Timor Leste

Mencatat Magnis, Mengurai ‘Tim-Tim’

Facebook | Sat, March 16 2019

Written by Aboeprijadi Santoso · 1 min read >
Illustration: Ridwan Akbar Tanjung / akbarrakta.wixsite.com/maharani

Romo ini ramai lagi, kali ini tentang Golput. Bagi saya, mencatat Magnis, mau tak mau, mengingat ‘Tim-Tim’ – Timor Timur (Timor Leste), korban agresi dan penjajahan Orde Baru Indonesia selama seperempat abad. Romo Frans Magnis-Suseno dikenal sebagai salah seorang tokoh yang, dengan keprihatinannya, mengamati perkembangan di Tim-Tim sepanjang 1990an.

Dia pun menyadari awal konflik Tim-Tim tsb.

Kita ingat, bukan, Wakil Tetap RI di PBB kala itu, pada Jan. 1976, menangkis tuduhan dunia tentang agresi 7 Des. 1975, di Dewan Keamanan PBB, dengan mengatakan seperti ini: Apa yang Anda lakukan kalau tetangga sebelah rumah kebakaran?

Dengan kata lain: masuki saja tetangga, dan ikut ‘membereskan’. Dunia diminta melupakan ulah tim Ali Moertopo ikut membakar perang saudara UDT vs Fretilin di Dili, Agustus 1975.

Magnis pun seolah mengamininya, dengan menekankan:

“Remember how in 1975 Indonesia used a bloody, vicious civil war among the East Timorese — tens of thousand East Timorese had fled into Indonesian territory — for intervention?”

Lalu dia melanjutkan: “Less than eight years after becoming free from Indonesia there are, at this very moment, more than 20,000 East-Timorese living in refugee camps — who, again, had to flee from their own brethren.”

Bagi mereka yang berada di Tim-Tim pada dua minggu pertama Sept 1999 tahu bahwa para “pengungsi” (200an ribu) ini bukan pengungsi, melainkan korban deportasi. Sebagian besar mereka dideportasi, diangkut-paksa ke bandara Komoro, Dili, di bawah wewenang Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Mayjen. Pur. A.M. Hendropriyono – untuk kelak, bila perlu, dijadikan tumbal tentara Indonesia di seberang Timor Leste merdeka.

Magnis barangkali menulis dari Jakarta kala itu (Sept. 1999), tapi sejak dua dekade ini pun dia tak pernah mengoreksinya lagi.

Ulasan Magnis ingin memberi pengertian kepada dunia bahwa ulah tentara Indonesia perlu dipahami juga. Janganlah TNI ABRI sampai kehilangan muka:

“.. (this) fact as of highest political importance for their country. They understood that the only thing absolutely not to do was make Indonesia, or Indonesia’s military, or some of its most important members, lose face again.”

Akhirnya, tibalah Magnis pada kesimpulan pokoknya, bahwa aib besar masa lampau termasuk 1965-1966 itu bukan ciri sejarah Indonesia belaka.

“.. Indonesia has not yet been able to face the full truth regarding of the happenings in 1965 and 1966, in 1998 (the Jakarta riots with the same number of deaths during three days as in Timor Leste in September 1999) and many other occasions. But this is in no way a privilege of Indonesia.”

Dengan kata lain, maklumi sajalah. Yang penting baginya, Indonesia tidak sendiri. Itu saja. Namun pemakluman ini berkonsekuensi panjang.

Olehkarena narasi seperti itulah, maka CTF (Timor-Leste-Indonesia Commission of Truth and Friendship 2005-2008), menurut Magnis, harus dipahami sebagai pretasi Indonesia meski kenyataannya CTF itu menggunakan kasus kekerasan seputar jajak Pendapat 1999 untuk menutup dan menyelesaikan seluruh (sic!) kekerasan sejak 1975.

“.. the CTF may fall short of the demands of some moralists, but under prevailing conditions it is probably the maximum that could be achieved. By helping Indonesians to accept Timor Leste’s existence it does both countries a real service.”

Maka bahagialah Romo Magnis menganggap CTF telah menyelesaikan “segala”nya. Tak jauh dari tangga penguasa, Magnis terdengar manis saja. Selalu.


* Maaf masih pakai istilah kolonial Indonesia ‘Tim-Tim’. Saya tidak pakai sebutan resmi ‘Timor Leste’, karena tulisan ini merujuk ke zaman colonial.

Kutuipan Romo F. Magnis Suseno dari sini:
The Jakarta Post Thursday, May 3, 2007, Op-Ed, Timor Leste, Indonesia and Moral Complexitie

https://www.etan.org/et2007/may/05/03tleste.htm

https://id.wikipedia.org/…/Komisi_Kebenaran_dan_Persahabatan

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *