Aceh, Bahasa Indonesia, Indonesia, Papua

2006: Aceh damai, Papua cemas

Artikel ini semula terbit sebagai kolom penulis untuk Radio Nederland pada 1 Januari 2006, kemudian terbit dalam situs web Komunitas Indonesia untuk...

Written by Aboeprijadi Santoso · 3 min read >

Artikel ini semula terbit sebagai kolom penulis untuk Radio Nederland pada 1 Januari 2006, kemudian terbit dalam situs web Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (ID): http://www.komunitasdemokrasi.or.id/component/content/article/229

Tahun 2005 berakhir dengan prospek damai bagi Aceh dan keprihatinan bagi Papua. Sejumlah besar pasukan telah dikerahkan ke Papua tepat ketika sejumlah besar yang lain meninggalkan ujung utara Sumatra.

Soal Aceh dan Papua amat berbeda, karena itu, amat simbolis bahwa, pada saat bersamaan, di kedua propinsi itu, tentara bergerak dengan arah yang berlawanan. Yang satu hengkang, yang lain datang. Keduanya akan mewarnai 2006.

Untuk pertama kali dalam sejarah republik, sejumlah tentara ditarik dari wilayah republik itu sendiri. Pekan silam satuan-satuan TNI non-organik sebanyak 3500an, meninggalkan Aceh dengan enam kapal kembali ke induknya di luar Aceh. Sebanyak 21 ribuan pasukan telah ditarik sejak September 2005, dan dengan demikian mengurangi rekor jumlah semasa perang dua setengah tahun, yaitu 41 ribuan prajurit, menjadi 14.700 TNI dan 9 ribuan Brimob di Aceh – sesuai Kesepakatan Damai Helsinki – Memorandum of Understanding Helsinki 15 Agustus 2015.

Untuk pertama kali pula, penarikan pasukan itu terjadi sebagai bagian dari – dan dimungkinkan oleh – proses perdamaian yang ditengahi negara lain, dalam hal ini lembaga Finlandia CMI dan Uni Eropa. Dalam sejarah mana pun, lazimnya pasukan ditarik karena dia merupakan pasukan asing yang telah melakukan invasi dan perang yang gagal seperti di Vietnam, Timor Timur dsb.

Maka, kalau ada pasukan yang harus hengkang dari wilayah yang merupakan bagian dari kedaulatannya negara itu sendiri, itu berarti keberadaan pasukan tsb selama ini dipersepsikan dan dirasakan sebagai pasukan asing, pasukan pendudukan atau pasukan penindas.

Laporan laporan pers dan narasumber lokal menunjuk, seperti itulah memang yang pernah terjadi di Aceh – meskipun benar bahwa secara konstitusional, Aceh merupakan bagian RI, dan tentara non-organik TNI itu dulu berada di Aceh bukan sebagai tentara i-legal.

Selain itu, secara militer, tentara pendatang itu gagal memenangkan perang, meski pemberontak (GAM) jelas kewalahan – serupa dengan tentara Belanda KNIL dulu di Jawa, atau ABRI lawan Fretilin di Timor Timur. Dengan kata lain, mereka berada di sana, namun kalah telak secara politik.

Mereka gagal merebut sanubari, hati dan pikiran rakyat lokal. Soal merebut “hearts and minds” adalah soal kunci, soal kritis dan soal krusial dalam berbagai sengketa antar bangsa, pada skala dunia, dan regional, mau pun dalam sengketa intra-bangsa.

Sejumlah eks-G.I’s (tentara Amerika), dan banyak warga Amerika seperti Jane Fonda, juga bercerita dan berdemo menentang ulah tentara Amerika di Vietnam; Poncke Princen pernah berkisah mengapa dia membelot dari wajib militer Belanda lalu menyeberang ke pihak RI pada 1948; Letkol. “Soebijanto” (nama samaran) pernah mengungkap ulah ganas ABRI di Timor Timur kepada Radio Nederland (1995); juga sejumlah prajurit yang saya temui di sebuah bukit di Nisam, Aceh Utara (2003), dsb.

Mereka ini sebenarnya pantas disebut `patriot’, tapi `aneh’nya, para petinggi Amerika menyebut pemrotes Perang Vietnam itu “tidak patriotis”, Belanda masih menganggap Princen “pengkhianat”, dsb. Sementara Orde Baru, pecinta mau pun penentangnya di dalam dan luar negeri, tenggelam dalam retorika formal, mencap mereka sebagai “pengkhianat”, “separatis”, dsb.

Mereka, para “pembelot” itu, tidak berbicara dengan retorika nasionalisme-buta yang justru memecah-belah bangsa. Pada 1972 ada seorang Mochtar Lubis yang mengritik pedas mentalitas orang Indonesia. Pada 2001 seorang Gus Dur meminta maaf kepada para korban 1965 dan korban Timor Timur. Kini, 2005, ada seorang Pramudya Ananta Toer (Majalah Gatra, Feb. 2005) yang meminta maaf kepada rakyat Aceh. Mochtar, Gus Dur dan Pram adalah contoh patriot.

Rupanya, 2005 telah membuat kita insyaf akan bedanya `patriot’dengan `nasionalis’; yang terakhir ini, tanpa menyadari, suka ikut tepuk tangan melihat keganasan tentara menjaga kesatuan. Para patriot berbicara dengan nurani, bukan dengan patokan-patokan negara, yang formal, final dan fatal, dan menyemangati ulah tentara pendatang.

Mengapa? Karena mereka paham bahwa soal bangsa bukan soal menjaga teritori dan sumberdaya belaka, melainkan, pertama-tama, soal menghormati dan mengelola aspirasi manusia. Maka, tepat dan menarik, bahwa Gunawan Mohammad, dalam menerima Anugerah Wertheim (Wertheim Award) di Den Haag 16 Des. 2005, mengutip “imagined community”nya Ben Anderson untuk mengingatkan bahwa formasi bangsa adalah suatu proyek sekaligus suatu proses dalam berimajinasi – persis kebalikan dari retorika dan obsesi teritorial dan kesatuan secara sakral, militaristis, dan sentralistis.

Inilah pelajaran terpenting dari 2005, dan dari pengalaman tentara Indonesia di Aceh – seperti juga pelajaran dari hengkangnya mereka sebelumnya, dari Timor Timur (1999). Tapi, pertanyaannya, adalah apakah hikmah itu telah disimak, diserap untuk masa depan?

Yang menarik, tentara kali ini belajar menghormati Perjanjian Damai Helsinki dan menaati pelaksanaannya, seperti juga pihak GAM dan gerilya Tentara Neugara Aceh, TNA, yang pekan silam dibubarkan. Walhasil, 2005 telah membawa perdamaian yang nyata, hidup dan dinikmati rakyat Aceh.

Baik, kini, pasca demobilisasi-TNA dan penarikan TNI, kita nantikan Undang Undang Pemerintahan Aceh serta kembalinya mantan gerilya TNA ke tengah masyarakat. Perdamaian Aceh dapat membawa pelajaran berharga bagi republik.

Namun 2005 tidak membawa prospek secerah Aceh bagi Papua. Soal Papua kini lebih rumit ketimbang soal Aceh. Ini juga berkat optik, dan obsesi nasionalisme-territorial tadi, Papua, selaku ladang sumberdaya yang kaya, paling lama menjadi sapi perahan.

Walhasil, nasionalisme Indonesia di Papua yang diwariskan Martin Indey, Sam Ratulangi dan Sugoro lantas Frans Kaisiepo telah habis digusur zaman, silih berganti dengan nasionalisme gaya Melanesia, dan kini, menurut George Aditjondro dan Benny Giay, berkembang nasionalisme asal Pegunungan Tengah.Kesadaran politik Papua bukan lagi monopoli dari Serui dan Biak, melainkan bangkit dari suku Amungme dll di Papua Tengah.

Para mahasiswa dari sana mempelajari kebangkitan pemimpin gerakan hak hak-sipil Dr. Martin Luther King di Amerika untuk mengembangkan nasionalisme Papua secara trans-Papua dan di luar Papua, di Jawa. Pantas, lagi lagi nasionalisme-buta pun sudah siap menggertak dan menggempur tanpa merenungkan pengalaman di Aceh dan Timor Timur – menanti nurani para patriot berseru?

Papua masih harus bergulat dengan birokrasi pusat mau pun lokal tentang bentuk dan pelaksanaan Undang Undang Otonomi Khusus Nomor 21 tahun 2001, tentang perwakilan dan peran lembaga kaum adat, lewat MRP, Majelis Rakyat Papua, tentang tuntutan Zona Damai dari masyarakat sipil, tentang kebangkitan kesadaran nasionalisme baru Papua, dan tentang koreksi atau pelurusan sejarah Papua.

Pengamat asal Papua Dr. Benny Giay khawatir, trend peningkatan nasionalisme dari kalangan muda asal Pegunungan Tengah dapat berkembang memancing penggunaan kekerasan aparat negara, seperti sering terjadi di masa lalu di Papua. Jakarta perlu menyadari bahwa, sejak reformasi 1998,pada dasarnya, belum ada satu pun tuntutan pokok dari Papua yang terpenuhi. Tuntutan-tuntutan demokratis yang bersifat menyeluruh, Pan Papua, lahir sejak tahun 1999 dan menetas dalam Konggres Rakyat Papua Kedua, Juni 2000, di Jayapura. Sebelumnya, gerakan mahasiswa telah bangkit sejak pertengahan 1990an.

Trend-trend yang serupa di Aceh dan di tempat-tempat lain di Indonesia telah melahirkan dinamika demokratisasi. Di Papua, tuntutan-tuntutan aspirasi lokal masih juga berulangkali digertak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Lain Aceh, lain Papua. Prospek Papua 2006 harus dinantikan dengan kecemasan. Semoga 2006 pun akan membawa berkah perdamaian bagi Papua, dan perdamaian yang berlanjut bagi Aceh.

Selamat tahun baru 2006.

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile