Bahasa Indonesia, Indonesia

Playing the Underdog – Prabowo: “Model Saya Adalah Lee Kuan Yew”

This article has been published in my Facebook Notes on 20 February 2009 https://www.facebook.com/notes/10158296816878884/?notif_id=1613811187587789&notif_t=feedback_reaction_generic&ref=notif Semua orang mengatakan, saya pasti kalah. ”But here...

Written by Aboeprijadi Santoso · 4 min read >

This article has been published in my Facebook Notes on 20 February 2009 https://www.facebook.com/notes/10158296816878884/?notif_id=1613811187587789&notif_t=feedback_reaction_generic&ref=notif

Semua orang mengatakan, saya pasti kalah. ”But here Iam, with Gerindra now having about 11,2 million members. Iam an optimist. Yes, Iam an eternal optimist”. Dengan kata kata itu, Prabowo Subianto Jumat 20 feb. yl tampil, menjadi tamu JFCC, Jakarta Foreign Correspondents Club di Intercontinental Hotel, Jakarta.

Prabowo, Gerindra leader at JFCC Jakarta Foreign Correspondents Club, Feb. 20, 2009, Intercontinental Hotel, Jakarta

Prabowo bercerita penjang, meski mengaku semula enggan berbicara di muka klab pers asing ini. ”You, foreign media, don’t give me votes, I would rather go to meet people, they’ll give me votes.”

Satu pokok yang ditunjuk dan ditandaskannya berulangkali terdengar amat patriotis sekaligus populistis. Kita telah lama merdeka, mengapa belum makmur juga, begitu intinya.

“We have been independence for sixty years, and yet we are still a developing country, the people are still poor. ”We did not fight the Dutch and attain independence to become a beggar nation. We are dak blessed with rich resources and yet we waste them and people remain poor. Fiftynine percent of the forest have gone and we need to reforest. Etcetera ..”

Lalu tampillah dia dengan argumen yang tampaknya dijadikan senjata pamungkasnya. ”Look at this,” dia menunjuk ke satu satunya grafik yang ditontonkanya. “We have to be able to make and sustain a double digit growth. Now we grow with about six percent and some people are happy. If so, by 2045 when we are hundred years we will remain poor. Double digit, double digit, that’s what we need!” Dengan pertumbuhan 12 persen, menurut Prabowo, Indonesia akan mampu memakmurkan rakyatnya.

Bagaimana mencapai semua itu, Prabowo tidak menjabarkannya, kecuali menekankan bahwa dirinya bukan anti kapitalis, anti bisnis, dan anti modal asing. Lalu dikibarkannya tinggi tinggi mingguan Amerika Newsweek yang menurutnya menuduh dirinya “anti capitalist”.

Tentu saja Prabowo sadar, semua itu akan berpulang kepada dirinya selaku bagian dari Orde Baru dan Keluarga Besar Soeharto. Bukankah kebijakan ic sekarang juga merupakan akibat dari warisan rezim lama?

”Yes, Iam an Orde Baru man, I was part of the first family, I was a general, I was a commander of strategic reserve (Kostrad) commanding 34 battalions …”.

Suatu saat di tengah paparannya dalam bahasa Inggris yang lancer, dia mengaku “from my childhood on, I wanted to be a soldier, yes I wanted to become four star general and chief of the armed forces …”

“I served my country, I chose to be part (of Orde Baru), because I thought, I believed the economy will be good and people will be enjoying welfare …”

Dari sini, dengan paparan itu, agaknya dia membangun sebuah platform yang menempatkan dirinya menjadi semacam korban, atau terseret, menjadi underdog. “I didn’t get (what I wanted). History and politics are (moving).”

Lalu meluncurlah semacam refleksi campur ekskus yang dimulai dengan pameo yang popular di kalangan politisi. “There is no eternal friends, no eternal enemies, there is only eternal interests … And at a certain stage (dia berbicara tentang kerusuhan Mei 1998) I became a victim of … apa itu fitnah .. oya, .. slander”.

“My friends, some generals in the Middle East, said, you, Prabowo, why didn’t you take it (the state) over. You could have been killed! No, no, I didn’t do it .. now if I think over and over again, I should have done it …”

“(So) Iam a rare person, I was accused by two presidents, … two presidents!” begitu dia tekankan dengan gaya theatrikal dan nada dramatic, “as being a traitor … some said, some (of family Soeharto) wanted to kill me, and the other president, (B.J.) Habibie said I wanted to make a coup d’etat.”

Prabowo menyangkal dirinya bermaksud melakukan pengkhianatan, tapi tidak merincikan peran apa persisnya yang dituduhkan dan peran apa yang sebenarnya dia mainkan. Sugesti yang ditonjolkannya: dirinya menjadi korban fitnah.

Betapa Prabowo telah siap dengan alasan, tangkisan, dalih atau apa pun untuk menyiapkan platform defensinya tampak ketika wartawan AFP menanyakan tentang citra HAMnya, soal penculikan dan perannya di Timor Timur. ”Yes, I have been waiting for that question …”

”History,” begitu dia menjawab dengan semacam refleksi untuk mengelak jawaban langsung, “put us in different positions, once as enemies, later as friends, as it turned out that we have the same values … So the three people (abducted in 1997-98) are now joining my party, one even becomes the media director (Haryanto Taslam) .. and ..,” tambahnya sambil tertawa terbahak-bahak, “some people said they are victims of Stockholm syndrome, .. oh, oh”

Tentang Timor Timur, “I didn’t choose to go there, no, I didn’t! (tentu saja itu merupakan order ketentaraan). And later we as warriors met each other as friends. I met Xanana Gusmao, I met the other guy, what his name, also a commander, and they hug me … old enemies became friends!”

Dengan gaya presentasi dan alur wacana seperti itu, Prabowo mencoba mengatakan bahwa zaman silam telah menempatkan dirinya di tempat yang “salah”, namun itu bukan kesalahan dirinya, dan sekarang semua itu telah berlalu, tapi mengapa orang masih meributkan dan menyalahkan dirinya. Kesan inilah yang selalu hadir implisit sepanjang paparannya selama hampir dua jam.

Namun ada satu saat ketika butir impisit itu menjadi nyata, eksplisit. “I was inspired by Deng Xiao Ping,” katanya mengingatkan akan pemimpin Cina yang dihujat habis di masa Revolusi Kebudayaan Cina (1967-70an) dan sesaat sepeninggal Mao Tse Dong. “He was a victim, everybody hated him, his son was thrown out of balcony and became invalid for life!”

Ada hal yang tidak disebut Prabowo di sini karena justru pada butir kardinal inilah Prabowo sebenarnya ingin meniru Deng, yait bahwa Deng setelah dihujat dan dizholimi para pengikut Mao, belakangan memimpin liberalisasi ekonomi Cina dan dengan begitu, menghantar Cina ke tataran kemakmuran.

Juga diakuinya bahwa dirinya tidak bisa ke Amerika Serikat, permohonan visanya selalu ditolak. ”But it doesn’t matter, (for) if Iam mandated, I will send my Vice President to the U.S. I want to go to Washington, but I don’t want to beg a visum.”

Dengan kata lain, berbagai kasus dan isu yang merugikan citra dan pamornya rupanya hendak diputar dan diplintir menjadi kredit baginya dengan membangun perspektif yang justru mencerahkan bintangnya dan membangkitkan simpati baginya. Prabowo seperti ingin menempatkan dirinya selaku underdog, sosok korban, figur yang dizholimi.

“I have served my country with honor. Now I fight my last battle. Iam 58 years now. By 2045, I won’t be around, but I want to lay the ground for Indonesia’s renaissance and my model is Lee Kuan Yew, a strong leader, a socialist and pro-market.”

Ketika saya ingatkan mengapa dia seolah tidak setuju atau meragukan demokrasi seperti disebut dalam wawancara dengan harian the Jakarta Globe (23 January 2009), Prabowo kontan marah, “Mana, mana, nggak bener itu .. aah, udah ah, saya nggak mau kamu wawancara!”

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile