Bahasa Indonesia, Indonesia, Timor Leste

Sukarno & Xanana – Cermin Dua Perjuangan

Artikel ini merupakan rewrite dari kolom penulis di MBM Tempo 1 Juli 2001 https://majalah.tempo.co/read/kolom/81136/petualangan-sukarno-dan-xanana Dia tahu dirinya seorang pemimpin bangsa terjajah yang...

Written by Aboeprijadi Santoso · 3 min read >

Artikel ini merupakan rewrite dari kolom penulis di MBM Tempo 1 Juli 2001 https://majalah.tempo.co/read/kolom/81136/petualangan-sukarno-dan-xanana

Dia tahu dirinya seorang pemimpin bangsa terjajah yang dipenjarakan, tapi dia bersilaturahmi sambil bergurau dengan para pegawai penjara dan berfoto bersama. Ketika pamit, dengan mata berlinang-linang, dipeluknya mereka satu per satu. Peristiwa itu cuma sebentar dan terlewat dari rekaman media.

Ini bukan cerita tentang Bung Karno yang pada 2001 ini baru saja kita peringati seabad hari lahirnya. Itu tadi perpisahan Alexandre Xanana Key Rala Gusmao dengan para pegawai Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, pada September 1999, bertempat di ‘kamar rahasia’nya di bawah tanah di Kedutaan Besar Inggris Raya di Jakarta. Bebeapa teman aktivis dan saya sempat menyaksikannya.

Xanana itu ‘Bung Karno-nya Timor Timur’, begitu kata seorang pejuang Timor Timur. Sukarno sebenarnya tidak serupa dengan Xanana, tapi ada miripnya. Keduanya pribadi yang hangat. Xanana saat itu populer di media dan kalangan diplomat dunia seperti sekutunya, Jose-Ramos Horta, yang kawakan di panggung itu.

Tentang Sukarno, Willem Oltmans, wartawan Belanda yang mengaguminya, bisa bercerita banyak tentang kiprahnya di mancanegara. Bagi politisi dan negarawan seperti mereka, momen-momen kritis adalah sebuah ujian berat. Dan Xanana, di balik masa ‘transisi’ beberapa hari di kedutaan Inggris itu sebelum menjemput kemenangan di Jajak-Pendapat Agustus 1999, saat itu negerinya tengah dibumihanguskan oleh tentara Indonesia dan milisi-milisi. Tapi dia sembunyikan kenyataan itu, dan tetap kalem. Menurut Bernhard Dahm, Sukarno juga begitu. Pada Oktober 1966, saat sejarawan Jerman itu menemuinya, Sukarno tahu bahwa Soeharto dan tentara hendak mendepaknya dari panggung kuasa.

Akibat gelombang kekerasan di Tim-Tim pada September 1999, menurut catatan penyidik PBB James Dunn, sekitar seribu orang tewas atau hilang dan 60 persen dari penduduk lari atau dideportasi ke Nusatenggara Timur, dan hampir seluruh infrastruktur luluh-lantak. Dalam skala berbeda, tentara Jepang Kempetai berulah serupa di Jawa Timur pada hari-hari dekat  setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Belakangan tentara Belanda (KST, Korps Speciale Troepen, ‘Kopassus’nya KNIL) ‘memperkenalkan’ metode bumi-hangus di Indonesia di masa agresi 1940an. Zaman berputar, akhirnya, tentara Indonesia mempraktekkan metode yang sama di Tim-Tim.

Namun, perbedaan Sukarno dan Xanana Gusmao lebih penting. Dalam konteksnya masing-masing, keduanya adalah pemimpin kemerdekaan. Bagi  Timor Leste, misi Sukarno – mengisi kemerdekaan – masih jadi agenda. Dari posisi kedua sosok ini, terungkap pergeseran strategis dan persepsi dunia. Dulu Barat curiga terhadap Sukarno karena ia dianggap ‘mengganggu’ Perang Dingin dan perlu disingkirkan. Hampir setengah abad kemudian, Barat menyambut para pemimpin Timor Leste.

Xanana mewakili sebuah negeri yang menjadi simbol korban pelanggaran besar HAM (hak-hak asasi manusia) ketika HAM diagung-agungkan dunia pasca-Perang Dingin. Tapi satu hal tidak berubah dalam putaran zaman itu. 

Saya pernah bertanya kepada Xanana (Brussel 2002) apa pengalaman yang paling menyakitkan bagi dirinya semasa kehadiran Indonesia di Tim-Tim. Apakah kematian duaratusan ribu warga Tim-Tim akibat perang, pembantaian dan musibah kelaparan di Matebian (1975-1978) itu? Bukan, katanya. Penangkapan atas dirinya pada 1992? Juga bukan. Xanana mengaku paling marah karena invasi tentara Indonesia menyerbu wilayah Timor Leste pada 1975.

Dengan kata lain, dia, Xanana, mendudukkan diri sebagai warga yang terjajah. Sama dengan Sukarno dalam pidato protesnya ‘Indonesia Menggugat’ di hadapan Dewan Hakim Belanda di Bandung pada 1933. Membela dan menghormati kedaulatan warga dan bangsa – inilah inti persamaan aspirasi yang membuat Bung Karno dan Xanana menjadi ‘De Grote Bung’(kata orang Belanda) alias Bung Besar, bagi bangsanya masing masing.

Maka, aneh, sepanjang peringatan 100 Tahun Bung Karno yang baru lalu, ihwal pelanggaran kedaulatan Timor Leste jarang terdengar. Barangkali kasus Timor Timur bukan sebuah pelajaran yang berharga di tengah Reformasi pasca-krisis moneter ini – meski di saat yang sama kita justru memperingati pendiri negara-bangsa ini, yang pernah membela kedaulatan bangsanya di hadapan penjajah. Sukarno yang tutup usia pada 1970, bakal terkejut berat apabila tahu bahwa penggantinya, Soeharto, melakukan agresi terhadap Timor Timur sejak Agustus 1975, kemudian  invasi 7 Desember 1975.

Di kala transisi Reformasi ini, kita tak ingin diingatkan pada kasus pahit (‘Tim-Tim’) yang dianggap telah selesai. Jadi, ketika memperingati seabad proklamator itu, kita lupa ihwal yang asasi ini, kita tak ingin berpredikat ‘mantan penjajah (Timor Timur)’. Sebab, bukankah hal itu akan  menyamakan kita dengan penjajah lama (Belanda) dan, karena itu, akan menggembosi nilai perjuangan nasional.

Mitos di tengah Reformasi ini ternyata tetap dijaga justru karena chauvenisme dan deformasi dari semangat nasionalisme masa kini hanya dimungkinkan karena pernah ada nasionalisme bangsa yang diwariskan oleh Sukarno. Pada saat yang sama, mitos tadi dianggap perlu karena korps yang dulu menduduki tetangga itu sudah traumatis soal Tim-Tim.

Pada awal pemerintahannya, Sukarno terjebak oleh kubu tentara, pada puncak pemerintahannya terkesima oleh kubu kiri, dan pada akhirnya, terjungkal oleh tentara. Dengan melimpahkan modal bekas Belanda yang dinasionalisasi kepada tentara (1958) dan melahirkan Sekber Golkar (1964), Sukarno menanam sendiri ranjau-ranjau bagi politiknya. Ada yang berspekulasi tentang kesalahan besar Sukarno dengan menunjuk pada ‘infrastruktur  fasisme’ yang dibawanya. Betapapun, yang terjadi bukanlah suatu fasisme baku lengkap dengan populisme dan kharisma semacam pola ‘Der Fuhrer’ di Eropa, melainkan fasisme militer (Orde Baru 1966-1998) dengan korporatisme (Golkar).

Ranjau-ranjau yang menjungkal bangsa Indonesia ini barangkali dapat menjadi pelajaran bagi Xanana Gusmao, yang harus memisahkan kepemimpinannya di tahap baru negerinya dari modal-modal utama perjuangannya: gerilya Falintil dan gerakan Fretilin. Berbeda dengan Bung Karno, tapi serupa Jenderal Aung San di Burma (Myanmar) atau Mao Zhe Dong di Tiongkok, Xanana di masa perjuangan kemerdekaan negerinya adalah pemimpin politik sekaligus militer.

Tapi Xanana beruntung: dia punya peluang historis yang langka untuk menarik pelajaran dari perjalanan tetangganya dan bangsa-bangsa lain. Sedangkan Bung Karno, yang akhirnya menjadi korban Perang Dingin, kini cuma bisa memrotes bahwa, sepeninggalnya, tentaranya bertualang menjadi Kuda Troya Perang Dingin. Yaitu dengan mengkhianati penghormatan terhadap asas kedaulatan bangsa, yang pernah dibela Sukarno mati-matian, dan dengan mencemari politik luar negeri bebas dan aktif, yang pernah dirintisnya.

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile