami pahit getir dari lingkungan alam di hadapan mereka, yang berjuang melawan ketakutan tanpa menyadari akhir kisah hidup mereka. Gambar demi gambar itu menjadi ekspresi dari drama besar bersejarah yang pernah melanda bangsa. Sebuah tragedi kemanusiaan di pertengahan tahun enampuluhan.

Semua itu menyimpan kenangan akhir yang pahit – teramat pahit bagi orang-orang yang pernah berjalan kaki dibawah paksaan, digiring di kala malam gelap, hingga, tanpa disadarinya, tiba di bibir jurang, jatuh dan kemudian harus mengadu nasib di landasan goa untuk memperpanjang hidup sebisa mungkin. Alam tak mampu lagi bercerita, tapi batu, kali, belukar di dasar goa itu menjadi saksi bisu dari kisah manusia-manusia yang terjungkal hidup-hidup ke kedalaman goa hingga bertemu ajal entah berapa lama kemudian. Jasad-jasad mereka sirna ditelan alam.

“Alam itu bisu, tapi dia adalah saksi!” tegas Ida lagi. Bagi banyak orang segenerasinya, generasi yang menamatkan pendidikan tinggi di tanah air pada akhir 1990an, musibah sejarah itu diperkenalkan melalui pendidikan dan media massa sebagai kebenaran tunggal.

Sebagai senirupawati, dia ingin menyajikan fakta-fakta berbasis riset-riset akademis, yang sulit diperkenalkan secara langsung dan gamblang. Padahal tafsir adalah milik masyarakat, bukan milik tunggal siapa pun. Dan sejarah adalah milik bangsa yang perlu diperkenalkan, diketahui dan layak ditafsirkan oleh publik. Pada akhirnya, sejarah selalu multitafsir karena tafsir tak harus seragam. Melalui ramuan gambar dan bebunyian ala Goa Grubuk, alam menjadi saksi bisu yang ‘berbicara’.

Disini senirupa audiovisual berperan menyampaikan pesannya. “Kekuatan senirupa adalah pada detour (jalan berkelok, bahasa Belanda: omweg), yang tanpa menuding dan berslogan secara vulgair, mampu mengungkap lebih banyak, dan memberi kesempatan (kepada publik) untuk menginterpretasikannya.” Dengan begitu, simpul Ida, senirupa menjadi medium sekaligus agen penyadaran publik.

Kesaksian alam itu menjadi semakin penting ketika Ida membandingkan Goa Grubuk dengan sisa-sisa kesaksian sejarah di museum-museum di Sarajewo, Bosnia-Hercegovina, dan di penjara Tuong Sleng, di Pnomh Penh, Kamboja. Bersama Helen Jarvis, seorang pegiat Tribunal PBB yang juga salahsatu hakim pada International People’s Tribunal 1965 di Den Haag, November 2015, dia mencatat cara-cara negara menyikapi sejarah kemanusiaan. Di penjara cemar buatan rezim Pol Pot alat-alat siksa dan identitas para korban diterakan, di Sarajevo benda-benda memorabilia memenuhi museum-museum genosida, dan di Indonesia alam-lah yang harus ‘berbicara’ selaku saksi-saksi bisu.

“Sejarah kok ditutup-tutupi …” kata Ida menutup cerita dengan protes.

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile

One Reply to “Goa Grubug berbicara: ‘Saksi Bisu’ Genosida 1965”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *