Bahasa Indonesia, Indonesia, Papua, Timor Leste

Patriotisme ala ‘Lawrence of Arabia’ – Ali Moertopo, Benny Moerdani & Dading Kalbuadi

“Sarapan di Dili, makan siang di Baucau, makan malam di Los Palos”. Kata kata itu sangat terkenal. Dia menjadi slogan untuk memberi...

Written by Aboeprijadi Santoso · 2 min read >

“Sarapan di Dili, makan siang di Baucau, makan malam di Los Palos”. Kata kata itu sangat terkenal. Dia menjadi slogan untuk memberi semangat invasi 7 Desember 1975 ke Timor-Portugis. Dili adalah ibukota Timor-Portugis, Baucau kota kedua dan Los Palos kota di ujung paling timur Timor-Portugis. Ternyata, Operasi Seroja yang dirancang sukses dalam tempo sehari itu, menjadi perang berkepanjangan, pendudukan militer dan penjajahan Indonesia selama 24 tahun terhadap negeri dan bangsa tetangga.

Mayjen Ali Moertopo (1975)

Slogan itu konon berasal dari arsitek invasi: Asisten Intelejens Bakin Brigjen Leonardus Benny Moerdani. Dia direkrut oleh pimpinan Opsus Mayjen Ali Moertopo – salahsatu dari Tiga Serangkai arsitek Orde Baru sejak Peristiwa G30S dan Genosida 1965-1966: Soeharto-Yoga Sugama-Ali Moertopo.

“Gatal-gatal di ketiak”

Brigjen Leonardus Benny Moerdani (1974)

Benny diterjunkan di Irian Barat pada 1962 dan mendapat penghargaan dari Presiden Sukarno atas prestasinya. Berbicara tentang Operasi Mandala tsb, Ali Moertopo pernah dikutip sebagai mengatakan kepada pers asing, Timor Portugis itu bagaikan “itching our armpit (gatal-gatal di ketiak kami)” (sumber: wartawan Antara 1970an, L. Pattiradjawane 1993). Agaknya Ali pernah mengusulkan sekaligus saja ambil-alih Timor-Portugis, tapi usul tsb ditolak. Adalah Opsus-nya Ali Moertopo, dibantu sejumlah cendekia CSIS, yang pada Juli s/d Agustus 1969 merekayasa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) untuk menguasai Irian Barat dengan menekan 1025 tokoh pemuka Irian Barat yang terpilih.

Kol. Dading Kalbuadi (1974)

Lawrence of Arabia

Menyusul Carnation Revolution (Revolusi Anjelier) 25 Mei 1974, gerakan militer yang menjatuhkan diktatur Marcello Caetano, Portugal mendekolonisasi jajahan-jajahannya di Afrika dan Timor. Di Timor, dekolonisasi itu belangsung lamban, sementara kekuatan-kekuatan lokal tampil menginginkan kemerdekaan.

Sejak itu Ali Moertopo merancang strategi dan memilih Kol. Aloysius Sugianto untuk menemui pemimpin-pemimpin Timor-Portugis – Apodeti yang pro-integrasi dan UDT yang memilih kemerdekaan melalui transisi dibawah Portugal, KOTA dan Trabalishta – dalam rangka melawan Fretilin, gerakan rakyat yang memilih kemerdekaan. Kekecewaan Opsus terhadap Apodeti mendorong kudeta UDT pada 11 Agustus 1975 yang berujung Perang Saudara antar Timor yang sekaligus menjadi dalih untuk memperoleh dukungan Barat ditengah Perang Dingin, dan menjadi dalih untuk invasi dan aneksasi Timor-Portugis. Di lapangan Benny mengatur penyusupan (Operasi Flamboyan 1974-75) yang dipimpin Kol. Dading Kalbuadi di Batugade, dekat perbatasan Timor Barat – seorang perwira yang kaya pengalaman perang a.l. melawan Permesta. Kekecewaan terhadap Apodeti dan kegagalan kudeta UDT inilah yang mendorong Benny Moerdani melancarkan Operasi Seroja: invasi 7 Desember 1975. Sejak 17 Juli 1976, Timor-Portugis menjadi propinsi RI ke 27 Timor Timur.

Adalah Letjen Sayidiman yang kelak mengkritik operasi intelejens dan aneksasi itu sebagai mengingkari konstitusi RI 1945. Ketika saya mewawancarai Letjen Dading mengapa perlu berperang di Timor-Portugis, dia dengan bangga menjawab hal itu seperti operasi memerdekakan wilayah-wilayah terjajah. “Seperti Lawrence of Arabic itu, lho, mas!” katanya. (Radio Nederland Nov. 1995).

Lawrence adalah perwira Inggris yang legendaris. Dia-lah yang menarik garis, membagi-bagi dan menguasai kawasan Timur Tengah dan Teluk pada 1930an sebagai imbas rubuhnya Imperium Usmaniyah (Ottoman) awal abad lalu. Lawrence menjadi mitos dan kontroversial. Dalam film “Lawrence of Arabia” (1962) Letnan T.E. Lawrence digambarkan sebagai perwira yang gagah di lapangan dan menguasai budaya Beduin. Dia menjadi bagian dari narasi dan legenda imperialisme Barat.

“Persaudaraan Nusantara”

Ali Moertopo, Benny dan Dading, dalam lingkup dan skalanya masing-masing, dari segi motif dan semangatnya, layak disandingkan dengan legenda Lawrence of Arabia. Adalah Ali yang sepanjang 1974-1975 mengatur strategi dan mengundang ke Jakarta serta mengajak segenap tokoh Apodeti, UDT dan keluarga Liurai (Raja Timor) Atsabe, juga tokoh-tokoh Fretilin untuk menggelorakan gagasan “Persaudaraan Nusantara”. Jose Martins III, salahsatu putra Liurai, menceritakan impian semacam semangat ‘irredentism’ (memulihkan kejayaan masa silam) itu kepada Radio Nederland (1992). Demikian pangkalnya. Kenyataan patriotisme semacam itu, kita tahu, pada akhirnya berujung di penjajahan dan tragedi kemanusiaan.

Patriotisme selalu dirumuskan sebagai motif cinta-kasih, kebanggaan, semangat dan pembelaan terhadap tanah air dan bangsa. Tapi, pada prakteknya, dia sering menjadi inti dari gagasan kebesaran dari ambisi negara. Seringkali dia perlu dicurigai sebagai motif yang buta terhadap dimensi moral politik perilaku negara.

Versi awal catatan ini terbit sebagai status penulis di Facebook: https://www.facebook.com/aboeprijadi.santoso/posts/10158630194383884?notif_id=1616352899384277&notif_t=feedback_reaction_generic&ref=notif

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile