Bahasa Indonesia, Indonesia

Live Aid Lagi, Bom Lagi

Bom London, Geldof & Rendra (8 Juli 2005) Semula kolom untuk Radio Nederland, Hilversum, 08 Juli 2005https://www.facebook.com/notes/10158308580058884 Sejumlah bom kembali menggelegar. Kali...

Written by Aboeprijadi Santoso · 3 min read >

Bom London, Geldof & Rendra (8 Juli 2005) Semula kolom untuk Radio Nederland, Hilversum, 08 Juli 2005
https://www.facebook.com/notes/10158308580058884

Sejumlah bom kembali menggelegar. Kali ini, giliran London. Seperti Peristiwa 11 September 2001 di New York, bom di Bali, Casablanca, Istanbul, Madrid, bom London ini juga terjadi di kota besar, kota penting. Seperti New York, kembali, lokasinya di kawasan pusat bisnis: kawasan City di London timur. Seperti di Madrid, jaringan kereta api, jadi sasaran. Seperti di New York dan Madrid, bom London terjadi pada jam jam sibuk. Seperti semua kasus itu, teror di London, tampaknya, pun, direncanakan lama sebelumnya. Dan, seperti semua itu, ini adalah kejahatan kemanusiaan yang mengorbankan banyak orang.

Sementara Afrika, simbol kemelaratan itu, kini dianggap sebagai korban ketimpangan global. Maka, menjelang KTT 8 negara termaju di Gleneagle, Inggris, ada pergelaran musik Live Aid-8, yang menggelegar ke seluruh dunia. Tapi bom London menggusur topik Afrika, dan orang kembali digiring untuk melupakan kemelaratan dan kelaparan di Afrika. Lantas, terpaku pada bom London.

Sebenarnya ada persamaan tertentu antara pergelaran musik Live Aid-nya Geldof dan Bono untuk Afrika, dan bom London itu.

Live8 dan bom London

Bom London itu sekadar sebuah sarana pembawa pesan, sementara pesannya tersembunyi – apakah hanya untuk masyarakat tak bersalah, ataukah, lebih ditujukan kepada KTT-8 di Gleneagles. Sebaliknya, gelegar musik Live Aid adalah sarana yang jelas, dengan pesan yang jelas, yaitu hapuskan kemiskinan. Dan ditujukan kepada alamat yang jelas pula, yaitu KTT-Kelompok Delapan Negara Gleneagles.

Tapi, keduanya – bom London dan musik untuk Afrika itu – boleh dikatakan adalah bentuk bentuk yang berbeda dari suatu keangkuhan serupa pada skala global.

Menggalang dana dengan menggunakan bintang bintang gemerlap – selebriti dunia – bukanlah barang baru. Konser Live Aid juga digelar 20 tahun lalu untuk membantu korban busung lapar di Ethiopia.

Sekarang, Bob Geldof tampil bersama Bono, dengan menggiring bintang panggung lainnya. Geldof dan Bono menjadi semacam Charles Dickens dan Emile Zola masa kini. Dulu, Charles Dickens memrotes pengerjaan kanak-kanak di zaman Victoria, sedangkan Emile Zola mengingatkan dunia akan nasib pekerja tambang dan menggugat diskriminasi antisemit, dalam manifestonya, “J’accuse” (Aku menggugat).

Jadi memanfaatkan karya seni sastra untuk mengetuk nurani dunia, pun bukan barang baru. Filsuf Prancis alm. Jean-Paul Sartre, dengan kata-katanya yang menggigit, mengungkap protes moralnya. Picasso melukis Guernica untuk memprotes pemboman kota Guernica oleh Luftwaffe, Angkatan Udara Nazi Jerman.

Jadi, apa yang baru, dan apa yang dapat diharapkan, dari seni musik dunia yang dipanggungkan oleh Geldof, Bono, Sir Paul McCartney, Sir Elton John, Sting, Madonna, dsb itu, untuk mengimbau perhatian pada kemelaratan Afrika itu? Lagi pula, mengapa perlu mengerahkan bintang-bintang gemerlap untuk memancing kocek dunia, nyaris tanpa bintang-bintang setara dari Afrika untuk mengimbau nasib Afrika?

Geldof vs Rendra

Seorang kolomnis cerdas, Madeleine Bunting, menuliskan rahasianya dalam The Guardian. Menurut kolomnis ini, Afrika yang lapar itu amat kaya raya dengan karya seni rupa dan seni musik. Afrika, kita tahu, memiliki khasanah seni rupa, musik, seni patung dan film yang dapat menyemarakkan musik rock, pop, rap, hip-hop dan alunan musik lain yang seharusnya patut diangkat oleh Geldof cum suis itu. Tetapi, mengapa kekayaan seni Afrika itu justru harus absen dalam suatu pesta dunia untuk Afrika. Sebab, tulis kolomnis tsb, panggung ini ingin mengingatkan orang pada kemuliaan misi “peradaban” Barat untuk Afrika.

Keangkuhan Bob Geldof mengingatkan saya pada Live Aidnya pertama pada 1985, yang menimbulkan sengketa terbuka dengan seniman Indonesia, Rendra. Rendra barangkali satu satunya yang secara terbuka menggugat dan menantang debat tentang Live Aidnya Geldof. Dia tergerak, berpikir, dan marah.

Menurut cerita Rendra – waktu itu dia kebetulan lagi bertamu di rumah saya di Amsterdam – dia sudah mengingatkan Geldof akan ketimpangan global yang juga terjadi di bidang mereka, seni musik dan panggung. Kalau Geldof menuntut negara-negara miskin membayar hak cipta dulu sebelum tampil di panggung dunia, begitu protes Rendra, maka panggung dunia ini hanya akan terisi oleh seniman-seniman dari dunia mapan saja.

Persis, itulah yang terjadi sekarang, 20 tahun setelah sengketa Geldof dan Rendra.

Keangkuhan

Jadi, aksi amal tingkat dunia itu diisi, digelar oleh seniman dunia maju untuk publik dunia maju, tetapi diperuntukkan bagi dunia terbelakang seperti Afrika. Menurut kolumnis tadi, di sini Afrika menjadi simbol yang berguna untuk mempertontonkan amal dunia maju. Dia mengutip Prof. John Lonsdale, spesialis Afrika dari Universitas Cambridge, Inggris, yang menunjuk pada tema-tema kolonial ketika Afrika kembali menjadi obyek dari misi peradaban Barat. Yaitu harus menyelamatkan dan memajukan peradaban Afrika. Live Aid-8-nya Geldof, singkatnya, adalah ekspresi falsafah the White Man’s Burden ..

Padahal, sekali lagi, musik tadi sekadar sebuah sarana pembawa pesan, dan tak ada yang menjamin bahwa para penerima pesan akan mengingat nasib Afrika setelah menikmati sarana pesan tsb.

Bom London – maaf, jika ini sinis – juga begitu. Bom laknant itu menghantar sebuah pesan gelap bahwa KTT-8, khususnya Amerika Serikat dan Inggris, lewat perang di Irak dan Afghanistan, telah membuat teror berkembang biak. Bedanya, tentu saja, sarana pesan (bom) di London itu fatal, mematikan puluhan orang tak bersalah, sedangkan sarana musik untuk Afrika itu menghibur orang.

Tapi keduanya seperti sebuah keangkuhan raksasa – paling kurang bagi banyak orang seperti kolomnis The Guardian tadi, dan bagi Rendra.

Bom London, seperti teror New York, Bali dst, menjadi ujud keangkuhan moral sekelompok orang atas nyawa sesama manusia. Satu persamaan dengan satu perbedaan yang hakiki: keangkuhan bom itu sekaligus suatu kejahatan.

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile