Aceh, Bahasa Indonesia, Misc

Tangis Gogol untuk Rusia & Ukraina

Artikel ini merupakan tulis-ulang dari postingan di Facebook 11 April 2022. https://www.facebook.com/aboeprijadi.santoso/posts/pfbid02bS6398oZb1AAwHNb2vdafWFfde7kzQ4BGu9cS3MKNCQoTVo3PVnZ9Ricnt6ZSK5HlCf. Versi bahasa Inggrishttp://aboeprijadi.com/2022/05/the-last-tears-of-nikolai-gogol-note-on-ukraine-and-russia/ Kyiv, pusat peradaban tua Slavia itu, konon...

Written by Aboeprijadi Santoso · 2 min read >
Liputan tv

Artikel ini merupakan tulis-ulang dari postingan di Facebook 11 April 2022. https://www.facebook.com/aboeprijadi.santoso/posts/pfbid02bS6398oZb1AAwHNb2vdafWFfde7kzQ4BGu9cS3MKNCQoTVo3PVnZ9Ricnt6ZSK5Hl
Cf. Versi bahasa Inggris
http://aboeprijadi.com/2022/05/the-last-tears-of-nikolai-gogol-note-on-ukraine-and-russia/

Kyiv, pusat peradaban tua Slavia itu, konon adalah leluhur dari sebuah desa bernama Moskou. Abad berganti abad, Kyiv bertahan, Moskou berkembang. Keduanya beralih peran: menjadi bagian dari imperium atau menjadi ibukotanya. Dari Kekaisaran Tsar ke kekuasaan Polandia dan Nazi-Jerman ke imperium Soviet, akhirnya, resminya, menjadi tetangga Rusia. Sepanjang itu, Ukraina menjadi kancah pertarungan nasionalis, komunis, liberal dan kwasi-liberal. Predikat ‘kwasi’ pun dalam spektrum yang ragam: ultra-nasionalis, rasistis, Nazistis dan liberal-oportunis.

Dari kuasa Stalin lewat bencana kelaparan massal (Holodomor) (1920an) ke kuasa fasis lewat pogrom ala Nazi dibawah kepemimpinan Stepan Bandera (1940an) hingga demokrasi yang pulih tetapi korup dan rawan dibawah Volodymyr Zelenskyy (2019).

Semua itu ‘menetas’ ditengah ekspansi Nato (2008-2017) dan Uni Eropa yang membawa bendera demokrasi dan nilai-nilai liberal di tahun 2014. Pada saat bersamaan, Rusia yang tersisa dari Uni Soviet di tahun 1991 itu hendak memulihkan ketegaran keadidayaannya, tak ragu ‘menertibkan’ tetangga-tetangganya: Chechnya, Georgia. Dan kini: Ukraina.

Maka sebuah kemelut ‘proxy war’ pun terjadi ditengah dua hegemon, mengawali Perang Dingin babak kedua. Di atas layar milisi Azov – barisan fasis yang menjadi semacam ‘Kostrad’nya Ukraina – bertemu, mungkin juga berpadu dengan intervensi Amerika dan Uni Eropa ditengah kepanikan Rusia. Semua itu meledak dalam setahun (2014) dan berakhir dengan kudeta disusul pemilu demokratis di Ukraina (2019) bersamaan dengan pembantaian dan represi terhadap minoritas Rusia.

“Saya memahami kekhawatiran Rusia,” presiden Ukraina Zelenskyy, di tengah invasi Rusia, mengakui ketika mengusulkan perdamaian (10 April 2022). Ekspansi Nato dan Uni Eropa di negara-negara bekas Pakta Warsawa menjadi pemicu.

Puncaknya: pergolakan Lapangan Maidan 2014-2019, Kyiv, yang membuahkan kudeta terhadap presiden Viktor Yanukovych, aneksasi dan referendum Rusia di Krim serta separatisme di kawasan Donbass.

Kisah panjang itu pedih dan rumit. Tak mudah ditelisik. Tidak sesimpel sekadar sebuah invasi yang memperkosa kedaulatan negeri lain – yang, betapapun, harus dikecam meski berbeda konteks dan konfigurasi geopolitik dengan invasi kejam Orde Baru di Timor Leste.Dua bangsa, dua bahasa, dua tradisi terjepit, menjadi korban pertarungan.

Lukisan Marc Chagall di masa PD-II

Ukraina dan Rusia pernah memiliki dimensi-dimensi kebersamaan. Orang Ukraina berbahasa Rusia sefasih orang Rusia berbahasa Ukraina. Sastrawan Rusia kelahiran Ukraina Nikolai Gogol (1809-1852), meski amat tenar di kedua negeri itu, menulis karya agungnya dalam bahasa Rusia. Ukraina adalah Rusia, dan Rusia adalah Ukraina, dalam perjalanan sejarah bersama di masing-masing negerinya, untuk kemudian yang satu, Ukraina, jatuh dibawah orbit dan dominasi yang lain: imperium Tsar, Soviet, kemudian Rusia.

Sepintas, meski hanya sepintas, rumpun kedua bangsa itu mirip Aceh dan Indonesia. Masih ingat Aceh, dengan kebanggaan sejarahnya yang tersendiri menjadi pemula Indonesia, merintis perjuangan kemerdekaan, betapa intens PUSA dibawah Daud Beureuh menggerakkan Aceh seperti digambarkan oleh James Siegel dalam karyanya ‘The Rope of God’? Betapa bahasa, gelora dan semboyan-semboyan para aktivis di Jakarta dan Banda Aceh di awal dekade 2000an bergerak menuntut perdamaian; betapa separatisme menjadi simbol kebebasan baru dan ungkapan keputusasaan; dan betapa konflik Aceh berakhir di Helsinki – bukan karena tsunami yang meluluh-lantakkan sebagian Aceh, tapi untuk menyelamatkan martabat Aceh dan keutuhan Indonesia?

Aceh, singkatnya, adalah pemula Indonesia dan orang sulit membayangkan Indonesia tanpa Aceh. Aceh dan Indonesia adalah sebuah simbiose mutualis. Pernah beberapa kali terluka, tapi ‘utuh’ kembali.

Persis kebalikannya, Ukraina dan Rusia adalah contoh tragis dari kebersamaan yang gagal total. Punah. Invasi Rusia yang ganas itu menghancurleburkan kebersamaan yang tersisa. Empat juta penduduk Ukraina mengungsi, tiga juta bersembunyi di lorong-lorong bawah tanah metro dan apartemen, kota-kota dan desa-desa sekitar Kyiv yang hancur luluh, puing-puing perumahan yang tersisa, pengepungan Mariopul (eks basis Azov), pembantaian di Bucha, ‘enam ribu kasus HAM’, ‘genosida’ – jika semua itu kelak terbukti – oleh tentara Rusia di Ukraina.

Apa yang tersisa dari rumpun bangsa-bangsa Ukraina dan Rusia – ijinkan saya membayangkan Nikolai Gogol bangkit dari kuburnya – hanyalah tangis Gogol.

AS – Amsterdam, 11 April 2022.

Rujukan

How do Ukrainians in Russia feel about the crisis?https://www.aljazeera.com/news/2022/2/11/fears-and-hopes-behind-ukrainians-living-in-russia?fbclid=IwAR2cRxZJ1XpMShyGXqTMyq9y1S2wwUs_Bmmy19NG7maz68t_8EPJtvegVWs

Whom to believe on Ukraine: Biden, Putin, or Nikolai Gogol?https://www.aljazeera.com/opinions/2022/3/11/who-to-believe-on-ukraine-biden-putin-or-nicolai-gogol?fbclid=IwAR1wIddx-ZxfSpCr1vww3Ge-0iAYlbth9N5ZzI2qZEIeQJ5MK7ta5f_VLpk

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile