Bahasa Indonesia, Indonesia, Misc

Ulah Global Diaspora: Lain Usamah, Lain Tan Malaka

Belasan teroris yang menghujat Amerika pada 11 September itu, selain berpendidikan tinggi dan bermotif politik dan ideologis kuat, semuanya adalah perantau. Mereka...

Written by Aboeprijadi Santoso · 5 min read >

Belasan teroris yang menghujat Amerika pada 11 September itu, selain berpendidikan tinggi dan bermotif politik dan ideologis kuat, semuanya adalah perantau. Mereka pernah bermukim lama di negeri orang. Teroris atau bukan, para perantau cenderung membawa misi politik. Seringkali mereka membuat sejarah ketika mereka berkelana, atau berkelana untuk membuat sejarah. Tan Malaka, misalnya, yang diangkat anak oleh seorang pejabat Belanda dan disekolahkan di Haarlem, terbuai oleh Marxisme pada 1920an, giat di Eropa, lalu keliling Asia. Dia adalah orang Indonesia pertama yang menguak bab sejarah untuk negeri lain: di Filipina dia memperkenalkan Marxisme.

Ada pula yang membawa ide-ide kebangsaan, chauvenis, mungkin otoriter dan semi-fasis, seperti Soepomo dan Ki Hajar Dewantara sekembali dari Belanda pada 1920an, atau Sarloth Sar (Pol Pot) dan Khieu Samphan ; dua mahasiswa Kamboja yang sepulang dari Perancis menjadi arsitek negara-teror Khmer Merah pada 1970-an. Sementara di belahan dunia lain, Che Guevara mengembara dari tanah airnya, Bolivia, untuk berevolusi di Kuba dan Afrika.

Perantauan, meski ragam, punya daya ilham, tekad, dan dinamika tersendiri. Perjalanan diaspora (istilah ini aslinya bagi kaum Yahudi ketika tersebar di Eropa) adalah fenomena sui generis –terikat ciri-ciri sejenis–, masing-masing mengisyaratkan suatu momentum zaman. Tak bisa disamaratakan di segala ruang dan waktu.

Tan Malaka, pemuda Minangkabau itu, langlang-buana dengan bekal kecerdasan, dan di Belanda dia menghayati perjuangan dan ideologi. Usamah bin Ladin, playboy milyuner, hengkang dari Saudi, menjadi pejuang Islamis dan teroris. Bekal mereka berbeda, tapi keduanya menerobos sejarah.

Setengah abad setelah Tan Malaka, gerakan kiri yang tak kenal mandeg, akhir-nya mandeg di rantau. Sastrawan Sobron Aidit, sambil menunjuk pada tragedi 1965-66, mengaku bahwa keberadaan diasporanya di Paris bersumber dari ”darah, derita dan semangat” di tanah air. Usamah, selaku bekas pejuang melawan tentara Soviet, seperti halnya pejuang anti kolonial dan anti represi militer, tentu juga bisa menunjuk pada kisah darah, derita dan semangat yang serupa.

Cause Gamblang
Darah dan semangat itu mengacu pada kancah, yang menjadi bagian dari suatu cause –tujuan perjuangan. Bagi Tan Malaka dan kerabat sejamannya, kancah itu adalah Hindia-Belanda dan cause-nya adalah kemerdekaan dan cita-cita sosialisme Indonesia (Asia). Pelukis Lekra, mendiang Basuki Resobowo, lewat sebuah lukisannya (1987), pernah bercerita bahwa di tengah konflik antar kaum kiri, Tan Malaka –yang disejajarkannya dengan Mohamad Hatta dan Amir Syarif-uddin– patut dihormati, karena dia termasuk sejumlah pejuang yang tak pernah menjual bangsa ; soalnya Basuki menuduh priyayi Jawa menjual rakyat Indonesia kepada Tuan Belanda. Soekarno pernah melakukannya kepada Tuan Dai Nippon, Muso idem dito kepada Tuan Moskou, dan Soeharto juga, kepada Tuan Imperialis Barat.

Pandangan itu cuma sepotong saja dari wacana umum bahwa Indonesia adalah sebuah kancah, di mana keadilan ingin diperkenalkan dengan macam-macam cara. Abdurrahman Wahid ketika merantau di Irak, Mesir, Yordania dan Eropa pada 1970an, juga merancang wacana buat Indonesia, dengan mempelajari agama-agama dunia, menghimpun berbagai aliran Islam dengan mendirikan sebuah perkumpulan Muslim (PPME) di Belanda, dan membuka jaringan deng an LSM-LSM dan partai-partai sosial-demokrat di Eropa.
Kancah, pendeknya, bukan sekedar ajang geografis. Ketika sebuah cita-cita dilekatkan padanya, dia bermakna suatu cause. Usamah dan sejenisnya, dengan ‘LSM’ Yayasan Al-Qaida, seharusnyajuga memiliki cause yang jelas.

Ternyata, tidak. Usamah, alias Mister Bean versi teroris ini, mengaku berjuang untuk Islam –mungkin, maksudnya demi kehidupan Arab yang Islami. Tetapi para pakar Timur Tengah menunjuk bahwa nama agama itu disandang oleh Usamah ke mana-mana, keluar masuk goa, bak menyandang jubahuntuk menjadikannya magnit politik untuk menggalang ummat.

Apa pun jubah itu, Usamah bermimpi mewujudkan cita-cita kuno yang telah di-jubah-kannya, tapi tak pernah memberi batasan apa dan di mana jubah itu ingin diwujudkannya. Orang tak tahu dia berjuang untuk apa, siapa, dan negeri apa. Dia pun tak merasa perlu memberi acuan geografis atau negara mana pun. Boleh jadi, dia tak punya cause yang jelas.

Dengan kata lain, perbedaan antara perantau Usamah dan sejenisnya di satu pihak, dan perantau-pejuang sejenis Tan Malaka di lain pihak, bukan sekedar siapa teroris dan siapa pejuang. Setiap protagonis tentu akan berkata kepada lawannya bahwa teroris-mu adalah pejuang-ku. Tetapi, sejak Robespierre di zaman Revolusi Perancis sampai Noam Chomsky di tahun 1970an, kita tahu, teror adalah sebuah sarana dari kekuasaan negara. Dan terbukti, kekerasan politik yang paling besar dan efektif, selalu bersumber dari lembaga negara (Holocaust-nya Hitler, Gulag-nya Stalin, Orde Baru-nya Suharto). Sekarang Amerika menteror rakyat Afganistan dengan bom, untuk memburu Usamah dan Al-Qaida.

Kadang, teror negara berubah. Dia tak perlu selalu monopoli negara, tapi bisa menjadi simbiose, perkawinan kepentingan, dari sejumlah unsur kekuasaan negara dan sekelompok warga masyarakat. Contohnya, tentu saja, Usamah bin Ladin dan Al-Qaida-nya. Dia berubah jadi Islamis dan teroris global ketika dia bekerja-sama dan disponsori oleh dinas intelejen militer Pakistan I.S.I, rejim Taliban dan unsur-unsur Saudi dan dinas intelejen Amerika CIA pada 1980-an, lalu berbalik melawan Amerika dan Saudi pada saat Saudi menjadi pangkalan Amerika untuk menggempur Irak awal 1990-an.

Usamah, seperti Tan Malaka, adalah seorang Muslim yang giat membangun jaringan politik global dimanapun dia berada. Bedanya, Usamah sejak berhenti mabuk, berubah jadi Islamis, lalu ketika pasukan Soviet terusir dari Afganistan pada 1989, Usamah menganggap perjuangan itu sebagai kemenangan “Islam” yang pertama terhadap “Barat”, setelah “Islam” terus menerus kalah dan kalah selama berabad-abad. Sejak itu, baginya, kemenangan “Islam” harus diglobalkan tanpa pandang bulu sikon dan konteks. Jadi, cause-nya serampangan.

Tan Malaka, pada jaman yang berbeda, menjadi pejuang global ketika menginsyafi kebangkitan bangsa-bangsa Asia di pentas dunia awal 1900an. Dia seorang Muslim yang tidak fanatik, seorang kosmopolit yang menguasai bahasa-bahasa Eropa, Cina dan Tagalog, seorang Marxis yang memahami sejarah dan masyarakat, tetapi, pertama-tama, dia adalah seorang pejuang anti-imperialis global, yang membangun jaringan politik di Eropa, Shanghai, Bangkok, Manila dan di Jawa. Cause-nya gamblang.

Jangankan dibanding dengan Tan Malaka, bahkan dengan Khomeiny pun, pola Usamah amat berbeda dan terbelakang. Khomeiny punya target yang spesifik (Iran), Usamah tidak. Ketika Ayatullah Ruhollah Khomeiny meninggalkan pengasingannya di Perancis pada 1979 dan kembali ke Iran, negerinya sudah bergelora revolusi Islam-Iran yang dipimpin oleh kaum Mullah dan kelas-kelas menengah, untuk melawan rezim Syah Pahlevi yang despotik. Khomeiny tidak menyulut api di rantau lantas otomatis terjadi kebakaran besar.

Usamah memutar-balik logika itu seolah-olah dia –atau siapa pun– bisa menyalakan revolusi di mana saja tanpa perlu suatu momentum revolusioner. Itulah sebabnya, Usamah dan gerakannya hanya akan membuat teror dan kerusuhan, tetapi tak akan mampu memotori suatu perlawanan rakyat.

Walhasil, perbedaan yang paling bermakna –bagi Usamah dan sejenisnya– adalah kancah itu tak membutuhkan batasan dan acuan geografis, jangka waktu, program sosial, atau apapun. Cause-nya tak jelas. Baginya, jubah itu bisa diwujudkan di mana saja dan kapan saja. Artinya, konsepnya itu anti-historis dan anti-sosiologis. Dan metode untuk mencapainya –jaringan teror– tak bersosok dan tak beridentitas.

Nasionalisme Jarak Jauh
Betapa amat kontras dengan gerakan-gerakan di masa lalu. Pada 1995, Ben Anderson, pakar kajian Asia Tenggara, dalam Wertheim Lecture di Universitas Amsterdam memperkenalkan apa yang disebutnya long-distance nationalism. Dia menunjuk pada kelompok-kelompok Sikh yang hidup di Kanada, dan Armenia, Kashmir, Irlandia di Amerika dan Eropa, yang berperan kunci dalam menunjang gerakan emansipasi dan kemerdekaan di negeri-negeri itu. Di lain kesempatan, Ben Anderson menyebut aktivis Indonesia –Pipit Rochijat di Berlin dan Buyung Nasution semasa studi di Belanda– sebagai nasionalis-jarak-jauh yang vokal.

Sepanjang 1970-1990-an, nasionalisme berkobar dengan pola baru tersebut. Dia tak memerlukan kandang sendiri sebagai pijakan tunggal, melainkan bisa dimotori, disemangati, didanai, bahkan dibentuk dari perantauan. Mereka tak perlu mem-bayar pajak buat negeri sendiri, tapi dari kejauhan bisa menyumbang teror dan perjuangan. Inilah yang terjadi ketika acuan geografis mulai ditinggalkan.

Daftar nasionalis-jarak-jauhitu bisa ditambah dengan peran aktivis Timor Timur di Indonesia, Portugal dan Australia sampai 1999, serta aktivis dan saudagar Aceh di Malaysia, Swedia, Norwegia dan Amerika. Xanana Gusmao, kita tahu, dari selnya di LP Cipinang dulu bisa kontak langsung dengan gerilya di hutan di Viqueque dan dengan kawan-kawannya di Lisbon dan Sydney. Berkat komunikasi canggih, jaringan lebih penting ketimbang geografi.

Tetapi, Usamah bukan seorang nasionalis. Dia melangkah lebih jauh lagi, dengan berpretensi universal dan membajak sebuah agama untuk menggelar suatu perjuangandemi perubahan besar, tanpa menetapkan tujuan, target sosial, dan batasan ruangnya.

Dengan transformasi wacana ini, dan dengan menggebrak adidaya di kandang sendiri pada 11 September –agresi pertama terhadap Amerika sejak 1812– para terorisnya Usamah menggedor sejarah, untuk menyampaikan pesan tentang sebuah cita-cita yang anti-historis. Mereka berangkat dari kategori berpikir bipolar yang sederhana : kami versus mereka, dan memakai metode jaringan teror tak bersosok (invisible).
Sebagai pelaku politik diaspora, Usamah cum suis telah jauh melampaui Tan Malaka pada 1920-an dan para perantau nasionalis Sikh atau Irlandia pada 1980-an. Kaum diaspora, dengan ragam misinya, sejak mula sudah bermain global. Usamah cuma menambahnya dengan mengglobalkan teror.

Lompatan Usamah itu –dan reaksi Amerika– pada gilirannya memukul balik pola nasionalisme jarak-jauh. Para imigran Irlandia di Amerika kini menyetop kran jutaan dollar, sehingga pertama kali IRA (Tentara Republik Irlandia) melucuti senjatanya di Irlandia Utara. Selain itu, Rusia kini merasa mendapat dukungan internasional untuk menggebrak pemberontakan apa yang mereka sebut teroris Chechnya. Sementara penguasa di Amerika Serikat memperluas daftar teroris yang resmi dicurigai. Dan di Eropa, yang kini berpenduduk migran Muslim sekitar 10 jutaan, organisasi organisasi kaum diaspora makin diamati.

Ulah Usamah cum suis , jelas, dampaknya besar dan berbahaya bagi demokrasi dan pluralisme, tetapi juga bisa menjadi dalih bagi penguasa negara mana pun untuk menekan hak-hak sipil warganya.

Artikel ini semula terbit di ceritanet, situs nir-laba untuk karya tulis, edisi 28, Selasa 27 November 2001, http://www.ceritanet.com/28usamah.htm dan di harian Sinar Harapan 28 Nov. 2001, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0111/28/opi01.html

    



Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile