Bahasa Indonesia, Indonesia

Ban Serep – Dinamika Wapres

Esei ini semula merupakan kolom dalam situs-web Radio Nederland Siaran Indonesia, kemudian terbit-ulang dalam Facebook http://www.facebook.com/note.php?note_id=91421009399&ref=mf . Versi berikut dengan beberapa tambahan....

Written by Aboeprijadi Santoso · 7 min read >
KoranTempo

Esei ini semula merupakan kolom dalam situs-web Radio Nederland Siaran Indonesia, kemudian terbit-ulang dalam Facebook http://www.facebook.com/note.php?note_id=91421009399&ref=mf . Versi berikut dengan beberapa tambahan.

Ada kalanya peralihan politik terungkap melalui semantik. Misalnya kursi Wapres yang dikiaskan dengan metafora ‘ban serep’. Maknanya: dia adalah ban cadangan. Penggunaan istilah itu dari dulu pun bermakna demikian: dia ban yang tersimpan dan siap-pakai. Tak usah jadi masalah. Baru jika darurat, dia diperlukan. Titik.

Tapi dalam perpolitikan Indonesia, ban serep adalah sub-simbol. Dia menjadi bagian dari simbol, sang ban utama. Dia ada, karena konstitusi menghendaki demikian. Tanpa ban utama, pudarlah makna ban serep. Hanya ban utama yang mampu mengubah nasib ban serep. Status pelengkap penderita itu membuat keberadaan ban serep tidak krusial, tapi justru kritis. Dia ikut menentukan makna ban utama, tetapi apa sebenarnya perannya, selain secara formal membantu dan mewakili Presiden, tak pernah dirumuskan.

Sukarno & Mohammad Hatta – tribunnews

Namun, kenyataannya, peran dan bobot Wapres selaku simbol dan aktor Real Politik berubah-ubah.

Di masa perjuangan kemerdekaan, ban serep alias Wapres adalah bagian dari ungkapan kedaulatan rakyat dari negeri yang bertekad merdeka. Perdebatan di dalam PPPKI, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zunbi Cho Inkai), di Pengangsaan Timur 56, Jakarta, tentang siapa yang harus menandatangani proklamasi, berlangsung lama dan sengit. Ada usul agar semua hadirin – puluhan tokoh pendiri republik – membubuhkan tanda tangan, namun akhirnya disepakati hanya dua: Sukarno dan Mohammad Hatta. Karena itu, keduanya masing masing menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Disini ban serep, seperti ban utama, terjadi karena mereka didaulat – oleh forum dan sejarah, tepatnya: oleh sebuah forum berkat hikmah sejarah.

Akhirnya kita tahu, Presiden menjadi peran yang amat dominan dan institusi Wapres harus siap bersanding bersamanya. Di masa awal republik, ban serep harus tahan banting. Di bawah Sukarno, Hatta akhirnya terpelanting. Di bawah Orde Lama dan Orde Baru, ban serep benar benar mutlak ‘serep’, alias mati kutu. Dia tak perlu ada. Kalau pun ada, dia ada karena harus tersimpan. Soal dia perlu dikeluarkan jika darurat, itu tak penting. Bahkan, dia tak perlu siap pakai. Wong dia ada, itu justru karena dia tak akan dipakai, karena sang ban utama – Sukarno, Soeharto – selalu hadir dan merajai panggung. Disitulah ban serep kehilangan makna harafiahnya selaku bagian dari mobil, dan berubah menjadi simbol pucuk dari elit penguasa borjuis.

Dengan kata lain, ban serep menjadi pelengkap penderita abadi dari suatu subyek. Dia ada, karena ban utama mewajibkannya hadir. Titik. Toh, kelak, dia bisa berubah berkat demokratisasi.

Ludwig Wittgenstein – enWikipedia

Ludwig Wittgenstein (1889-1951), filsuf simbol dan bahasa dari Austria, pernah menunjuk, makna semantik suatu kata boleh saja gonta-ganti, tetapi, pada akhirnya, makna lahir dari realitas obyektif dari praxis pemakaian kata (verba valent usu). Permainan inilah yang menciptakan ‘realitas’. Dan kondisi dan konfigurasi negara dan masyarakat-lah yang merumuskan maknanya. Istilah “ban serep” lahir di masa Orde Baru, dan maknanya menunjuk pada ban yang mutlak sebagai serep belaka. Ban serep menjadi bagian dari suatu kediktaturan.

Segudang ilmuwan ilmu politik telah mengkaji macam-macam diktatur, tapi mengabaikan ihwal ban serep. Padahal, setiap bos republik ini punya kisah ban serep. Dimanapun ban utama dan ban serep jadi simbol bangsa. Sukarno didampingi Mohammad Hatta. Hatta tak sepakat, lantas hengkang secara bermartabat. Lalu Sukarno lama melenggang sendiri. Lantas Soeharto pun lama nian tak memasang ban serep. Belakangan dia bertukar ban serep sampai setengah lusin. Gus Dur juga pernah punya ban serep, begitu pula Megawati. Yang istimewa: B.J. Habibie; mantan ban serep yang satu ini tak pernah punya ban serep.

Soal ban serep, betapa berbeda Sukarno dan Soeharto. Sukarno tak pernah menyiapkannya. Bersama Hatta, keduanya didaulat untuk memimpin bersama sebagai “Dwitunggal”, tapi gagal. Sebaliknya, Soeharto melalui kudeta-merangkak nan panjang – pembantaian (1965), konsolidasi TNI-AD, SP-11 Maret 1966 dan Nawaksara di MPRS (1967) – tampil jadi ban utama tanpa ban serep. Enam tahun lamanya, 1967-1973, Soeharto membiarkan kursi ban serep kosong. Soeharto-lah yang sejak awal membangun skenario yang membuat ban serep menjadi ban mati.

Sultan Hamengku Buwono IX & Jen. Soeharto

Melihat Soekarno “dipermalukan” oleh hengkangnya Hatta, Soeharto baru pada 1973 mencari ban serep. Rupanya dia was was terhadap wapresnya yang pertama, Sultan Hamengku Buwono IX. Sementara HB-IX pun tak sreg dengan Soeharto. Namun Sultan Yogya ini jeli, dia mahfum makna ban serep bagi ambisi Soeharto. Menjelang masa bhaktinya berakhir, persis sebelum Soeharto mengumumkan nama wapres baru, Sultan menyatakan mundur. Soeharto kesal. “Sialan ban serep daripada satu ini tidak mau mengaku daripada menjadi serep”, semacam begitu gerutu Soeharto barangkali.

Sejak itu, Soeharto makin serius menyiapkan serep. Maklum dua ban serepnya yang pertama – Sultan HB-IX dan Adam Malik – adalah dua tokoh pejuang berbobot historis. Pamor dan wibawa mereka bisa mengalahkan dirinya. HB IX menyediakan Yogyakarta sepenuhnya untuk republik yang diperangi Belanda, dan mengabarkan berita radio tentang agresi Belanda sementara saat “Serangan Oemoem” itu, Soeharto konon menikmati soto. Dan Adam Malik adalah salah satu pemuda yang memacu terjadinya proklamasi dengan “menculik” Sukarno ke Rengasdengklok.

Adam Malik & Soeharto – MBM Tempo

Maka giliran wapresnya kedua, Adam Malik Batubara, Suharto pun was-was. Mendekati akhir masa bhaktinya, Adam bertanya kepada Suharto, apakah dirinya akan ‘dipakai’ lagi. Konon, Soeharto menjawab dengan tenang dan yakin: “Ooh, oh, .. tentu, tentu, Pak Adam! Daripada negara masih memerlukan Pak Adam”. Adam pun lega, karena dia memang pingin banget jadi wapres lagi. Rupanya wapres asal Pematang Siantar itu tak paham uneg-uneg di pentolan di ujung belakang blangkon Soeharto. Esoknya, Soeharto mengumumkan Umar Wirahadikusumah jadi Wapres baru. Adam shock berat.

Soeharto, Raja Orde Baru ala Jawa – foto: Kumparan

Serep Soeharto pasca-Adam inilah, yang melahirkan fenomena ban serep selaku ban mati, mulai dari Umar Wirahadikusumah, Soedharmono, Try Soetrisno sampai B.J. Habibie. Wapres menjadi sosok pendamping semata. Dia pendamping yang tak pernah mendampingi, wakil yang tak pernah mewakili, orang nomor dua yang cuma bayang-bayang belaka. Maklum, semua ihwal tumpah-ruah, diborong orang nomor satu, sang ban utama. Ban serep hadir semata-mata karena hadirnya ban utama. Dia tak punya roh sendiri.

Ketiga wapres militer itu (Umar, Try, Dhar) patuh demi kepatuhan itu sendiri. Mereka menjadi prototipe ban serep sejati. Konon Umar bahkan suka mempersilahkan boss-nya seperti jongos membuka jalan bagi Sang Tuan, dalam bahasa Belanda: “U maar” (Silahkan, Bapak duluan).

B.J. Habibie – nos.nl

Bakharuddin Jusuf Habibie punya kisah tersendiri. Mirip Adam Malik, dia gagal membaca blangkon Soeharto, tapi, mirip Sultan HB IX, dia sempat membuat Soeharto kesal banget. Patuh pada konstitusi, ban serep Habibie kontan siap menggantikan ban utama ketika Suharto pada 19 Mei 1998, setengah formal, menyampaikan niatnya (sebenarnya terpaksa) untuk mundur. Habibie siap maju tanpa basa-basi – tanpa unggah-ungguh ala Jawa – sesuai undang undang. Namun Sang Raja konon bermaksud mengajak Habibie mundur bersama-sama, dan menyiapkan semacam Super Semar (Surat 11 Maret) untuk mantan ajudannya, Pangab Jen. Wiranto.

Kebalikan Orde Baru, dalam percaturan politik demokrasi lima tahun lalu, para Capres 2004 pontang panting menimbang dan menimang sejumlah Cawapres. Ini memperlihatkan betapa reformasi telah membuat ban serep gaya Soeharto berubah drastis. Pemilihan presiden langsung membuat wapres-cum-ban serep naik pangkat menjadi mitra presiden.

Kalau dulu Soeharto menganggap para menterinya cuma “pembantu Presiden” dan Wapres sekadar ban serep mutlak, sekarang Cawapres menjadi andalan krusial untuk menambah bobot elektoral. Dulu Soeharto tak perlu merayu dan melamar cawapres, tapi malah di-elus-elus oleh mereka yang ambisius agar terpilih, untuk kemudian – belakangan sekali – menyadari bahwa do’i ternyata cuma ban serep belaka. Sekarang, jika terpilih, ban serep menambah bobot parlementer bagi sang Presiden.

Kalau dulu ban serep cuma dipilih oleh elite di MPR untuk menggunting pita, sekarang lahirlah berbagai istilah seperti “Wapres”, “Sekondan”, “RI-Dua” dsb. Wacananya pun kini berubah melalui istilah-istilah “meminang”, “melamar”, “merayu” Cawapres dari partai ini atau itu. Dulu dia ditunjuk, lalu di-sia-siakan jadi ban serep. Sekarang dia dirayu, ditimang-timang dan dipaketkan dengan Capres untuk disiapkan jadi Wapres.

Maknanya: di zaman demokratisasi ini, berapa besar bobot Cawapres perlu dicermati. Kalau dia merosot jadi ban serep mati, maka gemboslah kadar demokratis dari pemilihan langsung presiden ini. Sebaliknya, kalau dia berbobot berlebihan, itu berarti institusi kepresidenan yang satu paket dengan Wapres itu, menjadi institusi yang parlementer, karena sekadar diperlukan untuk menambah bobot dukungan parlemen.

Masa reformasi sejak Habibie sampai Megawati menunjukkan lembaga kepresidenan bertambah lemah di hadapan DPR. Kini DPR tambah kuat lagi karena DPD, Dewan Perwakilan Daerah, membuat MPR jadi mubasir. Kalau Wapres hanya perlu untuk mempertebal dukungan parlementer belaka bagi paket Presiden dan Wapres, ini berarti instititusi kepresidenan RI menjadi semi-parlementer pula. Maka sistim ketatanegaraan RI telah merosot dari presidensiil, menjadi semi-parlementer.

Walhasil, dinamika ban serep telah menciptakan dilema kepresidenan, yaitu timbul-nya sosok parlementer di pucuk negara yang presidensiil. Tapi bagi ban serep yang berasal dari partai besar yang memenangi pemilu seperti Jusuf Kalla pada 2004, ini satu keuntungan – yang ternyata berhasil dimanfaatkannya dengan baik.

Lain ceritanya pada pemilu 2009.

Jusuf Kalla – Tempo-E

Pada 2009 Wapres dinamis, ban serep yang suka menggelinding sendiri ini, bernama Jusuf Kalla. Dia berada pada situasi ‘Catch 22’. Maju kena, mundur pun kena. Maju jadi Capres sulit ketika partainya, Partai Golkar, kalah, dan belum juga mampu mengatasi krisis internal-nya. Selaku Capres pun repot ketika etnik mayoritas (Jawa) menguasai lapangan, sementara di luar Jawa posisinya digergaji dari dalam pusat Golkar. Mundur pun sulit: dia Boss dari sebuah partai besar.

Selepas pemilu yang menunjukkan kegagalannya sebagai bos Golkar, dia harus bergerak cepat. Dan itulah yang dilakukannya agar selamat. Tapi hanya satu pintu yang bisa menyelamatkan dirinya: kembali berkoalisi dengan sang pemenang: SBY dengan Partai Demokratnya. Itu pun tergantung elit Golkar.

Menjadi calon ban serep, Cawapres, bahkan Capres, tak berarti memahami demokrasi. Kalah dan menang lewat kotak suara adalah soal biasa dan wajar, tetapi Megawati, banyak yang lain juga, tampaknya menjadikan Pilpres taruhan terbesar gengsinya. Maka soal kenegaraan diredusir jadi taruhan pribadi, ratusan caleg ulahnya serupa, dan terpaksa antri masuk RS Jiwa. Mega, melawan keinginan Taufik Kiemas, cenderung mundur, mengklaim diri jadi “Ibu Bangsa”, dan menunjuk Capres lain sebagai penggantinya. Rupanya, baginya, tak jadi soal kematangan temperamental-emosional dan ketrampilan para bakal Capres yang diliriknya – Prabowo, Sultan HB X – meski ini sebenarnya lebih penting bagi republik dan rakyatnya.

SBY, Susilo Bambang Yudhoyono, saat itu mengaku akan memilih calon ban serep dengan lima kriteria. Tapi dia memberi isyarat. Dia berterima kasih dan memuji ban serepnya kini – JK. Isyarat ‘welcome back’, ataukah ‘good bye’ kepada JK? Beda tapi serupa Soeharto, SBY perlu berbasa-basi untuk menggusur JK dan menggantikannya dengan Boediono. Disitu, beda dengan Soeharto terhadap Adam Malik, namun makna simboliknya serupa.

Walhasil, macam macam ban serep terrekam dalam sejarah: yang mundur tak sepakat (Hatta), yang mati kutu dan kapok (HB-IX), yang dikecoh (Adam Malik), yang patuh demi kepatuhan (Umar, Dhar, Try), yang nyleneh (Habibie), yang membisu (Mega), yang pasif (Haz), dan yang menggelinding sendiri (JK) ..

Dulu, semuanya harus menerima nasibnya yang ditentukan oleh si ban utama. Kini, di alam demokrasasi, nasib ban serep ditentukan oleh imbangan kekuatan partai, kondisi kelas-kelas sosial dan kimiawi dalam hubungan antar kedua ban di pucuk negara itu.

Abdurrachman ‘Gus Dur’ Wahid

Nah, ada satu lagi varian dalam seri ban utama versus ban serep. Ini unik. Gus Dur, kita ketahui, adalah seorang politikus jenaka yang bermain jeli, alias cakap, witty. Menjelang Habibie turun, tepat di kala bintang ban utama ini merosot saat “lepas”nya Timor Timur, Gus Dur giat melobby Megawati. Saat saya di sampingnya, di rumahnya, dia menelpon Megawati meski dia sebenarnya mengandalkan kekuatan parpol islam di MPR. Beberapa tahun kemudian dia bergurau. “Ach, saya jadi presiden, hanya modal dengkul saja. Itu pun dengkulnya Amien Rais ..”. Benar, akhirnya Gus Dur jadi presiden berkat dukungan Amien. Belakangan, kita tahu, Gus Dur didongkel kalangan petinggi TNI (dan Golkar) yang dekat dengan Megawati.

Disitu, ban serep, di awal demokratisasi institusi negara, ternyata mendapat peluang dan mampu menggusur dan menggantikan ban utama – dari Habibie ke Gus Dur, dan dari Gus Dur ke Megawati. Sejak itu, ban serep bukan lagi sekadar ‘serep’, namun menjadi target dan kekuatan politik yang berarti.

Proklamasi

Walhasil, ban serep, dalam trayektori zaman, bukan sekadar pelengkap penderita. Dan ban utama tak kekal dan tak selalu aman. Demikian – Wittgenstein mengingatkan – dinamika makna semantiknya, demikian pula layaknya perannya. Dibawah Soeharto, serep itu menyingkir, terkecoh atau patuh. Ban utama dan serep, selaku simbol-simbol negara, punya dinamika yang selalu unik. Pasca-reformasi, calon ban utama dan serep melihat lapang terbuka. Habibie mendaki atas nama konstitusi, Gus Dur bermain, Megawati mengguncang, Haz diam-diam menikmati, dan Jusuf Kala menggelinding sendiri di tengah celah-celah peluang. Begitu pula parpol-parpol kuasa. Konfigurasi elite-kuasa dan kondisi kelas dan lapisan-lapisan, serta hikmah sejarah, bermain selaku kondisi-kondisi penentu.

Nah, masih adakah – masih mungkinkah? – ban utama dan ban serep menjadi manifestasi kedaulatan rakyat – seperti pada 17 Agustus 1945?

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile