Aceh, Bahasa Indonesia, Indonesia

Tgk. Hasan Muhammad di Tiro

Ketika saya temui di kantor RMS (Republik Maluku Selatan) di Den Haag, Januari 1989, pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Tgku Hasan Mohamad...

Written by Aboeprijadi Santoso · 1 min read >

Ketika saya temui di kantor RMS (Republik Maluku Selatan) di Den Haag, Januari 1989, pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Tgku Hasan Mohamad di Tiro, tampak tegar dan santun. Beliau wafat 12 tahun lalu, 3 Juni 2010 pada usia 84 tahun. Tgku Hasan hanya bersedia berbicara bahasa Inggris, kemudian memamerkan sebuah majalah yang memuat reportase dengan foto-foto pelatihan militer sejumlah gerilyawan GAM di Lybia.

Lama sekali bermukim di Amerika Serikat kemudian di Swedia, kegiatan Tgku Hasan tak banyak diketahui. Setidaknya, begitu yang pernah saya dengar dari Ben Anderson dan Dan Lev, tanpa kepastian. Seorang Aceh, Suheluddin D. Batubara, mantan pengawal Tgku Daud Beure’uh, yang saya temui di Kuala Lumpur, Malaysia pada 2003 menegaskan misi perjuangan Tgk. Hasan.

Aceh, bagi Tgku Hasan, adalah korban “agresi Jawa yang berkedok Indonesia” katanya dengan nada marah ketika saya temui 7 tahun kemudian, 1996, di kantor UNPO, di Den Haag. Tgku Hasan kali ini bersedia berbahasa Indonesia.

“Kemerdekaan,” tegasnya, “harus kita pertahankan sendiri, atau rebut sendiri. Untuk perkara ini, saya mengharapkan banyak dari saya sendiri, dari bangsa Aceh sendiri, dan dari bangsa-bangsa lain. Tiap-tiap perjuangan mengharapkan kemenangan, lekas atau tidak lekas.” “Dengan cara apa?” tanya saya. “Dengan jalan apa saja!” serunya.

Demikian saya kabarkan untuk Radio Nederland Siaran Indonesia.

Pemimpin nasionalisme-ethnik Aceh ini akhirnya menerima perdamaian yang ditandatangani oleh Delegasi GAM dan Delegasi RI di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Di Jakarta, Tgku Hasan belakangan bertemu resmi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kala, tetapi sesungguhnya tidak pernah menjadi warga Indonesia (WNI) kembali.

Perdamaian Helsinki adalah satu hal, kembali berkewarganegaraan RI adalah hal lain. Namun keduanya adalah dokumen sekaligus simbol perdamaian.

Ketika Menko Polkam kala itu Djoko Sujanto bergegas menyiapkan dan menyerahkan surat keputusan menetapkan kewarganegaraan RI, saat itu Tgku Hasan tengah dirawat di ICU hingga tutup usia di Rumah Sakit Zainal Abidin di Banda Aceh.

Saat Menko Polkam menyerahkan surat keputusan pemulihan kewarganegaraan RI Tgk Hasan Tiro kepada Tgk Fauzi, keponakan Tgk Hasan, di RS Zainal Abidin. Sumber: Liputan6

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10155637815335150&id=740470149&ref=content_filter

Walhasil, paspor RI yang menjadi simbol perdamaian tak pernah ditandatangani oleh Tgku Hasan Tiro. Sebuah ironi dari perjuangan dan perdamaian Aceh ..

https://www.facebook.com/aboeprijadi.santoso/posts/pfbid02ZLe6oiDsKqohHpgKKh56yUBe9Fxw5zMZY7UZRv15x1odwGLkDkvtTmVHZud8TY74l

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile

One Reply to “Tgk. Hasan Muhammad di Tiro”

Comments are closed.