Bahasa Indonesia, Indonesia

“NKRI” – Agamanya Orde Baru

This article has been published in Facebook on Feb.2, 2009https://www.facebook.com/notes/aboeprijadi-santoso/nkri-agamanya-orde-baru/59784039399?comment_id=10159209638054400&notif_id=1612283720588252&notif_t=comment_mention&ref=notif Sejumlah teman gagal memahami salah satu pilar sejarah politik Indonesia ini. Terlebih...

Written by Aboeprijadi Santoso · 2 min read >

This article has been published in Facebook on Feb.2, 2009
https://www.facebook.com/notes/aboeprijadi-santoso/nkri-agamanya-orde-baru/59784039399?comment_id=10159209638054400&notif_id=1612283720588252&notif_t=comment_mention&ref=notif

Sejumlah teman gagal memahami salah satu pilar sejarah politik Indonesia ini.

Terlebih dulu, sebuah kronik dari kumpulan anekdot:

1965: Semasa siswa SMA, sekembali dari berLebaran di Malang, menuju Bandung, di tengah perjalanan saya melihat dari kejauhan sejumlah mayat berserakan di tepi Bengawan Sala. Esok lusanya, seorang anggota keluarga saya ditahan hanya karena bercerita tentang apa yang dia lihat. Peristiwa tsb adalah bagian dari lembaran hitam tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia .

Dulu & kini

1990an: Sejumlah warga Tim-Tim selagi di Amsterdam bercerita dengan amat grafis betapa penderitaan mereka, keluarga mereka, dan rakyat yang ikut mengungsi serta gerilya Fretilin di pegunungan Matebian; tahun tahun itu saya pun beberapa kali menyaksikan realitas represi di Tim-Tim. Ini adalah bagian dari tragedi kemanusiaan kedua terbesar dalam sejarah Indonesia .

Akhir 2000: saya harus meninggalkan Jayapura, Papua. Kapolda setempat mencari saya karena sehari sebelumnya saya minum minum dan mewawancarai seorang anggota polisi yang dituduh menyeberang ke pihak OPM. Si Kapolda menolak diwawancarai tentang sejumlah warga Papua yang hilang atau merasa dikejar-kejar, tapi dia mengirim surat interogasi ke hotel tempat saya menginap di Jayapura.

2003: di Nisam, Aceh Utara, saya melihat dari dekat sosok mayat seorang guru agama yang digorok lehernya. Belakangan saya bicara dengan seorang komandan kompi yang bermarkas terdekat dari tempat tsb. Tak jauh dari si komandan, sejumlah prajurit sedang ”istirahat” dengan sejumlah perempuan. Dalam kesempatan lain, dalam salah satu wawancara, seorang prajurit bercerita panjang lebar dengan emosi tinggi, bukan tentang GAM, melainkan tentang NKRI yang dipujanya, dan tentang Munir dan HAM yang dihujatnya habis-habisan. Ini juga bagian dari tragedi kemanusiaan Indonesia.

2004: masih di Aceh, pada minggu-minggu pertama setelah tsunami, tentara Indonesia menolak bantuan kemanusiaan asing karena menganggapnya intervensi yang membahayakan kesatuan negara. Sebulan kemudian, saya datang ke Meulaboh, orang mendambakan bantuan, namun baliho-baliho di tengah kota, seolah tak peduli, mengibarkan seruan TNI yang mengaku ”cinta damai, tapi lebih cinta kesatuan”.

Di atas tadi sekadar seleksi sejumlah anekdot yang ragam dari sejumlah tragedi yang ragam.

Tetapi, ada satu benang merah yang menyatukan semua anekdot tsb: semua kasus tsb di atas (ya, termasuk G30S 1965) mendapatkan legitimasi gaya Orde Baru: “Demi N.K.R.I!” Semua itu perlu dilakukan demi menjaga NKRI, kata aparat Orde Baru.

Dengan kata lain, NKRI adalah agamanya Orde Baru, dia menjadi pembenaran suci bagi malapetaka setrenyuh apa pun. Dia menjadi ”panacea”, obat mujarab bagi segala macam penyakit negara. Dengan demikian, idiom itu tidak hanya menjadi landasan bagi perilaku dan pola politik di negara ini, tapi juga menjadi penunjang karir pelakunya, alias menjadi bagian dari kepentingan survival, karir dan ambisi kelas sosialnya.

Sukarno
CREATOR: gd-jpeg v1.0 (using IJG JPEG v62), quality = 85
Amir Sjarifuddin, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, H. Agus Salim, Singapore 1948

Para Bapak Pendiri republik ini mengajarkan kita agar belajar dari sejarah untuk membangun dan menjaga bangsa dan kebangsaan (nationhood), bukan menjaga negara dengan cara menyerukan ancaman fysik dan ancaman senjata.

Malaysia (saya tak suka negeri ini hypokrit soal rasisme), tapi Malaysia berhasil menjaga bangsa tanpa tetes darah sejak 1959, sekali pun masing masing unsurnya menyebut diri “bangsa Melayu”, “bangsa Chinese”, “bangsa India”. India (saya lebih hormat pada negeri ini) idem dito. Di kedua negara tsb, bangsa dan kebangsaan dapat terjaga tanpa perlu memiliki tentara yang kuat, dengan mantra keramat sejenis ”NKRI”. Malaysia tak perlu ”NKRM”. Di Indonesia kata ‘bangsa’ menjadi keramat, orang Aceh tak boleh menyebut diri “bangsa” padahal ada alasan historis untuk itu. Yang terjadi malah kekerasan, darah, dan darah.

Seorang Duta Besar RI yang dikenal dekat dengan militer dan pakar sejarah TNI belum lama lalu mengakui bahwa slogan “NKRI” memang merupakan bagian dari “jeritan ketakutan tentara” pada buyarnya negara kesatuan ini. Semua bangsa membutuhkan mitos-mitos untuk menjaga kebangsaannya, tapi adakalanya imajinasi itu menjadi kaku, menjelma menjadi tegar (rigid), lalu dipatok jadi doktrin negara bagi seluruh masyarakat dan bangsa.

Saya tidak bicara tentang kata atau pun istilah, juga tidak tentang negara kesatuan, istilah NKRI, atau pun tentang perlu atau tidaknya negara kesatuan c.q. NKRI. Saya hanya bicara tentang konsep, ide, anggapan, mitos – singkatnya, paradigma – yang terkait dengan istilah NKRI, dan penggunaan konsepsi ini dalam sejarah politik Indonesia – the praxis of the unitary state on the ground, very real & serious. Istilah dan akronim itu sendiri tak penting, tapi sejumlah teman – mirip TNI di Aceh dsb – sudah menganggap dan memperlakukannya seolah ‘keramat’.

Ada juga yang memahami duduk masalah pelik ini. Mereka ini tak perlu diberitahu bahwa pengkeramatan dan mystifikasi NKRI inilah yang membawa celaka. Tugas setiap cendekia adalah membuat de-mystifikasi.

Meski demikian, saya menghargai dan berterima kasih kepada sejumlah teman yang gagal memahami lalu menyerang saya habis-habisan: pertama, terima kasih atas jerih payah sumbangan pikiran mereka, dan kedua, terima kasih karena menambah keyakinan saya betapa hebat propaganda Orde Baru sampai mencekam para penentangnya.

Salam hangat, salam damai

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile