Bahasa Indonesia, Indonesia

Jokowi – ‘Man of the people’ atau ‘Man for the people’?

Catatan ini berasal dari status Facebook 25 Agustus 2014 https://www.facebook.com/photo?fbid=10152481971098884&set=a.10150265256413884 Jokowi, jelas, telah menjadi simbol anti-elite. Sebagian dari 47% elektorat pendukung kubu...

Written by Aboeprijadi Santoso · 2 min read >

Catatan ini berasal dari status Facebook 25 Agustus 2014 https://www.facebook.com/photo?fbid=10152481971098884&set=a.10150265256413884

Jokowi, jelas, telah menjadi simbol anti-elite. Sebagian dari 47% elektorat pendukung kubu Prabowo-Hatta, terutama kalangan kelas menengah-atas yang konservatif, termasuk intelegensianya, menolak Jokowi karena Jokowi di mata mereka bukan ‘pemimpin’, tapi mewakili citra rakyat, simpel, biasa, awam, kampungan, ndeso, tidak kosmopolit, tidak tampan, tidak elegan – pendeknya sebuah simbol dari sosok dan karakter yang dianggap ‘non presidensial’. Bagi mereka, mendukung Jokowi sama saja dengan merendahkan martabat diri, bangsa dan negara. Alasan yang amat dangkal, namun meluas, karenanya, implikasinya panjang.

Sebab, betapa pun, porsi mereka ini cukup besar dan penting, meski jumlahnya kalah jauh dari mayoritas elektorat yang melihat Jokowi sebagai ‘one of us’ seperti terungkap dimana-mana dalam semboyan “Jokowi Adalah Kita”.

Walhasil, terjadilah pertentangan2 dalam masyarakat. Bahkan ketegangan2 meningkat dan merasuk ke ranah privat: antar sobat, antar pasangan, dan antar keluarga dan kerabat. Kita lihat kekerasan verbal, perkelahian, permusuhan, bahkan pun perceraian dan friends di-unfriend-kan di media sosial, banyak terjadi. Yang menarik, semua itu terjadi di kalangan middle classes yang terdidik dan mapan, yang notabene selama ini kita kenal justru alergis terhadap segala hal yang berbau ‘politik’. Mereka tiba2 jadi ‘political minded’.

Sebaliknya hiruk pikuk dan ketegangan semacam itu tidak menggejala di kalangan lower middle dan rakyat awam – kecuali mereka yang digalang sebagai pengunjuk-rasa bayaran. Bagi banyak rakyat kecil, sekalipun memilih Jokowi karena menganggap dia “merakyat”, Pilpres tidak terlampau penting. Pesta demokrasi ini “tidak ngaruh” pada hidup sehari-hari, keluh mereka.

Dengan kata lain, polarisasi ‘pro-elit’ versus ‘anti-elit’ berkembang makin tajam. Sosiolog-sejarawan Belanda W.F. Wertheim dalam bukunya “Elite en Massa” (1975) mencatat dikhotomi dan pertentangan ini sebagai benang merah historis yang panjang di banyak masyarakat, karena elite dan arus utama (mainstream) masyarakat selalu mengandalkan peran kunci elite. Inilah trend “betting on the strong”, simpulnya.

Yang signifikan dan menarik disini, polarisasi itu pun konsisten dengan sejarah pemberontakan petani Jawa melawan pajak sepanjang abad XIX. Menurut Sartono Kartodirdjo dan Onghokham, dan seperti terungkap tajam dalam protes Multatuli dalam novelnya “Max Havelaar” – dalam adegan menyumpah-serapah dimuka gambar Gubernur Jenderal di Istana – rangkaian panjang pemberontakan petani itu bukan bersifat anti-kolonial, melainkan sangat eksplisit anti ruling elite: melawan Tuan Besar Belanda & elite lokal ‘feudal’.

Maka disini gagasan Jokowi “Revolusi Mental” memperoleh konteks yang idiomatik, bahkan paradigmatik, sehingga menjadi bermakna bagi para pendukungnya. Bukankah Jokowi sendiri yang merumuskan ‘demokrasi’, dalam debat TV pertama, sebagai “mendengar suara rakyat”. Begitu ujarnya sambil jarinya menyentuh pelipis telinganya. Simpel, tapi instruktif.

Like it or not, itu patokan Jokowi. Tentu, ini adalah rumus populis untuk menjadi tokoh populer, namun belum tentu merupakan jaminan efektivitas untuk memerintah dan mengatur negeri ini. Karl Marx sebenarnya merumuskan perjuangan perbaikan nasib rakyat sebagai perubahan dari “klasse an sich” menjadi “klasse fur sich”. Jadi, perlu transformasi pada tingkat mental dari posisi sosial ke alam kesadaran sosial-politik: seberapa jauhkah ‘rakyat’ telah matang untuk berubah dari obyek dan target semata menjadi subyek politik yang sadar?

Dengan kata lain, seberapa jauhkah kondisi sosial, dan seberapa mampukah, seberapa mungkinkah Jokowi, Man of the People, akan menjadi Man For the People, yang merintis dan menggiring transformasi tsb?

Disitulah Jokowi, dan terutama Jusuf Kalla – the very representative of conservative oligarch – akan teruji dalam menghadapi oligarch2 yang lain, yang lebih kuat, yang obsesif, dan, karenanya, amat cemas akan ancaman2 terhadap kemapanan kursi2 kuasa yang menjaga modal2 mereka.

Pertanyaan2 diatas tentu saja masih terlampau besar dan terlalu dini untuk dijawab secara tuntas. Sebagian orang akan cepat2 menjawab: mustahil. Mana mungkin, kata mereka, seorang mantan pedagang, dus borjuasi kecil, yang beralih jadi birokrat berorientasi manajer, bukan ideologi, lalu ‘mendadak’ jadi pemimpin politik, bakal memimpin suatu gerakan rakyat yang transformatif. Sebagian lagi akan bersabar, mengawal dengan kritis sambil berharap bahwa paling kurang ini merupakan sebuah momentum yang jarang, baru dan cukup menjanjikan.

Yang terang, perubahan masyarakat telah memungkinkan awal perubahan di tubuh negara. Sayangnya, kita memang belum punya bahan dan hasil penelitian2 yang memadai untuk merumuskan perubahan2 tingkat kesadaran massa sejak Reformasi ini. Karena itu, segini aja. Tabik dulu …

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile