1965, Aceh, Bahasa Indonesia, Indonesia

Aceh, Persatean 1965, dan ‘NKRI’

Ada yang aneh bin ganjil di bulan September 2005 ini. Kontroverse soal MoU (Memorandum of Understanding) atau persetujuan damai Aceh di Helsinki,...

Written by Aboeprijadi Santoso · 6 min read >
Artikel ini semula terbit sebagai kolom Radio Nederland, 23 sept. 2005 http://www2.rnw.nl/rnw/id/spesial/kolom_ranesi/kolom_as_aceh_1965_050922?
Pernah diterbitkan dalam blog https://aboeprijadi.blogspot.com/2005/09/aceh-persatean-1965-dan-nkri_25.html

Ada yang aneh bin ganjil di bulan September 2005 ini. Kontroverse soal MoU (Memorandum of Understanding) atau persetujuan damai Aceh di Helsinki, 15 Agustus, mulai meredup menjelang akhir September -tepat 40 tahun Peristiwa G30S yang menghasilkan aib bangsa dan tragedi kemanusiaan terbesar Indonesia.

Namun, dalam pemberitaan media massa, soal Aceh dan Peristiwa 1965 tak pernah dikaitkan, seolah-olah samasekali tak ada hubungannya. Padahal, tanpa tragedi 1965-66, Orde Baru tak akan tegak. Tanpa Orde Baru, kemelut Aceh tak akan separah itu. Dengan kata lain, ada pelembagaan ideologi Orde Baru -`missing link‘ – yang menghubungkan keduanya.

Kebanyakan kritik terhadap perdamaian Aceh kedengarannya munafik,dan mencerminkan schizofrenia dan paranoid yang melekat pada gaya nasionalisme Indonesia masa kini. Banyak kekuatan politik dan publik takut, Aceh bakal lepas dari NKRI melalui partai lokal, padahal pada tahun 1950an kita sudah mengenal partai-partai lokal tanpa meributkan soal kesatuan.

Ada yang khawatir akan federalisme, padahal kenyataan negeri ini sudah semacam semi-federal atau `negara kesatuan-pura-pura’. Lhaa, siapa yang memberi otonomi, dan siapa dan bagaimana cara mengontrol otonomi di tangan 400an bupati (Suharto-Suharto Kecil) di seluruh Nusantara tanpa mekanisme kontrol tertentu? Lagi pula, mana ada propinsi meraih 70% penghasilan daerah, yang bahkan di Amerika Serikat (“mbahnya federalisme”, dalam istilah Christianto Wibisono) pun mustahil.

Ada pula yang tak bisa tidur, takut hantu Van Mook akan membuat Indonesia buyar, padahal Presiden Sukarno sudah lama mengubur mitos itu dengan membubarkan RIS (Republik Indonesia Serikat) pada 1950. Ada yang cemas karena hak Aceh untuk menetapkan suku bunga dapat mengancam ekonomi Indonesia, padahal MoU tidak menyebut Aceh berhak punya bank sentral sendiri. Lalu, ada yang cemburu, ingin otsus (Jawa Timur, Sulsel, Riau, Bali), padahal sudah disepakati hanya adatiga daerah istimewa/otsus – Yogyakarta, Aceh dan Papua.

Kritik-kritik paranoid itu mengandung tiga unsur dasar yang sama. Pertama, ketiganya samasekali tidak mempersoalkan ihwal yang palingpokok bagi Aceh: perang dan damai. Artinya, mereka tak peduli kenyataan perang yang amat menyakiti Aceh mau pun kenyataan damaiyang amat didambakan Aceh.

Ini bermakna mengabaikan kepentingan Aceh yang dilanda dua macam ‘tsunami’: konflik dan perang ganas selama 29tahun yang melibas kehidupan dan hak-hak asasi rakyat sipil Aceh, dan musibah alam tsunami. Para pengritik MoU tak mau menarik pelajaran berharga bahwa Perdamaian Helsinki merupakan upaya damai – suatu solusi politik diikuti demilitarisasi – yang pertama dalam sejarah Indonesia dalam menyelesaikan masalah regional dan separatisme.

Bagi Indonesia pasca-Suharto yang terbebani warisan Orde baru, solusi Aceh itu amat penting dan dapat merintis perubahan Sebab, untuk kali pertama, terjadi demilitarisasi yang signifikan (dari 41.000 menjadi 14.000 TNI) di sebuah daerah konflik. Dalam hal ini, kesediaan TNI dan Brimob untuk mundur, dan GAM untuk menyerahkan senjata, layak dihargai.

Lalu, apakah para pengritik itu juga tak peduli sambutan positif rakyat Aceh sejauh ini, selama bulan pertama penyerahan senjata GAM dan penarikan TNInon-organik dan Brimob? Kalau tidak, ya “silahkan kalau mau perang sendiri,” ujar Jusuf Kalla, perintis Helsinki, mengingatkan secara implisit bahwa Megawati-lah yang mengingkari janji untuk tidak meneteskan darah di bumi Tanah Rencong. Kedua, menginginkan otsus seperti Aceh menandakan bahwa para pengkritik MoU tidak memahami daerah-konflik seperti Aceh dan Papua.

Menuntut keistimewaan otsus Aceh berarti melupakan kenyataan pokok bahwa Aceh sebenarnya tak pernah menikmati “keistimewaan” itu. Mereka melupakan luka pertama Aceh ketika PM Ir. Djuanda pada 1952 menjadikan Aceh bagian dari propinsi Sumatra Utara. Pemerintahan Djuanda mengingkari janji dan tangis Presiden Sukarno di muka Abu Daud Beureu’eh dalam pertemuan historis di Hotel Atjeh di Kuta Radja pada1948.

Aceh menderita justru karena “keistimewaan”nya tidak istimewa, dan disusul ketimpangan bagi hasil sumberdaya dan konflik berdarah yang panjang. Singkatnya, orang lupa bahwa Aceh telah menderita kerugian besar secara material dan bathin semasa Orde Baru.

Hanya satu kritik menohok secara tepat: Kwik Kian Gie menyebut MoU itu semacam “pampasan perang” – analog dengan Jepang pasca PD-II – yang harus dibayar Jakarta kepada Aceh. Sayang, Kwik lupa, selain membayar pampasan, para penjahat perang Jepang diseret ke Tribunal Tokio. Lalu, bagaimana dengan penjahat HAM Jakarta semasa DOM (1989-1998) dan setelahnya?

Ketiga, kecuali kalangan TNI, kritik-kritik itu lupa bahwa MoU Helsinki dapat mengancam bisnis militer, yang selama ini merugikankas negara karena menguasai sektor ekonomi informal – dari pembalakan liar, penyelundupan sampai perdagangan ganja di Aceh – yang bakal terdesak di bawah pemerintahan-sendiri Aceh kelak.

Namun, paling menarik, kritik-kritik terhadap MoU pada dasarnya bersumber dari persepsi ideologis warisan Orde Baru, yang utamanya melihat NKRI sebagai entitas teritorial, dan, karena itu, masalah Aceh dilihat sebagai masalah teritorial ketimbang sebagai masalah keadilan, hak dan identitas lokal. Dalam bahasa sederhana: Orde Baru suka (hasil bumi) Aceh, tapi tak suka orang Aceh (idem dito Papua). Akibatnya, masalah Aceh selalu dilihat sebagai soal TNI versus GAM belaka. Menarik, hal ini bahkan diakui oleh Wiryono S, diplomat RI yang berunding dengan GAM pada 2002.

Obsesi dan paranoide teritori itu, selain merujuk pada kepentingan negara pada hasil bumi dan sumberdaya daerah, pada dasarnya,bersumber dari pengkeramatan – sakralisasi – yang terjadi pada lembaga negara di bawah Orde Baru. Negara dan segala atributnya, simbol, kelembagaan, kepemimpinan, aparat, termasuk wilayah, telah dikeramatkan. Bahkan amandemen konstitusi tak boleh melebihi 37 pasal karena UUD 45 pasalnya sebanyak itu.

Di bawah Suharto, negara otoriter militeristis, pada 1980an, cenderung totaliter dengan membangun hegemoni, yang hendak dilestarikan dengan mengkeramatkan atribut-atribut negara. Pengkeramatan atribut, simbol dan misi alat negara – “Dari Sabang sampai Merauke”, Panca Sila, UUD 1945 dst – menjadi mantra-mantra dari doktrin dan dogma Orde Baru yang menciptakan sebuah konstruksi dan wacana bernama “NKRI” – bukan negara kesatuan RI yang dicintai para warga pecinta dan patriot Indonesia, melainkan suatu wacana –alur-alur berpikir – yang mengutamakan kesatuan teritori sebagai primat di atas segalanya – bahkan, juga di atas keselamatan dan kebahagiaan manusia dan kelompok-kelompok bangsa, demi kesatuan dan jati-diri yang seragam dan tunggal.

Akibatnya, misalnya, panji-panji seperti “Cinta Damai Tapi Lebih Cinta Negara Kesatuan” di tengah konteks Aceh yang dilanda konflik dan tsunami, telah membuat orang Aceh bosan dan kesal, sehingga retorika itu menjadi hampa dan kontra produktif. Ini saya saksikan di Meulaboh dan banyak tempat di Aceh pasca-tsunami. Idem-dito pos-pos militer sepanjang jalan raya Medan-Banda Aceh semasa Darurat Militer 2003-04.

Walhasil, mantra-mantra “NKRI” yang doktriner itu menggembosi patriotisme Indonesia. Ironis, bukan, bahwa orang menyangka bahwa,dengan mudah curiga dan berseru “berantas separatisme”, akan menciptakan patriot-patriot. Persis kebalikannya, itu malah menggembosi persatuan karena retorika itu samasekali tidak menjawab protes-protes sah terhadap kesewenangan dan ketidakadilan mau pun masalah-masalah daerah. Bukankah Bung Hatta pernah memperingatkan, jangan biarkan “persatoean” ini menjadi “persatean“.

Ternyata, persatean besar 1965-66 malah melahirkan Orde Baru dengan hegemoni ideologis dan pengkeramatan negara itu, yang ekornya kembali menghasilkan sejumlah persatean lain di Timor Timur, Aceh dan Papua. Orde Baru – tepatnya TNI/ABRI, Seskoad, Kodam Siliwangi sejak 1964 –sudah menyiapkan paradigma sendiri, dengan menggusur istilah “buruh”, “Tionghoa”, “demonstrasi”, “revolusi”, dan menggantinya dengan “karyawan”, “Cina”, “unjuk rasa”, “pembangunan”,dsb.

Di bawah hegemoni Orde Baru, istilah-istilah itu bukan sekadar semantik, melainkan bagian dari pembentukan wacana, alias alur-alur berpikir politik, secara totaliter. Lahir dan berkembangnya makna suatu kata dan konsep, menurut filsuf Wittgenstein, sesuai asas verbal valent usu – makna pemakaiannya – adalah suatu ‘game‘,permainan, yang sangat dipengaruhi konteks sosial-politik – apalagi di bawah rezim cenderung totaliter.

Begitu juga konsep yang menjadi legitimasi masa kini, yakni “NKRI”.Orang lupa, negara ini lahir tahun 1945 sebagai R.I, republik yang satu, bersatu dengan makna persatuan, bukan kesatuan. Orde Baru-lah yang memperkenalkan wacana “kesatuan” yang bermakna unit atau kesatuan dalam bahasa militer – bukan “unity” atau “united” dalam arti persatuan seperti dimaknai oleh Soekarno dan Hatta dan generasi pendiri republik ini. Konsepsi “kesatuan” untuk menggantikan nilai persatuan sebagai perekat negara, hanya terjadi semasa Orde Baru.

Walhasil, berkat wacana totaliter Orde Baru, berkat orientasi teritorial yang menggantikan orientasi kemanusiaan dan keadilan, setiap aspirasi kedaerahan mudah dianggap “separatis”. Akhirnya, lahirlah separatisme beneran, yang dijawab dengan persatean. Tapi, karena sang aparat merupakan bagian dari mantra keramat dan mempunyai misi menjaga kesatuan yang keramat, maka segala persatean keji demi misi yang keramat itu pun menjadi benar.

Dari sinilah lahir impunitas bagi semua pelanggaran HAM – di Timor Timur 1999, Abepura, Papua, 2000, di Aceh semasa DOM dst. Menteri Pertahanan semasa Presiden Gus Dur, Mahfud, pernah mengungkap adanya ‘deal’ bahwa, pasca 1998, para jendral itu setuju saja demokratisasi, asal mereka tidak dihukum karena pelanggaran HAMdi masa lalu di saat bertugas “demi NKRI”. Gus Dur sendiri akhirnya terjungkal, antara lain, karena dicurigai membahayakan kesatuan teritorial NKRI.

Jadi, “NKRI” tidak lagi merujuk pada negara kesatuan, melainkan menjadi legitimasi bagi suatu rezim. Konsekuensinya, Suharto selamat dari sanksi hukum karena rezimnya-lah yang mengkeramatkan misi keramat aparatnya “demi NKRI”. Tepat, Sobron Aidit menyebut Suharto “diktator paling beruntung dan berbahagia”. ‘Deal‘ serupa terjadi di Cile, tapi setelah beberapa tahun dicabut parlemen dan Augusto Pinochet kini mulai digugat atas kejahatan HAM rezimnya.

Sakralisasi alat dan atribut negara adalah bunga-bunga, dan bagian dari nasionalisme. Ben Anderson menunjuk, nasionalisme adalah ideologi yang “tidak memiliki ideologi”, maksudnya, bisa dipakai oleh siapa saja, dari sayap kiri sampai kanan. Kita melihat NKRI tidak hanya menjadi mantra Orde Baru, tapi juga didukung para penentang Orde Baru, termasuk banyak kalangan sayap kiri di dalam dan luar negeri. Saya pernah terkejut, mendengar beberapa orang “klayaban” (eksil dalam istilah Gus Dur) berbicara soal Aceh, sama galaknya dengan Jendral Ryamirzad Ryacudu dan PDI-P. Dalam istilah Pramoedya Ananta Toer, ini namanya ironi “Orde Baru Baru”.

Dengan kata lain, orang gagal memahami bahwa “NKRI” – yaitu Indonesia sebagai unit militer yang berideologi dan berjati-diri tunggal dan seragam – adalah bagian dari wacana totaliter. Akibatnya, secara intelektual, mereka pun terjebak menjadi pendukung Orde Baru, meski retorikanya bisa saja sebaliknya.

Mengenang 40 tahun G30S, dengan tragedi persateannya, adalah sebuah ironi tersendiri. Peristiwa itu belum terbongkar tuntas, stigmanya masih tersisa kuat, rehabilitasi hak-hak sipil para korban tetap terabaikan, dan tragedinya tak pernah diakui resmi sebagai aib bangsa. Semua itu tersimpan menjadi trauma dan amnesia publik.

Tanggal 1 Oktober boleh saja diresmikan sebagai Hari Kesaktian Pancasila (lihat lagi lagi pengkeramatan), tapi konsep `kesaktian‘ mencerminkan suatu kemenangan, bukan suatu pengakuan negara atas tragedi bangsa yang harus diselesaikan. Upaya damai Aceh adalah sebuah halaman baru dari perjalanan panjang sejak persatean besar 1965-1966, yang memungkinkan hegemoni ideologi negara Orde Baru. Reaksi-reaksi terhadap Persetujuan Helsinki adalah salah satu imbasnya. Atau ekornya.

Panjang nian, memang, ekor itu …

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile