1965, Bahasa Indonesia, Indonesia

Batara Simatupang Dalam Kenangan

Hari ini, 2 Juni 2018, jenazah Batara Simatupang diperabukan. Seorang cendekia, guru & sahabat. Berikut catatan dari teman-temannya. Di negeri Kincir Angin...

Written by Aboeprijadi Santoso · 3 min read >

Hari ini, 2 Juni 2018, jenazah Batara Simatupang diperabukan. Seorang cendekia, guru & sahabat. Berikut catatan dari teman-temannya.

Di negeri Kincir Angin yang dihuni banyak warga asal pelosok Nusantara, bertemu sesama Indonesia bukanlah istimewa. Tetapi Bung Bat, demikian kami biasa menyapa Batara Simatupang, adalah teman istimewa. Dia menjalin pertemanan dengan siapa saja. Dia sahabat hangat yang tersimpan dalam kenangan banyak orang.

Parmin, yang pernah lama serumah dengan Bung Bat di Herengracht, hampir tak kuasa menahan tangis mendengar Bung yang istimewa ini berpulang pada Ahad 27 Mei yang lalu. Adalah Parmin juga yang pertama mengabarkan kabar duka tersebut.

Batara tiba di Amsterdam dari Jerman pada 1978 memenuhi undangan Peter Idenburg dari Vrije Universiteit. Dalam otobiografinya, dia bercerita meninggalkan tanah air (1959) menuju Amerika dan Eropa untuk mempelajari ekonomi-sosialis. Studi ini kandas di Warsawa karena gurubesar yang membimbingnya dipecat di tengah krisis politik yang melanda Polandia. Disana juga KBRI mencabut paspornya (Okt. 1966).

Kebrutalan Orde Baru ini pedih sekali baginya. “Benar,” katanya suatu hari, “paspor itu cuma kertas,” tapi ada emosi melekat disitu. Jadi, menjadi “manusia tanpa tanah air” itu serasa disakiti. Akhirnya di Jerman dia meminta suaka dan bekerja sebagai buruh pabrik cat Mainz-Kesselt selama lima tahun. Ibu Ihromi, ungkap Agrar, mendesak Idenburg agar mengajak adiknya, Batara, melanjutkan karir akademisnya di Belanda.

Rumah tempat Batara menetap, Vinkenstraat no.1, di lantai ketiga adalah sebuah rumah tua yang sebenarnya tak layak huni lagi. Di kamar semacam perpustakaan kecil itu sejumlah mahasiswa di tahun 1980an (Adi, Okky, Willy, Benyamin, Tossi dll) menggelar diskusi berkala setiap Rabu malam. Topiknya sikon ekonomi dan politik Indonesia. Batara tak pernah lepas dari perhatiannya terhadap tanah airnya – apalagi di masa jaya rezim Soeharto di era 1980an itu.

Meski dia sosok yang tak mencolok, kehadiran Batara  dirasakan orang sekitarnya. Sebuah pribadi yang memikat meski rendah hati. Dia seorang eksil yang mudah ditemui karena dia sendiri butuh bertemu sesamanya – di kampus, di perpustakaan atau di rumahnya. Juga dalam kegiatan diskusi dll yang menyangkut Indonesia.

Batara, seorang cendekia moderen yang menghormati kesetaraan, tak suka menjadi patron, tapi sebagai senior diantara kami, praktis dia menjadi mentor dan guru. Tak heran, dia meninggalkan kenangan yang membekas.

“Batara terkenang sebagai panutan dalam berfikir dan bicara dengan bebas, bernilai, terarah, teliti tapi lugas sehingga walaupun generasi tua, (dia) dengan mudahnya menjadi contoh dan inspirasi bagi generasi kita,” kata Adi. Dia tampil “jernih, tanpa pamrih pribadi.”

Bagi Adi, Andre, Markoni, Tossi dan banyak lainnya, Batara adalah “sumber inspirasi.” Kami, sambung Andre, “berdialog diselingi tawanya yang khas, tutur katanya lembut dan runtun, penuh kesabaran membimbingku memahami pemikiran teori ekonomi sebagai anak muda yang mencoba memahami situasi di tanah air. Bung Bat, kau guru yang luar biasa. Salam hormatku.”

Markoni, sebagai sesama eksil, merasakan aspirasi dan semangat Bung Bat sebagai sahabat yang bergelora. Batara adalah “sahabat seperjuangan melawan rezim militer yang telah melancarkan genosida. Semoga semangat perjuangannya terwaris pada generasi Indonesia selanjutnya.”

Seperti Markoni, Indra antusias dalam pergaulannya yang intensif dengan Batara semasa di Amsterdam. “Saya bisa berbincang berjam-jam dan belajar banyak dari Bung Bat. Karena dia-lah, tahun 1980an di Amsterdam itu menyenangkan, mengesankan dan mendalam.”

Mutia pun mengenangnya sebagai sahabat yang hangat. Dia-lah yang mengantar draft ‘Berita Indonesia’ setiap kali hendak terbit ke kantor di Fakultas Ekonomi, Universiteit van Amsterdam, Jodenbreestraat dan Bung Bat selalu siap membantu memfotokopikannya.

Joss yang datang belakangan mengenal “Batara sebagai ilmuwan sejati yang selalu ingin tahu perkembangan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemaslahatan umum. Pengetahuannya saya manfaatkan untuk menjelaskan jatuhnya komunisme di Eropa Timur.”

Batara pun sempat beberapa waktu mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga. Dia “senang serta bangga sekali memperoleh kesempatan membaktikan pengetahuannya pada dunia intelektual tanah air. Teman-teman di Salatiga merasakan antusiasme dan kehangatannya,” begitu cerita Joss.

Batara hidup sederhana, tekun melakukan kajian ilmiah, tapi dia juga seorang yang bersetiakawan. Di tahun 1980an, diluar kesibukannya di kampus, dia menulis untuk berkala Kommittee Indonesie Feiten en Meningen dan membantu penerbitan bulanan kami Berita Indonesia – klipping berita dari media Indonesia dan media asing. Pengumpulan berita dilakukan selama satu bulan, dan persiapan proses penerbitan selalu dilakukan dalam satu malam.

“Dari sore hingga tengah malam. dalam proses penerbitan itu Bung Batara, ketika itu belum menikah, selalu menyempatkan hadir. Bahkan dia menyempatkan diri sampai jauh malam mencari berita di Leiden. Sampai mencetak pun dilakukan melalui jasa baik Bung Bat,” kenang Bung Dalam. Selain itu, melalui siaran bahasa Indonesia Radio Nederland, Batara juga mengisi acara ekonomi secara berkala.

Batara menikah dengan Sekartini Markiahtoen, anggota keluarga pendiri Gereja Pasundan, pada 1985. Dia merampungkan dissertasinya pada 1991. Sejak itu kegiatannya di luar rumah tentu saja berbeda. Dia dan Bu Tini menjadi teman baik Agrar dan Atik dan sering bertemu kawan-kawan lain menikmati musim panas di kebun mereka.

Bung Bat telah meninggalkan kami, namun tetap bersama kami dalam kenangan yang membekas.

* Selamat jalan, Bung, beristirahatlah dalam kedamaian.

* Dumogi amor ring acintya. (Semoga beliau menyatu dengan Yang Maha Kuasa – I Gde Arka)

* Anicca vata sangkhara, uppada vaya dhammino, upajitva nirrujhanti, tesam vupassamo sukho. (Semua hal ihwal terkondisikan, muncul dan menghilang, setelah terlahir pasti sirna, dalam kehampaan kondisi tercapai kesukaan mutlak. — Adi Ichsan)

Sumber: Adi: Adi Ichsan; Agrar: Agrar Sudrajat; Andre: Andre Moedanton; Atik: Atik Setyowati; Dalam: I Gde Arka; Markoni: Siradj al Soloni ; Indra: Datuk Indra Tesuka; Mutia: Mutia Samoen; Parmin: Parmin Redjowirono; Joss: Joss Wibisono; Tossi: Aboeprijadi Santoso.

Versi semula artikel ini terbit di

https://www.facebook.com/aboeprijadi.santoso/posts/10155993457873884

https://www.academia.edu/36760377/Dr._Batara_Simatupang_Pendekar_di_Usia_Senja._1_Juni_2018_

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile