Bahasa Indonesia, Timor Leste

Rumput-rumput Lorosae

Kolom ini semula terbit di Majalah Tempo dan di Ceritanet 12 Sept. 2001 https://ceritanet.com/?p=1618. Diterbitkan kembali disini dengan beberapa ralat. Fretilin, meminjam...

Written by Aboeprijadi Santoso · 2 min read >

Kolom ini semula terbit di Majalah Tempo dan di Ceritanet 12 Sept. 2001 https://ceritanet.com/?p=1618. Diterbitkan kembali disini dengan beberapa ralat.

Fretilin, meminjam istilah seorang bekas tokoh Fretilin, ‘seperti tidur di atas (bencana) sejarah.’ Bekal historis itu diperolehnya berkat agresi tetangga, ketika seorang jenderal di Jakarta berseru bahwa Timor Timur bisa dibereskan dalam sehari ; ‘sambil makan pagi di Dili, makan siang di Baucau dan makan malam di Los Palos.’

Lalu, kita tahu apa yang terjadi ; politik luar negeri bebas dan aktif terjungkir-balik, APBN disedot dan puluhan ribu jiwa, rakyat tetangga maupun prajurit kita, melayang. Sebuah bencana politik dan kemanusiaan.

Lebih seperempat abad kemudian, 30 Agustus yang lalu, rakyat Timor Lorosae pagi buta sarapan, berduyun-duyun ke TPS, makan siang di sana, lantas makan malam di rumah. Pada hari yang sama dua tahun silam, mereka juga lakukan itu.

Tetapi para jenderal dan milisi memilih cara mengerikan dan memalukan untuk menanggapi hasil kotak suara ; bumi hangus. Sekarang, pertama kali, rakyat pemilih Timor Lorosae pulang dengan aman.

Dengan kata lain, dalam sehari, mereka telah menciptakan sebuah ruang demokrasi, yang ditakuti penguasa tetangga selama lebih dari dua dasawarsa.

“Ayah dan ibu saya mati oleh tentara Indonesia. Hanya Fretilin yang membela kami,” ujar seorang gadis, 14 tahun dengan mata berlinang. Balas dendam bukan kata yang tepat sebab rakyat Timor Lorosae tidak membenci Indonesia.

Mereka gamblang membedakan antara orang Indonesia dan ABRI. Tapi dengan memelopori perjuangan dan mengumumkan kemerdekaan pada 28 Nopember 1975, Fretilin punya kartu (credentials) legitimasi yang kokoh.

Rumputnya di mana-mana, kata orang.

Rumput adalah konsep generic di Timor Lorosae, meski di sana tak ada lagi rumput. Perang, peluru, perburuan gerilya, tank dan truk selama dua dasawarsa, tak pernah ramah terhadap rumput. Akibatnya, rumput jadi metafora, rakyat diibaratkan rumput yang dilindas kekuatan asing –400 tahun Portugal, 3 tahun Jepang dan seperempat abad ABRI. Dan, sekarang, akar-akar rumput politik (grass roots) itu jatuh ke tangan Fretilin dan berbicara.

Tetapi, seperempat abad telah menelan makna lambang-lambang dan perangkat negara yang disiapkan Fretilin sejak 1974. Nilai-nilainya dan programnya jadi kadaluwarsa. Lagi pula, sejak 1980-an, peran Fretilin dioper CNRM (belakangan CNRT) dan klandestin. Tapi Fretilin yakin, massa telah digenggamnya.

Sebaliknya, partai-partai lain sadar, Fretilin unggul karena nilai-nilai 1975 seolah diborong oleh Fretilin, seperti terungkap oleh gadis awam tadi. Persepsi rakyat memang bermain kuat dalam setiap pemilu, tak perduli kenyataan sejarah. Seperempat abad perjuangan di Tim-Tim, dengan kata lain, menciptakan realitas campur mitos rakyat tentang Fretilin.

Padahal Fretilin 2001 (sebagai Partido – partai politik), bukan Fretilin 1974-1975 (sebagai moviemento – gerakan rakyat).

Itu sebabnya soal Restoracao RDTL (restorasi Republik Demokratik Timor Leste) jadi isu. ASDT, partai yang didirikan F. Xavier do Amaral, J. Ramos-Horta dan Nicolai Lobato, adalah cikal-bakal Fretilin. Tapi Fretilin ogah mengakui Xavier sebagai pemimpin.

Semacam Rengasdengklok 1945 –saat Soekarno dan Hatta diculik pemuda– Xavier pada 28 Nopember 1975, pukul 22.00, harus didesak oleh Nicolai Lobato dan Mari Alkatiri –penyusun teks proklamasi– agar membaca proklamasi. “Saya bukan ragu-ragu, tapi mata saya memandang laut dan telinga saya mengarah ke udara kalau kalau tentara Indonesia datang menyerbu,” kilah Xavier sekarang.

Fretilin juga kecewa, Xavier pagi pagi (dianggap) sudah nyerah. (Padahal dia tidak menyerah, melainkan ditangkap ABRI). Memang, tahun 1978 proklamator itu turun gunung, lalu dijadikan tukang kebun oleh seorang jenderal di Cijantung. Bayangkan jika proklamator RI Soekarno setelah ‘menyerah’ di Yogya pada 1949, lalu di-tukang-kebun-kan di Belanda, entah apa jadinya.

Lalu, medio 1980an, Xanana Gusmao merombak struktur perlawanan. Falintil jadi gerilya non-partisan (lepas dari Fretilin) dan CNRM jadi payung gerakan nasional. Walhasil, kartu-kartu legitimasi perjuangan itu sebenarnya diteruskan unsur-unsur CNRM/ CNRT, yang kini tersebar di dalam, tapi terutama di luar Fretilin.

Dan berbeda dengan pimpinan Fretilin yang bertahun-tahun di hutan atau di pengasingan, barisan eks-klandestin di Jawa dan Bali itu aktif dan selalu bersentuhan langsung dengan masyarakat di Tim-Tim. Tapi rakyat tak peduli: dalam persepsi rumput-rumput Lorosae, Fretilin adalah segalanya.

Bekal historis membuat Fretilin tidur, kurang peka. Dalam kampanye, misalnya, para pemimpinnya memakai istilah ‘sapu bersih,’ ‘sapu rata’ untuk menggertak para pengkhianat RDTL, yang disebutnya rumput rumput liar.

Padahal istilah ‘sapu ini, sapu itu’ adalah isyarat ABRI untuk pembantaian –Sapu Jagad untuk bumi hangus 1999. Orang curiga, jangan jangan kekerasan bukan monopoli ABRI, dan perjuangan bukan monopoli Fretilin.

Apapun, Fretilin kini mengaku tak mau lagi konstitusi, program, dan retorika RDTL yang revolusioner – ala Frelimo Mozambik 1970an – tapi tetap mengklaim bendera, hari-H kemerdekaan dan nama RDTL untuk negara baru.

Aset legitimasi yang tertunda seperempat abad kini menciptakan euforia. Fretilin menang besar ketika jaman menagih rekening. Dan membawa pesan bagi tetangga ; jangan lagi jadi Goliath melahap David.

Tapi bagi Xanana Gusmao, kemenangan Fretilin bisa memacu persoalan persatuan, rekonsiliasi dan rehabilitasi nasional.

Seperti di Uni Soviet dan juga Meksiko, partai besar pengemban legitimasi revolusioner bisa mapan, untuk kemudian merosot atau buyar. Untuk Timor Lorosae, itu tergantung pada rumput-rumput tadi.


***

Aboeprijadi Santoso, Wartawan Radio Hilversum Belanda, sekaligus pegiat demokrasi. Mulai jadi wartawan sejak tahun 1982 di Hilversum, kemudian juga di mingguan berita Editor (s/d 1994). Aktif mengamati Timor Lorosae dan kemarin meliput pemilu Timor Lorosae. Sekarang masih bermukim di Belanda tapi sejak tidak masuk daftar hitam imigrasi lagi bolak-balik ke Indonesia.

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile