Bahasa Indonesia, Indonesia

Mengenang Sjahrir – Mencatat Kekalahan Seorang Idealis

Artikel ini diterbitkan Radio Nederland Seksi Indonesia pada 9 Maret 2010 http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/mengenang-sjahrir-mencatat-kekalahan-seorang-idealis Ada tiga tokoh pencetus republik ini diantara sejumlah pahlawan nasional...

Written by Aboeprijadi Santoso · 1 min read >

Artikel ini diterbitkan Radio Nederland Seksi Indonesia pada 9 Maret 2010 http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/mengenang-sjahrir-mencatat-kekalahan-seorang-idealis

Ada tiga tokoh pencetus republik ini diantara sejumlah pahlawan nasional lainnya, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Namun diantara mereka, hanya Sjahrir yang terkalahkan sekaligus terabaikan. Pelupaan atau amnesia terhadap Sjahrir bahkan masih berlangsung hingga kini.

Demikian Jaap Erkelens, peneliti dan dokumentalis Belanda, dalam peluncuran buku karya wartawan gaek Rosihan Anwar, “Sutan Sjahrir, Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan” di Jakarta, Jumat lalu.

Rosihan yang mengenal dekat Sjahrir, menulis perjalanan hidupnya, dan Jaap Erkelens menyajikan dokumentasi seratus buah foto bersejarah. Semua itu mengakhiri peringatan 100 tahun Sutan Sjahrir. Sjahrir, tokoh yang berideal tinggi, namun tak mampu menggalang kekuatan untuk mewujudkannya.

“Bung Sjahrir seorang negarawan dan pejuang kemerdakaan Indonesia, adalah seperti seorang nabi yang menurut peribahasa Belanda tidak memperoleh kehormatan atau pengakuan di negerinya sendiri ‘een profeet wordt nimmer geëerd in eigen land’.”

Dengan kata kata itu, Jaap Erkelens, dalam pidatonya Jumat lalu, menggambarkan secara tajam tragedi Sjahrir. Sejak tahun 60an, Sjahrir diabaikan, meski sempat dihormati sebagai pahlawan, tapi kemudian tenggelam lagi.

“Proses penghapusan beliau dari memori kolektif bangsa Indonesia sebetulnya sudah berawal dari zaman Bung Karno. Dari ketiga tokoh utama selama perang kemerdekaan: Bung Karno, Hatta dan Sjahrir. Sjahrirlah yang diabaikan.”

Sjahrir sendiri penuh keganjilan. Dia seorang demokrat, humanis yang idealis, tapi, justru karena itu, tak mampu mewujudkan ideal politiknya..

Pak Ignas Kleden menulis dalam essai pengantar bahwa bagi Sjahrir politik tidak berarti merebut kekuasaan tapi mempertaruhkan hidup, dan dengan demikian memenangkan hidup sendiri. Saudara-saudara, keinginan Sjahrir mendirikan partai kader seperti dia bangun bersama Bung Hatta di tahun 30-an abad yang lalu ternyata tidak kesampaian sampai partainya dibubarkan oleh presiden Sukarno, kawan seperjuangannya diperiode sejarah Indonesia yang paling kritis.

Namun pada tanggal 9 april 1966 Sjahrir diangkat oleh Bung Karno sebagai pahlawan nasional. Tampaknya bagi sosok Sutan Sjahrir, yang dijuluki bung kecil, paling tidak dalam sejarah bangsa besar ini disediakan hanya satu tempat di pinggir tubir sejarahnya. Bersama pak Soeharto diakhir tulisannya yang berjudul, ‘100 tahun syahrir, inspirator untuk bangsanya’, saya ingin mengucapkan: ‘tobat tobat, tobat!”

Sindiran Jaap Erkelens terhadap penguasa bangsa yang melalaikan putra bangsanya itu mendapat sambutan. Lalu, apa yang baru dan unik dari buku yang dluncurkan itu?
 
“Yang paling baru rasanya beberapa foto. Juga yang unik, buku ini buku pertama mengenai Sjahrir yang membahas di dalam pengantarnya visi atas kehidupan manusia, yaitu Sjahrir. Buku ini buku pertama yang menerbitkan biografinya; satu essai khusus mengenai pandangan hidupnya, politik dan 100 foto. Jadi ini biografi tertulis dan visual. Jadi saya harapkan buku ini laku di indonesia yah, karena 100 fotonya itu.

Sjahrir memang mengatakan Indonesia memerlukan suatu revolusi kental dan itu memang sudah dibutuhkan sejak orde baru lengser. Tapi sampai sekarang belum kelihatan juga awalnya. Sjahrir idealis sekali. Itu cacatnya, dia tidak punya kemampuan sebagai politikus untuk menggalang rakyat karena dia tidak mau, susahnya itu. Dia ingin mendidik kader, tapi dia tidak bisa melakukan itu sendirian. Untuk itu dia butuh satu tim besar. Enaknya kalo semua guru sekolah sanggup ikut memikirkan apa yang dia pikirkan dan kemudian tanamkan itu dibenak anak-anak. Mudah mudahan di masa depan.”

Demikian Jaap Erkelens, peneliti dan dokumentalis Belanda itu. Dan sekian laporan Aboeprijadi Santoso dari Jakarta.

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile