Indonesia

Mereka Membunuh, Mereka Terhormat – Dimensi Budaya Negara dan Hukuman Mati

Prisma Indonesia | Pintar Politik | Tue, May 19 2015

Written by Aboeprijadi Santoso · 6 min read >
Photo: Matthias Müller (Nachtheuel) on Flickr

KEHIDUPAN, kematian, dan kehormatan adalah tiga ihwal hakiki yang saling terkait. Ketiganya saling mengait dalam pola yang berbeda-beda–sesuai dimensi waktu dan ruang. Dalam normalitas kehidupan keseharian, mereka yang meninggal dunia akan kita hormati dalam suatu upacara pemakaman, lalu kita peringati dan kenang masa hidupnya.

Untuk menghormati mereka yang meninggalkan kita, kita lazimnya akan sibuk mencatat kebersamaan kita di masa lampau dan merawat kebersamaan itu dalam memori kita. Kepada mereka yang meninggalkan kita, kita dengan khidmat akan mengucapkan “Selamat jalan” dan “Selamat beristirahat dalam kedamaian”: RIP Requiescat in Pace.

Pendek kata, semua hal akan kita lakukan demi mereka yang meninggalkan kita. Kewajiban itu kita terima dengan ikhlas. Sebab, kata masyarakat, kepergiannya adalah takdir Tuhan.

Para antropolog sering mengusik dan mendalami hal ihwal yang lazimnya sudah kita anggap “wajar” dan “lumrah”tanpa kita pertanyakan lagi—dengan kata lain, hal ihwal yang taken for granted. [1]

Beberapa tahun silam seorang antropolog Belanda meneliti sejarah berbagai upacara seputar kematian dan pemakaman. Berdasarkan kekayaaan deskripsi etnografis, dia menyimpulkan bahwa apa yang terjadi sesungguhnya persis kebalikan dari apa yang kita sebut “normal” dan “taken for granted” tadi. Apa yang tampak kasat mata seolah-olah semua hal kita lakukan demi para almarhum yang meninggalkan kita, padahal sebenarnya semua itu menyangkut dan demi kepentingan kita yang ditinggalkan oleh mereka yang mati. Ritual pemakaman sesungguhnya mencerminkan siapa diantara kita yang hidup, yang patut pertama-tama mendapatkan kehormatan. Secara retorika, upacara pemakaman merupakan penghormatan, suatu tribute, kepada yang meninggal, tetapi sesungguhnya hal itu merupakan pesan tentang kehormatan, tentang pembagian atau klasifikasi kehormatan bagi mereka yang ditinggalkan oleh almarhum.

Demikianlah yang terjadi bila para anggota lapisan atas masyarakat terlibat dan hadir dalam suatu upacara pemakaman. Lapisan elite sosial tersebut di masa lalu adalah kaum aristokrat dan di masa kini adalah para penguasa pengemban negara moderen (state). Hierarki dan fungsi-fungsi penyampaian pesan budaya itulah yang menggambarkan, tepatnya menstrukturisasi, urutan dan rincian kejadian pada upacara pemakaman warga.

Akan tetapi, apabila menyangkut kematian yang terjadi atau disebabkan oleh tindakan dan keputusan negara—baik hukuman mati legal (kematian berdasarkan keputusan pengadilan), eksekusi ekstra-legal (summary execution) maupun pembantaian yang didukung dan didalangi oleh negara—maka yang terjadi adalah sistem simbol penghormatan dan pesan-pesan kehormatan tadi dijungkirbalikkan. Semua itu kontan berubah—secara sengaja, tiba-tiba, dan secara radikal.

Maka pembunuhan oleh negara tersebut kini menjadi suatu isu politik. Kematian para terpidana tiba-tiba dapat dibenarkan atau dilegitimasi oleh negara, sekalipun hal itu sebenarnya merupakan intervensi negara terhadap kehidupan seseorang—atau banyak orang—yang diyakini sebagai ditakdirkan Tuhan. Di sini, ada hipokrisi alias kemunafikan.

Nah disinilah situasi tentang status kehormatan mereka yang ditinggalkan oleh yang meninggal tersebut berubah sama sekali. Kehormatan itu tidak lagi terbagi dengan sendirinya, melainkan harus dituntut oleh negara. Negara merasa perlu menuntut dan mengklaimnya. Lazimnya, negara melakukan itu dengan tandas dan mutlak. [2]

Maka demikianlah yang terjadi dalam kasus delapan terpidana narkoba yang dieksekusi mati pada 29 April silam. Negara tidak merasa perlu menghormati para mendiang terpidana tersebut—terlepas dari kejahatan yang didakwakan kepada mereka. [3]

Justru kebalikannya, dalam kasus terdahulu, seorang petugas negara di Nusakambangan kabarnya menyempatkan diri untuk membuat selfi (swafoto) dengan jasad salah seorang terpidana sebagai latarbelakang. Dalam hal terpidana Zaenal Abidin, kabarnya dia sempat ditempeleng dan dihina. Bahkan, setelah eksekusi mati dijalankan, Gubernur Sumatra Selatan melarang jasad Zaenal dikebumikan di kota kelahirannya, Palembang. [4] Begitu pula dalam kasus terpidana asal Brasil, Rodrigo Dularte, yang diketahui menderita skizofrenia, tak ada kejelasan resmi dari pihak pengadilan tentang bagaimana kondisi kesehatan mental dirinya semasa menjalani pengadilan. [5]

Maka tidaklah mengherankan harapan-harapan yang dikemukakan publik yang mengimbau nurani pejabat negara agar menimbang kembali hukuman mati bagi mereka yang terbukti berkelakuan baik, tidak dihiraukan oleh negara.Sebaliknya, para pejabat negara secara konsisten, dan dengan dukungan sebagian besar publik (menurut sebuah survei hingga 86%), [6] justru menuntut kehormatan bagi diri mereka ketika mereka memberi pembenaran pada eksekusi hukuman mati tersebut, dengan mengklaim secara mutlak bahwa eksekusi tersebut adalah demi menjaga kedaulatan hukum negara, dan dalam rangka “menyelamatkan masa depan bangsa.”

Nilai dan kualitas moral (virtue) apakah yang lebih mulia (sic!) bagi negara dan politisi ketimbang “menyelamatkan masa depan bangsa”? Oleh sebab itu, setiap kritik dan perlawanan terhadap klaim tersebut akan menyentuh syaraf dan mengusik sensitivitas negara dan publik secara umum—apalagi jika itu dikemukakan secara lantang oleh negara asing. Ha; demikian terjadi tidak hanya karena semangat nasionalisme yang sedang tinggi.

Masalahnya, negara—apalagi seorang presiden yang lemah—sangat membutuhkan klaim tersebut untuk menegaskan kredibilitasnya dalam upaya menegakkan hukum. Namun, pada saat bersamaan, Presiden juga menyambut kritik-kritik itu, karena dengan demikian dia dapat memanfaatkannya untuk membalas dan menimpalinya serta menunjukkan bahwa dirinya bukanlah boneka dari kekuatan lain.

Di dalam kerangka diskursus negara yang mengklaim kehormatan atas pelaksanaan hukum dan kedaulatan hukum seperti itu tampaknya tak banyak ruang bagi argumentasi lain yang banyak dikemukakan oleh para pakar, baik dalam maupun luar negeri, yang menunjuk pada konstitusi negara (yang mengakui “the right to live”), [7] pada inkonsistensi beleid negara (dalam hal beleid tentang narkoba dan eksekusi mati bagi WNI di mancanegara) [8], juga pada kekeliruan metodologi statistik yang dipakai (yang secara absurd menyimpulkan “40-50 orang mati setiap hari akibat narkoba” seperti dikutip Presiden). [9]

Kekurangan, kesalahan, dan kekeliruan seperti itu sangat menciderai penegakan hukum. Bahkan, apa yang terjadi pada terpidana Zaenal Abidin sesungguhnya fatal. Berkas perkara Zaenal ternyata masih tersimpan selama 10 tahun di arsip pengadilan di Palembang; dia diperiksa tanpa didampingi pengacara; permohonan PK (peninjauan kembali) tidak pernah diproses; berkas perkara tersebut baru dikirim ke Jakarta hanya seminggu sebelum pelaksanaan hukuman mati; dan Mahkamah Agung pun tidak berupaya mempercepat proses PK dan menangguhkan eksekusi mati. [10] Apabila mendapat perhatian serius, pelaksanaan kasus itu dapat ditunda seperti pada kasus terpidana warga Filipina, Marie-Jane Veloso. Kasus Zaenal adalah kasus yang fatal dan menyedihkan, namun agaknya ilustratif bagi kondisi aparat hukum Indonesia dewasa ini.

Selain itu, muncul pertanyaan tentang kasus dua warga Australia, Andrew Chen dan Myuran Sukumaran. Keduanya telah meringkuk di penjara setidaknya selama 10 tahun dan dinilai telah menunjukkan itikad serta perilaku baik, bahkan kerap dimanfaatkan aparat hukum dalam upaya edukasi para korban narkoba. Ketika pers asing mengabarkan bahwa ada upaya hakim untuk menuntut uang suap dari kedua terdakwa, Presiden Jokowi menanggapi dengan pertanyaan: “Kenapa tak bilang dari dulu?” [11] Reaksi itu menimbulkan pertanyaan apakah Presiden disini secara implisit mengakui adanya kesalahan dalam proses penegakan hukum?

Apabila demikian, mengapa presiden tidak berupaya setidaknya menunda eksekusi hukuman mati dan meninjau kembali perkara mereka—seperti terjadi pada kasus Marie-Jane Veloso? Apabila benar telah terjadi kesalahan-kesalahan serius yang akhirnya menjadi fatal, mengapa negara tidak menyatakan mea culpa (permohonan maaf), ketimbang hanya menjaga kehormatan dan kedaulatan negara saja?

Walhasil, sekalipun kita mendambakan tegak hukum (rule of law), timbul pertanyaan yang menjengkelkan, namun tepat, yaitu bagaimana negara dan pejabat-pejabatnya dapat mengklaim kehormatan dengan menghargai dan menjaga kedaulatan negara atas hukum apabila aparat hukum negara yang menjalankannya ternyata korup atau bertindak sewenang-wenang? Lebih buruk lagi, bukankah telah menjadi rahasia publik bahwa perdagangan narkoba itu bahkan juga terjadi di balik dinding penjara berkat ulah korup pejabat negara. [12]

Tulisan ini tidak bermaksud meremehkan, apalagi menyangkal potensi bahaya merebaknya konsumsi narkotika sebagai musuh negara dan bangsa. Betapa pun, adanya dan berlakunya hukuman mati, dan pelaksanaan hukum serta prosedurnya, selama semua itu masih ada dan terjadi, harus selalu dicermati dan dipertimbangkan kembali secara serius.

Apabila keberadaan hukuman mati sebagai sanksi hukum dan pelaksanaannya bisa menempatkan negara pada posisi yang merepotkan dan merugikan, maka terlebih lagi bagi kematian yang terjadi akibat ulah negara di luar proses hukum seperti eksekusi ekstra-legal, kematian akibat tindak kekejaman (atrocities), dan pembantaian.

Baru-baru ini pemerintahan Jokowi mengumumkan akan menyelesaikan tujuh kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM). Itikad tersebut patut disambut baik. Namun, satu kasus pembunuhan oleh negara, yaitu kasus pembela HAM Munir, tidak disebut dalam daftar tersebut dan tidak pula dijelaskan.

Dari ketujuh kasus tersebut, malapetaka kemanusiaan yang terjadi pada 1965 dan dampak lanjutnya merupakan kasus paling serius. Dalam hal ini pun, negara selama periode Orde Baru di bawah Presiden Soeharto selalu menuntut kredit dan kehormatan dengan klaim, lagi-lagi, telah “menyelamatkan bangsa.” Karena itu, keberadaan dan keberlanjutan hukuman mati pun tak lepas dari negara dalam mempraktikkan politik hukum dan kekerasan, terutama sejak masa Orde Baru. [13] Dampak politik dan mental pembantaian 1965, yang merupakan suatu genosida politik, masih mewariskan sikap dan mental yang menjauhi dan mengabaikan penyelesaian demi mencari kebenaran dan keadilan.

Walhasil, pembantaian yang disponsori negara itu pada dasarnya juga menyampaikan pesan serupa dengan eksekusi-legal dan ritual pemakaman tadi. Ketiganya merayakan kredo yang sama, yaitu kematian adalah bagi mereka, kehidupan dan kehormatan itu bagi kami.

Maka, tiba saatnya untuk memikirkan kembali diskursus dan praktik-praktik negara. ***


  1. Anton Blok, “Honour and Violence”, dalam http://www.polity.co.uk/book.asp?ref=9780745604497 (diakses tanggal 17 Mei 2015).
  2. Bahkan, dengan unjuk kekuatan negara; lihat, “Jelang Eksekusi Mati, 2 Kapal Perang Jaga Perbatasan”, dalam http://www.tempo.co/read/news/2015/03/09/058648378/Jelang-Eksekusi-Mati-2-Kapal-Perang-Jaga-Perbatasan (diakses tanggal 17 Mei 2015).
  3. Lihat, “Who were the Eight People Executed by Indonesia”, dalam http://www.theguardian.com/world/2015/apr/29/bali-nine-who-are-the-nine-people-being-executed-by-indonesia (diakses tanggal 17 Mei 2015);
    “Kronologi Kasus Narkotik yang Menjerat Duo Bali Nine”, dalam
    http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150428185400-12-49829/kronologi-kasus-narkotik-yang-menjerat-duo-bali-nine (diakses tanggal 17 Mei 2015);
    “Execution as Spectacle: Why the Bali Nine Duo were Treated Like the World’s Most Dangerous Men”, dalam http://www.theadvocate.com.au/story/2926224/execution-as-spectacle-why-the-bali-nine-duo-were-treated-like-the-worlds-most-dangerous-men/?cs=4169 (diakses tanggal 17 Mei 2015).
  4. Lihat, “PK Tereksekusi Mati Zainal Terselip 10 Tahun, MA Salahkan PN Palembang”, dalam http://news.detik.com/read/2015/04/30/095124/2902159/10/pk-tereksekusi-mati-zainal-terselip-10-tahun-ma-salahkan-pn-palembang (diakses tanggal 17 Mei 2015);“Wawancara Khusus dengan Terpidana Mati Zainal Abidin”, dalam http://nasional.kompas.com/…/Wawancara.Khusus.dengan.Terpidana.Mati.Zainal.Abidin (diakses tanggal 17 Mei 2015).
  5. Lihat, “Am I being Executed?’ Brazilian Killed by Indonesia Unaware Until End, Says Priest”, dalam http://www.theguardian.com/world/2015/apr/30/brazilian-executed-by-indonesia-was-hearing-voices-all-the-time (diakses tanggal 17 Mei 2015).
  6. Lihat, “Survei Sebut Publik Dukung Hukuman Mati Narkoba”, dalam http://nasional.republika.co.id/…/nng5js-survei-sebut-publik-dukung-hukuman-mati-narkoba (diakses tanggal 17 Mei 2015).
  7. Lihat, “Inkonstitutionalitas Hukuman Mati”, dalam http://lsmlaw.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=206%3Ainkonstitutionalitas-hukuman-mati&catid=49%3Aarticles&Itemid=18 (diakses tanggal 17 Mei 2015).
  8. Lihat, “Indonesia’s Stance on Death Penalty Has Become Incoherent”, dalam http://thejakartaglobe.beritasatu.com/opinion/commentary-indonesias-stance-death-penalty-become-incoherent/ (diakses tanggal 17 Mei 2015).
  9. Lihat, “Indonesia Uses Faulty Stats on ‘Drug Crisis’ to Justify Death Penalty”, dalam http://theconversation.com/indonesia-uses-faulty-stats-on-drug-crisis-to-justify-death-penalty-36512 (diakses tanggal 17 Mei 2015);“Experts Question Data Behind Indonesian President’s War on Drugs”, dalam http://mobile.reuters.com/article/idUSKBN0NT15A20150508?irpc=932 (diakses tanggal 17 Mei 2015).
  10. Lihat, “PK Tereksekusi Mati Zainal Terselip 10 Tahun, MA Salahkan PN Palembang”, dalam http://news.detik.com/read/2015/04/30/095124/2902159/10/pk-tereksekusi-mati-zainal-terselip-10-tahun-ma-salahkan-pn-palembang (diakses tanggal 17 Mei 2015).
  11. Lihat, “Suap Hakim Bali Nine, Jokowi: Kenapa Tak Bilang dari Dulu?”, dalam http://www.tempo.co/read/news/2015/04/27/063661421/Suap-Hakim-Bali-Nine-Jokowi-Kenapa-Tak-Bilang-dari-Dulu (diakses tanggal 17 Mei 2015).
  12. Lihat, “4 Fakta Freddy Budiman, Raja Narkoba Lolos Hukuman Mati Tahap Dua”, dalam http://www.merdeka.com/peristiwa/4-fakta-freddy-budiman-raja-narkoba-lolos-hukuman-mati.html (diakses tanggal 17 Mei 2015).
  13. Lihat, “We have Forgotten that Abolishing Executions Required a Struggle”, dalam http://www.theguardian.com/commentisfree/2015/mar/13/we-have-forgotten-that-abolishing-executions-required-a-struggle?CMP=share_btn_fb (diakses tanggal 17 Mei 2015).
Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *