Bahasa Indonesia, Indonesia

Perhimpunan Indonesia (1908) & Kisah Gondho Pratomo

Versi awal catatan ini terbit dalam laman Facebook saya: https://www.facebook.com/aboeprijadi.santoso/posts/10158547760058884 Namanya berubah-ubah. Dari ‘Indische Vereniging’ (1908) saat didirikan oleh Sultan Kasayangan &...

Written by Aboeprijadi Santoso · 2 min read >

Versi awal catatan ini terbit dalam laman Facebook saya: https://www.facebook.com/aboeprijadi.santoso/posts/10158547760058884

Namanya berubah-ubah. Dari ‘Indische Vereniging’ (1908) saat didirikan oleh Sultan Kasayangan & RM. Notosoeroto, lalu ‘Indonesische Vereniging’ (1922) dan pada 1925 menjadi ‘Perhimpunan Indonesia’ (PI). Ada yang mengatakan tujuan semulanya ialah mengadakan pesta dansa dan pidato-pidato, namun sejak Cipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) masuk, pada 1913, mulailah mereka memikirkan mengenai masa depan Indonesia. Publikasinya pun berubah nama: dari majalah ‘Hindia Poetra’ (1916) menjadi ‘Indonesia Merdeka’ (1924).

Buku Kenangan 1908-1923 Indonesische Vereeniging

Tampil enam tahun (1922) sebelum Sumpah Pemuda dideklarasikan (1928), Indonesische Vereniging aka Perhimpunan Indonesia (dengan ejaan resmi Bahasa Indonesia) menjadi organisasi, gerakan, pertama yang menyandang nama ‘Indonesia’.

Semua ini mencerminkan perubahan orientasi dan tujuan perjuangan. Selama ini kita mengenal 1908, tahun kelahiran Boedi Oetomo (20 Mei) sebagai ‘Hari Kebangkitan Nasional’ meski kebangkitan tsb sesungguhnya juga diawali ribuan kilometer dari Nusantara, yaitu dengan tampilnya Indische Vereniging yang menjadi Perhimpunan Indonesia di Leiden. Perhimpunan Indonesia menjadi bagian dari genesis dan tesis ‘Indonesia’: tanpa PI, Indonesia merdeka – roh, jiwa dan semangatnya – akan berbeda.

Kisah selengkapnya dirangkum oleh John Ingleson, Road to Exile: The Indonesian Nationalist Movement 1927-1934 (1979) dan Harry Poeze dalam “In het Land van de Overheersers”. Saat Iwa Koesoemasoemantri menjadi ketua pada 1923, Indonesische mulai menyebarkan ide non-kooperasi dalam arti berjuang demi kemerdekaan tanpa bekerjasama dengan Belanda. Pada 1924, M. Nazir Datuk Pamoentjak menjadi Ketua PI, nama majalah Hindia Poetra berubah menjadi Indonesia Merdeka dan pada 1925 dibawah Ketua Soekiman Wirjosandjojo nama resmi itu berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Tokoh-tokoh lain yang menjadi anggota organisasi ini antara lain: Achmad Farhan ar-rosyidSoekiman WirjosandjojoArnold Mononutu”’Soedibjo Wirjowerdojo”’, Prof Mr Sunario SastrowardoyoSastromoeljonoAbdul MadjidSutan SjahrirSutomoAli AbdurabbihWreksodiningrat, dll. (https://id.wikipedia.org/wiki/Indische_Vereeniging#Perhimpunan_Indonesia)

Selengkapnya lihat Wildan Sena Utama, Mempropagandakan Kemerdekaan di Eropa: Perhimpunan Indonesia dan Internasionalisasi Gerakan Antikolonial di Paris , Jurnal Sejarah. Vol. 1(2), 2018: 25 – 45

Dalam buku terbaru yang disusun oleh putrinya, Ilyunah Pratomo *), Gondho Pratomo menceritakan riwayat dirinya menjadi anggota PI. Pada awalnya PI hanya sebagai “organisasi sosial” non-Eropa dengan anggota-anggotanya asal Indonesia, Tionghoa, Arab dsb. Soal Indonesia menjadi topik bila mereka, terutama mahasiswa. berkumpul “lebih-lebih setelah perlawanan PKI terhadap Belanda di tahun 1926”. Apalagi di tahun 1930an, masa krisis, dan kebangkitan Hitler di Jerman “memaksa masyarakat Indonesia di Belanda mengambil sikap. Mereka yang dulu mengagumi Jepang, kini kecewa” sejak Jepang memerangi sesama Asia di Manchuria dan Shanghai di tahun 1937. Sejak itu PI bersikap anti-fasis dan mengirim utusan ke konggres-konggres perdamaian internasional di Brussel (1936), Paris (1937) dan New York (1937). (h.44-45). PI juga aktif bekerjasama dengan perlawanan Belanda – dengan Partai Komunis Belanda CPN dan media De Vrije Katheder (Mimbar Merdeka) dan aksi-aksi mogok mahasiswa. Bagi pemerintah Hindia-Belanda PI adalah organisasi terlarang, tapi di Belanda PI tercatat resmi sebagai ormas lokal dan ketika Belanda diduduki Jerman, PI menjadi ormas terlarang.

Gondho Pratomo menjadi anggota PI belakangan, dan lebih memusatkan kegiatan di kalangan buruh pelabuhan asal Indonesia di Rotterdam dan Amsterdam. Sejumlah anggota PI, termasuk kakak & ipar Gondho, Djajeng Pratomo & Stennie, diangkut ke kamp-kamp Nazi. Sebagian tewas disana yaitu Sidartawan di Kamp Dachau, Mun Sundaru di Kamp Neuengamme, Rawindra Notosoeroto di Kamp Sachenhausen, Bhima Yujana di Kamp Buchenwald, juga Latuperisa dan Makatika di kamp-kamp lain. Seorang tewas ditembak oleh polisi Jerman di kota Leiden yaitu Irawan Soejono pada 13 Januari 1945 (h. 64-65). Salahsatu anggota PI, Dr. Thio Oen Bik, ikut aksi solidaritas internasional dalam Perang Saudara Spanyol melawan fasisme Franco (h.46). Semasa melawan Jerman, organisasi PI makin ketat dengan menyeleksi para anggotanya. Ada juga kelompok mahasiswa yang tidak ikut PI yang berkiblat ke politik kiri. Mereka cenderung mengagumi Jepang dan pada akhir perang membentuk Vrije Burgers (Warga Merdeka), seperti Mohammad Hatta dan Soemitro Djojohadikoesoemo (h.53). Gondho kembali ke Indonesia pada 1946.

Buku ini, meski bukan sebuah kisah lengkap yang tersusun secara tematis dan rinci, namun merupakan kumpulan fragmen-fragmen riwayat hidup Gondho Pratomo – mulai dari bab tentang PI, Kembali ke Tanah Air, Peristiwa Madiun, MMC (Merapi Merbaboe Complex), Sidang PKI Godean, Jalan Partai yang Berliku-liku, Masa Kelam 10 tahun, Penangkapan oleh Kopkamtib dan Menghindari Orde Baru. Gondho sendiri menjabat Ketua SBKA (Serikat Buruh Kereta Api) tapi sekembali dari Peking bersama delegasi Njono, mengaku dirinya “ditinggalkan oleh PKI” dan “TLD” (Faksi PKI Tan Ling Dji). Gondho ditahan Kopkamtib pada 1971 selama 6 bulan, kemudian pindah ke Belanda. Buku ini mencatat upaya CPN (Partai Komunis Belanda) bersama Gondho, Cipto Munandar dan Francisca Fangidaey pada 1981 membantu kepindahan para eksil dari Tiongkok ke Eropa sejak RRT memulihkan hubungan dengan pemerintahan Soeharto (h.251). Gondho tutup usia di Belanda pada 2005.

Yang menarik, buku ini juga memuat lampiran banyak sekali foto (pribadi maupun kegiatan) yang direproduksi dengan bagus dan tajam. Buku ini disusun oleh Ilyunah Pratomo berdasarkan kumpulan cerita ceramah dan sejumlah wawancara Gondho Pratomo, terutama dengan Hersri Setiawan, dan, untuk lengkapnya, mereferensi ke 24 kaset wawancara yang kini tersimpan di IISG (Internationaal Insitituut voor Sociale Geschiedenis), Amsterdam.

*) Terima kasih kpd mbak Ilyunah Pratomo atas kiriman buku “Sebuah Pilihan – Gondho Pratomo menceritakan kisahnya” (333 hal. Stout Grafische Dienstverlening, Vlaardingen 2020).

Lihat juga:

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile