Timor Leste

Xavier do Amaral: Presiden Sepuluh Hari Timor Timur

Radio Nederland Wereldomroep | Wed, March 7 2012

Written by Aboeprijadi Santoso · 2 min read >
Photo: Michael Richardson

Francisco Xavier do Amaral, presiden pertama Timor Leste, kemarin tutup usia setelah mengidap kanker di sebuah rumah sakit di Dili. Seorang proklamator yang menjadi Kepala Negara hanya untuk 10 hari. Catatan Aboeprijadi Santoso.

Xavier Amaral harus bergerilya karena negerinya diserbu Indonesia. Dialah satu-satunya mantan proklamator di dunia yang dijadikan tukang kebun oleh seorang jenderal yang menduduki negerinya. Di negerinya sendiri, namanya baru direhabilitasi pada tahun 2008.

Almarhum akan dimakamkan sebagai Pahlawan Nasional di Taman Pahlawan Metinaro. Timor Leste berkabung selama tiga hari.

“Saya bukan ragu-ragu, tapi mata saya memandang laut. Dan telinga saya mengarah ke udara. (Siapa tahu) kalau kalau tentara Indonesia datang menyerbu.” Demikian Francisco Xavier do Amaral berkisah kepada Radio Nederland ketika menceritakan momen-momen saat dia, pada 28 November 1975 pukul 10 malam, membacakan proklamasi kemerdekaan RDTL, Republik Demokratik Timor-Leste.

Pahlawan

Amaral terlahir di Turiscal, distrik Manufahi pada 1937. Perjalanan hidupnya menyimpan heroisme, ironi dan tragik.

Heroik, karena dia berjuang bergerilya sejak menit menit pertama bangsanya bertekad merdeka. Partainya, partai sosial-demokrat ASDT-lah yang melahirkan Fretilin, gerakan rakyat yang paling pahit getir memperjuangkan kemerdekaan negerinya.

Ironis, karena proklamator ini tak pernah menjadi presiden lebih dari 10 hari. Sewaktu pilpres Timor Leste, tahun 2002 dan 2007, dia kalah, dan ketika maju lagi untuk Pilpres minggu depan, dia dijemput ajal.

Akhirnya, Xavier Amaral menjadi sebuah tragik. Perannya sebagai proklamator dan pendiri RDTL untuk jangka waktu lama – hingga tahun 2008 – nyaris terlupakan.

Republik Demokratik Timor Leste

Menjelang proklamasi RDTL, November tahun 1975, wilayah yang kala itu disebut Timor-Portugis berada dalam keadaan bahaya. Diplomasi Indonesia dengan Portugal macet, Australia mulai beralih memihak Indonesia untuk mengintegrasikan wilayah tersebut.

Sementara tentara Indonesia diam-diam mulai menyusup.

Pantas, Amaral dan kawan-kawan amat cemas di saat-saat proklamasi. Fretilin saat itu sudah yakin Indonesia akan mengambil alih Timor Timur dan sebagai tokoh tertua di kalangan pemuda, Amaral dipilih membacakan proklamasi yang mengejutkan Indonesia itu.

Esoknya, rombongan Opsus, termasuk sejumlah tokoh Timor Timur yang anti-Fretilin bergegas menyiapkan sebuah deklarasi integrasi. Namanya “Deklarasi Balibo” meskipun sesungguhnya sudah ditandatangani di sebuah hotel di Denpasar.

Dan di Jakarta, Presiden Soeharto, atas bujukan Ali Moertopo dan Benny Moerdani, menyiapkan invasi dan memberitahukannya kepada Presiden A.S. Gerard Ford dan Menlu Henry Kissinger yang berkunjung ke Jakarta hanya sehari sebelum invasi 7 Desember 1975.

Gerilya

Sejak itu, Amaral dan kawan-kawan harus bergerilya. Akhir 1970an, Fretilin terdesak ke gunung hingga terjadi pengepungan kawasan Matebian, yang mengakibatkan kelaparan, perang dan pembantaian yang menelan ratusan ribu jiwa.

Kegundahan melihat penderitaan rakyat itulah yang akhirnya membuat Xavier Amaral pada tahun 1978, turun gunung.

Soal strategi apakah rakyat harus ikut berjuang di gunung, atau turun menyerah, membuat Amaral bersengketa berat dengan pimpinan Fretilin, bahkan sebagian Komite Sentral mengeluarkan perintah agar dia dibunuh.

Akhirnya Amaral turun, tapi dia mengaku tidak pernah menyerah pada tentara Indonesia. Dia ditangkap di Viqueque oleh Batalyon 748 di bawah Kol. RPKAD Dading Kalbuadi. Sejak 1983 menjadi tahanan-rumah, “merawat kuda dan menjaga kebun” di rumah Dading hingga tahun 1995.

Di rumahnya terpampang sebuah lukisan yang menggambarkan kegagahan Dading Kalbuadi dalam seragam baret merah RPKAD.

Amaral seperti mengidap “Sindroma Stockholm” – sindroma korban sandera yang berbalik bersimpati pada penyanderanya. Tapi kepada Radio Nederland, Amaral mengaku dirinya diperlakukan baik, yaitu sebagai “pahlawan”, oleh Dading Kalbuadi, karena itu, dia “sangat menghargai” perwira yang menawannya.

Pergi dari Timor Leste

Sepeninggal Dading menjelang referendum Timor Timur Agustus 1999, dia merasa terancam oleh intel-intel tentara. Maka sebelum mencoblos merdeka di sebuah kathedral di Jakarta, dia menghubungi utusan Portugal, Anna Gomes.

Sebenarnya Amaral sudah lama berniat meminta suaka di Inggris, tapi entah mengapa, keinginan itu dibatalkannya. Akhirnya, sejak memproklamasikan kemerdekaan, baru pada tahun 2000-lah, Xavier Amaral kembali ke tanah airnya.

Meski tersisih dari Fretilin, Xavier Amaral tetap hormat pada Fretilin. Memang, Fretilin membuktikan bahwa Timor Timur tidak bisa direbut “dalam sehari, sambil makan pagi di Dili, makan siang di Baucau dan makan malam di Los Palos”.

Itu cuma omong kosong jenderal Indonesia. Tanpa Fretilin, tak ada perjuangan kemerdekaan Timor Leste. Dalam wawancara terakhir dengan Radio Nederland, September 2009, Amaral mengakui perselisihannya dengan Fretilin membuat dirinya baru pada tahun 2008 diakui resmi sebagai proklamator dan pendiri RDTL.

Sahabat Indonesia

Indonesia mengenal baik Xanana Gusmao, pemimpin gerilya yang kini Perdana Menteri Timor Leste, dan Jose Ramos-Horta, yang malang melintang di rantau untuk memperjuangkan negerinya dan kini menjabat Presiden.

Namun sebenarnya Xavier Amaral-lah tokoh depan Timor Leste yang paling lama mengenal dan menjalin persahabatan dengan Indonesia. Indonesia patut menghargainya sebagai sahabat dan pahlawan.

Bagi Indonesia yang bertradisi anti kolonial, dan bagi Timor Leste, Xavier Amaral adalah seorang pahlawan. Hingga akhir hayatnya, “Presiden Sepuluh Hari” itu tetap seorang patriot dan pejuang.

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *