Bahasa Indonesia, Indonesia

SBY versus Islam Politik: Relasi Cinta-Benci

Artikel ini semula terbit pada 31 Juli 2009 di http://www.rnw.nl/id/bahasa-indonesia/article/sby-tenggang-rasa-pada-islam-politik dan di https://www.facebook.com/notes/10158308571723884/ Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam telewicara dengan pimpinan daerah...

Written by Aboeprijadi Santoso · 3 min read >

Artikel ini semula terbit pada 31 Juli 2009 di http://www.rnw.nl/id/bahasa-indonesia/article/sby-tenggang-rasa-pada-islam-politik dan di https://www.facebook.com/notes/10158308571723884/

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam telewicara dengan pimpinan daerah memerintahkan para kepala daerah dan aparat keamanan di semua tingkatan agar meningkatkan pemberantasan terorisme.

Elit politik, termasuk partai politik dan ormas-ormasnya, diharapkan bersatu menghadapi teror. Namun, yang menarik, tidak satu pun partai berbasis Islam yang secara resmi mengutuk keras aksi bom di Hotel J.W. Marriot dan Ritz-Carlton, termasuk PKS yang akan berkoalisi dalam pemerintahan SBY kedua nanti.

President Susilo Bambang Yudhoyono – tempo.co

Sebaliknya, SBY justru tampak tenggang rasa dengan dua ormas Islam terbesar, Nadhatul Ulama dan Muhammadiyah, yang mengutuk bom 17 Juli tersebut. SBY dan Islam politik berada pada titik simbiosis yang ganjil.

Presiden SBY tampaknya lebih mengutamakan amarahnya terhadap teror yang mengganggu ketenteraman negara mau pun kenyamanan dirinya pertengahan Juli lalu, ketimbang menggalang persatuan.

Pekan saat terjadinya Jumat Hitam 17 Juli itu merupakan pekan pertama kemenangannya dalam pilpres menurut Quick Count. Pekan itu juga, istrinya, Ibu Ani, berulangtahun. Dan pada pekan itu juga SBY dibanjiri ucapan selamat dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari tokoh yang diharapkannya akan menjadi sohibnya, Presiden Barrack Obama dari Amerika Serikat.

Singkatnya pekan itu adalah pekan paling membahagiakan, the happiest week ever bagi SBY, … tapi tiba tiba bom laknat 17 Juli membuyarkan kebahagiaan itu.

Tak heran, SBY dalam pernyataan pertama hari itu juga, lebih memuntahkan kutukan dan peringatan terhadap “Drakula” ketimbang mengajak negara dan masyarakat bersatu. Kini, tepat dua pekan setelah teror tersebut, SBY bersuara ke penjuru Nusantara agar masyarakat waspada dan bersatu.

Sakit hati pada PKS

Maka kalangan pengamat, dengan rasa resah, mencatat, mengapa SBY diam seribu bahasa terhadap Islam politik? Sebenarnya SBY tidaklah membisu. Sumber sumber di kalangan Partai Demokrat menduga kuat, SBY “sakit hati” pada PKS yang diam ketika beberapa tokohnya mengangkat isu jilbab istrinya dan menuduh Ibu Boediono “Katolik”.

Apalagi ketika salah satu tokoh PKS nyeletuk: “… ngambil dari kolong jembatan mana tuh? …” saat menanggapi SBY memilih Boediono sebagai Cawapres. Secara formal, semua isu itu sudah terkubur, namun mau tak mau tersisa tenggang rasa, antara sang presiden dengan PKS, calon mitra koalisinya yang terpenting dalam pemerintahan mendatang ini.

Mashadi, salah satu pendiri PK(S)

Sebaliknya kalangan di Jakarta juga mencatat tenggang rasa, bahkan kekesalan di pihak SBY dan kubunya terhadap Nadhatul Ulama dan Muhammadiyah, dua ormas Muslim yang paling bersejarah dan terbesar di Indonesia ini.

SBY

Sejak 2004, SBY tak pernah bersilahturahmi dengan bertandang ke kedua ormas Islam, yang menjadi icon citra Islam moderatnya bangsa Indonesia ini. Apalagi saat Pilpres yang lalu, kedua ormas tersebut terang terangan mendukung pasangan JK-Wiranto, yang membuat SBY, dan banyak kalangan bertanya-tanya, mengapa mereka menyalahi khitoh, alias amanah mereka sendiri, dengan cara terjun ke politik praktis?

Benarkah SBY tak peduli akan suara tokoh tokoh NU, seperti juga suara bos Muhammadiyah Din Syamsuddin, yang tegas mengutuk teror, sementara SBY membiarkan PKS diam soal teror?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting menjelang tampilnya pemerintahan koalisi SBY-kedua nanti.

PKS mengklaim dirinya partai Islam pertama sejak Masyumi, yang sejatinya layak dianggap sebagai merupakan Partai Islam, sedangkan yang lain-lain dianggap “hanyalah” partai atau ormas yang merangkul ummat Islam sekadar dengan bendera dan retorika Islam saja.

Kalangan PKS misalnya lebih berorientasi ke Timur Tengah yang menafikan klaim Indonesia sebagai “negara Islam terbesar” karena dinilai “tidak konsekuen mendukung perjuangan Palestina”. Padahal diplomasi Indonesia, dan klaim SBY, justru bertumpu pada icon bahwa Indonesia adalah negara Muslim terbesar yang moderat dan demokratis.

Dengan kata lain, di mata PKS, Indonesia harus menjadi negara Islam terlebih dulu sebelum naik ke panggung dunia dengan klaim seperti itu.

Berdakwah dan berpolitik

PKS dalam prakteknya adalah kekuatan yang berpolitik untuk berdakwah, sekaligus berdakwah dengan berpolitik. Artinya, PKS harus terjun ke masyarakat, dan ke dalam negara untuk memperoleh kekuasaan dalam rangka berdakwah, dan untuk bernegara dalam rangka berdakwah.

Amanah inilah yang membedakan PKS dengan NU dan Muhammadiyah yang, paling kurang secara retorika, justru berdakwah tanpa berambisi melakukannya dengan menguasai aparat negara.

Maka masuk akal, apabila SBY bingung dan menuduh NU dan Muhammadiyah “memasuki politik praktis” dengan mendukung JK-Wiranto. “Saya kecewa,” ungkap SBY kepada Menteri Agama Muftah Basyuni, tanpa merincikan kekecewaannya. Tapi orang mahfum mengapa dia kecewa.

SBY rupanya merasa tak sepenuhnya yakin untuk bersanding sebagai pengantin PKS dalam pemerintahan baru Oktober nanti, meski pun dia dapat menggalang dukungan dari mitra koalisi yang lain, yang lemah – seperti PKB yang menciut sejak ditinggalkan Gus Dur, PAN yang terbelah, dan PPP yang sering plin plan.

Sementara PKS juga partai yang sedang bertumbuh-kembang, kadernya menurut salah satu pendirinya Mashadi, masih sekitar 200 ribuan. Dan justru momentum saat inilah, saat menjadi mitra terpenting dari partai terbesar yang akan berkuasa inilah, yang merupakan peluang bagus bagi PKS untuk berkonsolidasi ke dalam mau pun ke luar.

Itu sebabnya, PKS sangat gerah dan menolak keras ketika SBY mengirim Hatta Rajasa untuk merayu PDI-Perjuangan. Dan ketika SBY membuka pintu kepada Golkar, baik sebelum Pilpres, mau pun sekarang, saat Golkar masih bimbang mau ikut jadi gerbong SBY atau mau jadi oposisi.

Partai bersayap-sayap

Tapi PKS juga merupakan partai yang bersayap-sayap dan berpotensi. Dia bersayap-sayap, karena hanya sebagian elitnya berkiblat pada Kitab Suci yang universal, alias beraspirasi ideologis, sedangkan sebagian elit PKS yang lain, dalam istilah Mashadi, “hedonis”, alias lebih suka bersejahtera dan berkuasa-ria, ketimbang membangun negara berdasar Islam.

Apalagi tokoh mau pun banyak massa pendukungnya di daerah sesungguhnya kurang peduli “Negara Islam”, tapi lebih mengutamakan pelayanan masyarakat, seperti membantu koperasi, ambulans gratis bagi warga yang sakit, tampil aktif di kala bencana dan sebagainya (mirip Hamas di Palestina).

SBY tentu menyadari potensi dan watak jamak PKS tersebut. Karenanya, dia juga memerlukannya di saat leveragenya memuncak, dengan terpilihnya kembali dia sebagai presiden, yang akan dikawal mayoritas kuat di DPR.

Mirip Sukarno dan PKI

Walhasil, SBY dan PKS berada dalam hubungan simbiosis dan kontradiktif. Dalam bahasa sederhananya: keduanya saling memerlukan dan saling wasangka. Barangkali mirip Sukarno dan PKI pada 1960an, SBY dan PKS berada dalam “love and hate” : saling “benci”, semacam benci, tapi sekaligus juga bener bener cinta (berkepentingan terhadap satu sama lain).

Keduanya saling merangkul, agar mampu membendung satu sama lain. Bagi SBY, ini perlu agar kredibel di mata dunia Barat mau pun di dalam negeri. Tapi bagi PKS itu pun perlu dalam rangka membeli waktu untuk mengkukuhkan dan memperluas pengaruhnya.

Dinamika inilah yang agaknya menanti kita dalam periode SBY-Kedua nanti.

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile