Bahasa Indonesia, Indonesia, Noted

Ketika Oom Ben Berandai-andai

Facebook | Thu, December 31 2015

Written by Aboeprijadi Santoso · 3 min read >
Photo: Omar Montenegro, studionuma.com

Catatan Menutup Tahun, Menghormati Ben Anderson

Pernahkah Anda bayangkan republik kita ini sebesar Asia Tenggara dengan ibukota bukan Jakarta, tapi Manila, dan Jawa cuma periferinya? Benedict R’O.G. Anderson berandai-andai, tapi dia tidak sedang berkhayal ketika dia menulis ini dalam kolomnya di Mingguan Editor 12 Januari 1991:

“Andaikata Tuwan-tuwan Kumpeni berhasil ngejambret kota Manila dari tangan Spanyol .. (d)engan Filipina di tangannya, dan suatu kawasan maritim yang jauh lebih luas dari kawasannya ALRI kite yang tercinta, yaitu dari Malaka sampai pinggir kepulauan Nippon, mungkin sekali Markas Besarnya akan dipindahkan dari Betawi ke Timur. Mungkin ke Makasar, tapi lebih mungkin lagi ke Manila ..” [1]

Kenyataan semacam ini jauh dari apa yang dapat kita bayangkan di masa kini. Disitu, demikian Ben, “posisi Jawa bisa terjungkir balik menjadi suatu ‘sabrang’ jauh-jauh, macam Irian Barat sekarang ini. .. Karena tuwan-tuwan Kumpeni mata duitan, bukan misionaris, malahan masa bodo terhadap agama, bisa juga proses Islamisasi Filipina, yang sudah mulai sebelum Spanyol nongol, diteruskan sampai komplit.”

Semua itu tak pernah terjadi gara gara Inggris menggertak Belanda dan mengancam keadidayaan VOC di Asia. Dalam ungkapan Ben: “pasti karena merasa kasihan kalau Pak Harto tidak berkesempatan menjadi presiden daripada suatu negara tersendiri, Dewi Sejarah diam-diam menggoda Inggris untuk gebukin Belanda di Eropa Barat (dan) saking kagetnya tuwan Kumpeni cepet-cepet mengambil keputusan untuk berdamai dengan raja Spanyol”. VOC lalu urungkan niat (1600-1662) untuk “ngejambret” Manila.

Dan andaikata Inggris dan Belanda tidak saling-tukar jajahan, “pasti (Inggris)-lah, bukan Jepang yang memelopori gagasan Kawasan Kemakmuran Bersama di Asteng .. Lucu ya? Dan Bung Karno akan marah-marah bukan terhadap geng ‘Hollands-denkers’ diantara intelek-intelek Melayu, tetapi terhadap yang ‘Engels-denkers’. (Bukannya pemuja-pemuja Oom Friederich, lho). Rupanya .. si Dewi Sejarah sangat cinta terhadap cicit-cicit Homo Javanensis ..”

Sejarah memang terdiri dari sejumlah ‘kecelakaan’ yang signifikansinya dapat kita temukan ketika kita berandai-andai, namun tanpa berkhayal. Pengandaian terjadi dengan membentuk jalin-kelindan dengan observasi-observasi yang cermat—asalkan bertolak dari data sejarah yang sahih.

Ben tidak menuliskan metodenya, namun sepertinya dia menerapkan suatu ‘metode’ karena sejarah dan masyarakat bergerak dengan imajinasi mereka yang menjalaninya. Menanggapi resensi terhadap karya masyhurnya Imagined Communities, dia mengingatkan sengaja memilih kata ‘imagined’ (terbayangkan), bukan ‘imaginary’ (khayalan). “Ingat saja ‘imagine’-nya John Lennon,” saran Ben bersungguh-sungguh. Bagi pengamat, berimajinasi adalah sebuah cara untuk membangun perspektif sejarah, tapi bagi masyarakat dan penguasa, berimajinasi adalah bagian dari perjalanan kehidupan politik – dimana “Dewi Sejarah” (kiasan untuk Tuhan) memastikan apa apa yang terjadi.

Imaginative’ pada sisi pengamat, dalam arti daya membangun gambaran untuk meraih temuan-temuan krusial, merupakan kata kunci yang, meminjam istilah Ben, “dikotbahkan” oleh sahabatnya, Onghokham. Ben dan Ong, seingat saya dari tahun 1970-80an, sering saling merujuk.

‘Permainan’ nalar dan imajinasi ini juga tampak dalam tulisan Ben tentang tumbuhnya nasionalisme Timor Timur dibawah pendudukan Indonesia. [2] Di negeri terjajah tanpa industri percetakan dan penerbitan ini, kapitalisme-cetak tak berpengaruh terhadap sentimen nasionalis. Maka Ben harus menjawab pertanyaannya sendiri tentang Tim-Tim, yakni dengan menunjuk betapa mustahil bagi para penjajah di Jakarta untuk membangun konsensus bahwa rakyat Tim-Tim adalah bagian dari, dan sebangsa dengan, Indonesia. Mereka tak pernah dijajah Belanda, dan tak mungkin merayakan ‘kebesaran’ Majapahit yang menonjolkan Jawa; bahkan mengkhayalkan ‘sesama rumpun rasial’ pun tak layak karena seolah-olah mengklaim Filipina dan lain lain. Walhasil, ‘kebersamaan’ Indonesia dan Tim-Tim itu akhirnya buntu karena pengalaman sejarah dan mitos-mitos yang berbeda. Sebaliknya, perilaku yang sok superior dan skala kekerasan yang meluas oleh penguasa Indonesia-lah yang melahirkan suatu bangsa baru, Timor Leste.

Meski mengendap di bawah permukaan politik kala itu, aspek-aspek tersebut dapat digali dengan mendalami sejarah dan gaya bahasa mereka.

Bahasa dan sastra merupakan jendela untuk memandang dunia dari sudut pandang masyarakat yang dikajinya. Dan bahasa, pada gilirannya, berkait-erat dengan kesadaran dan perilaku selaku warga (citizenship). Ben yang campuran aristokrat Inggris-Irlandia menembus kaitan itu dengan berandai-andai menjadi orang Indonesia berbahasa prokem. Keasyikannya disitu – yang jenaka, kadang sinis dan sarkastis—sekaligus mengungkap posisinya selaku pembangkang.

Pada 1982, dalam sebuah acara diskusi di Amsterdam, dua manusia menarik perhatian Ben: yang satu “mirip Petruk, tinggi, kurus agak serem merek Ngarab Jawa, berpakaian hitam dan sering menguap” (Pipit); satu lagi “berbadan tegap-kekar – seorang Brahmana Bali yang drop-out jadi gali ganteng di Kuta” (Komang). [3] Keduanya mewakili dunia urakan — kebalikan dari dunia priyayi dan kenegaraan yang tertata dan rapi jali: sejajar dengan dikhotomi ‘Jago’ versus ‘Pahlawan’. Disitu, jago, meski tak kalah penting, selalu terlupakan, sedangkan Pahlawan resminya terhormat.

Disinilah surat-menyurat Ben dengan aktivis Pipit Rochijat Kartawijaya di Berlin Barat selama 20an tahun menjadi ego-documents yang menarik karena berkaca pada sejarah negeri.

Pada 14 Oktober 1985, Ben menulis: “Pipit selalu mengelak jadi ‘kawan baik’ pembaca. Keradikalan ini cocok dengan sifat seorang jago. Karena selama revolusi Indonesia, orang-orang paling radikal – sehingga dibasmi oleh pahlawan sosialis, kominis, nasionalis dan agama—adalah para jago yang brengsek, berani dan bernyali”. [4]

Lalu pada 28 Oktober 1985: Ben, si ‘Oom Kolonel’, menulis kepada Pipit, penulis artikel “Saya PKI Atau Bukan PKI” (1984) yang mengajak orang merenung: [5]

“Abang Sersan yang baek, kalow orang melupakan bencana 1965-1966 atow bertingkah seolah-olah itu tak pernah terjadi .. kalau begitu ya itu semua hanya akan menghukum Indonesia untuk mengulangi bencana itu.”

Belakangan, tragedi-tragedi yang tak pernah tuntas – Priok, Lampung, Mei 1998, Wiji Thukul, munir—seperti nyata dalam korespondensinya, membuat Ben cemas.

Personifikasi jago di tengah gunjang-ganjing Indonesia itu digandrunginya sehingga persahabatannya dengan para ‘jago’ tadi, dan dengan generasi muda umumnya, tak pernah putus. Betapa ironis, tak lama setelah kuliahnya dan publikasi bukunya tentang anarkisme dan nasionalisme versi Indonesia, Ben meninggalkan mereka untuk selamanya.

Dalam suratnya tertanggal 25 Oktober 2013, Ben menulis “Hari terachir(ku) pasti tidak lama lagi”. Lalu dia berpesan kepada ‘Abang Sersan’ Pipit yang akan pensiun: Nikmatilah hari tua dengan “menyerang setan-setan — bukan ngorok, diem, tak peduli dan lain-lain. Tabik!” [6]

Selamat jalan, hormat dan terima kasih untukmu, Oom Ben. Tabik!


* Dengan terima kasih kepada Pipit R. Kartawijaya yang menyediakan arsipnya.

  1. ‘Mantra ‘Andaikata’ Dewi Sejarah’, Majalah Berita Mingguan Editor No. 18, Thn IV, 12 Januari 1991.
  2. Benedict Anderson, ‘Imagining East Timor’, Arena Magazine No. 4, April-May, 1993, http://www.ci.uc.pt/timor/imagin.htm
  3. Surat ‘Antara Pahlawan dan Jago’, tanpa tanggal, Arsip Pipit R. Kartawijaya
  4. Surat tertgl. 14 Oktober 1985, Arsip Pipit R. Kartawijaya
  5. Surat tertgl 28 Oktober 1985, Arsip Pipit R. Kartawijaya; ‘Saya PKI Atau Bukan PKI,’ Majalah Gotong Royong, PPI Perhimpunan Pelajar Indonesia, Berlin Barat , April 1984.
  6. Surat tertgl. 25 Oktober 2013, Arsip Pipit R. Kartawijaya
Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *