Artikel ini digubah dari Kolom Ahad penulis, Radio Nederland 15 Jan. 2006. Juga diterbitkan kembali di https://groups.yahoo.com/neo/groups/nasional-list/conversations/messages/26653
Jenderal-jenderal di Eropa lagi resah. Di Spanyol, seorang jenderal mengutak-atik demokrasi untuk meredam peluang kebebasan daerah, sedangkan di Inggris jenderal pensiunan mencoba menggunakan dalih demokrasi untuk menjatuhkan Perdana Menteri.
Jenderal Aguado menjadi kepala berita di Eropa. Jendral siapa !? José Mena Aguado, Letnan Jenderal, adalah perwira tinggi Spanyol yang baru-baru ini menyerukan agar Angkatan Darat segera turun tangan untuk menghentikan suara-suara dari regio Catalonia yang menuntut otonomi lebih besar. Tak lama kemudian, dia ditahan di Madrid. Lantas, Spanyol tenang kembali. Tak ada krisis. Spanyol tetap setia pada konstitusinya yang demokratis.
Di Inggris, Jenderal purnawirawan Sir Michael Rose dengan lantang menyerukan agar PM Inggris Tony Blair diturunkan saja. Usul impeachment ini dikeluarkan-nya karena Rose menuduh PM Blair telah menipu parlemen dan publik mengenai invasi sekutu ke Irak. Karena itu, “impeachment harus dilakukan apabila kita ingin menyegarkan kehidupan demokrasi di negeri ini,” katanya.
Politik jenderal
Jenderal-jenderal di Eropa rupanya lagi bergairah untuk berpolitik. Di kedua negeri itu, demokrasi sudah mantap, meski di Spanyol, demokrasinya lahir dari fasisme Jendralisimo Franco, sedangkan di Inggris, seperti di Belanda dan banyak negara Eropa lainnya, demokrasinya ditaruh di dalam tempurung monarki. Jadi, di negara negara demokratisEropa pun, mereka bergerak untuk mencari ruang publik baginya atau bagi kelompoknya. Michael Rose bersuara atas nama diri sendiri, sedangkan Mena Aguado mengaku banyak perwira
Spanyol sependapat dengan dirinya dalam memandang regionalisme Catalonia sebagai ancaman tehadap negara kesatuan Spanyol.
Ini namanya politik jenderal. Artinya, di dalam konteks institusi demokrasi Eropa, ada jenderal-jenderal yang kekurangan ruang dan kuasa di muka publik. Dengan kata lain, mereka ogah memasuki kancah politik formal, ikut salah satu partai politik atau mendirikan partai baru, tetapi mencari ruang tersendiri, yaitu dengan mengandalkan semangat negara kesatuan seperti jenderal Spanyol itu, atau dengan mempertaruhkan gengsi dan wibawanya, seperti jenderal Inggris terkenal yang pernah memimpin pasukan PBB di Bosnia itu.
Tapi, bedanya, Jenderal Aguado adalah perwira yang masih aktif, sedangkan Jenderal Sir Michael Rose sudah purnawirawan. Purnawirawan jenderal berarti dia kembali menjadi warga biasa; jadi, sah sah saja apabila dia bersuara politik, tapi dia memilih tidak masuk parpol, namun mengajak publik untuk melakukan tuntutan politik. Tak ada problem dengan ulah dan suara semacam ini, terserah bagaimana parpol, parlemen dan publik mau menanggapinya. Tapi bagaimana dengan ulah politik jenderal yang aktif seperti Aguado?
Jenderal politik
Ulah Michael Rose adalah politik (mantan) jenderal, sebaliknya Aguado adalah jenderal politik. Yang pertama memperoleh ruang politik selaku warga, sebalik-nya yang tersebut kedua mencari ruang yang sama, yang terlarang baginya, karena dia masih merupakan perwira yang aktif. Karena itu, Jenderal Aguado ditahan.
Sejak Revolusi Prancis akhir abad ke XVIII menundukkan Gereja dan menyingkir-kan raja dan aristokrasi sebagai wahana politik, maka politik menjadi ruang bagi citoyen (warga). Demokrasi moderen menyempurnakannya dengan menyingkirkan institusi bersenjata dari
ruang politik. Tentara, atas nama negara, memperoleh privilese boleh memonopoli pemilikan senjata, sosiolog klasik Max Weber pernah mengingatkan. Sebagai gantinya, tentara tidak boleh berpolitik. Jadi, yang ada seharusnya hanyalah politik (mantan) jenderal, bukan jenderal politik.
Jenderal politik, atau jenderal berpolitik, adalah fenomena ganjil di alam demokrasi. Para jenderal mungkin saja berpikiran politik, lalu mencari dalih dan wahana untuk menguasai ruang politik. Di Spanyol, Jendralisimo Franco bertahan sejak Perang Saudara 1930an sampai dia meninggal pada 1975. Sebelumnya, dia mengajukan Pangeran Juan Carlos sebagai penggantinya, namun Juan Carlos berhasil memutar haluan dengan memantapkan demokrasi. Demokrasi parlementer tegak, bahkan Catalonia meraih otonomi luas di dalam negara kesatuan Spanyol.
Tapi fasisme Franco yang lama berjaya meninggalkan warisan gagasan dan semangat yang masih berkemelut di dalam lingkungan tentara. Tahun 1980an sejumlah perwira masuk gedung parlemen dan merendahkan martabat wakil-wakil rakyat dengan menembakkan senjata. Sekarang, seorang Jenderal José Mena Aguado campur tangan dengan mempertanyakan kemerdekaan regional, dengan dalih menjaga negara kesatuan.
Kok kayaknya pernah dengar kisah semacam ini. Déja vu? Lhaa, Fasisme Franco kan tak sama tapi serupa dengan Orde Baru Suharto.
Franco sudah mati ketika demokrasi mulai berkembang di Spanyol, tapi seperti fasisme Franco, Orde Baru Suharto meninggalkan warisan institusional dan semangat yang sebagian berkepanjangan. Franco mencalonkan Juan Carlos yang menghidupkan demokrasi. Suharto juga punya putra mahkota, B.J. Habibie, yang pada 1999 berhasil menggelar pemilu demokratis pertama pasca Suharto dan memungkinkan kemerdekaan bagi daerah pendudukan Timor Timur. Sisa-sisa warisan Franco masih menitiskan semangat negara kesatuan yang anti demokratis seperti ulah dan suara Jenderal José Mena Aguado.
Ryamizard
Tapi tiga dasawarsa Orde Baru juga mewariskan semangat sentralisme yang serupa dan punya jenderal semacam Aguado: Jenderal Ryamizard.
Jenderal siapa!? Ryamizard Ryacudu, jenderal hampir purnawirawan, semasa aktif menjadi KSAD, tidak terang-terangan bersuara politik, bahkan retorika publiknya menentang adanya jenderal yang berpolitik. Tapi dia membangun kekuatan politik ke luar lewat mertuanya,
Jenderal Try Sutrisno, dan ke dalam lewat populismenya di kalangan prajurit. Di tengah perundingan perdamaian Aceh di Tokyo, April 2003, Ryamizard mengepung desa desa di Aceh Utara dan mempersiapkan perang. Pantas, sejak turun dari KSAD, dia diparkir jauh jauh supaya tidak mengusik pelaksanaan perdamaian Helsinki 2005.
Tapi Ryamizard sekadar meneruskan tradisi tentara berpolitik alias tradisi jenderal politik, dengan unjuk kekuatan di Lapangan Merdeka untuk menurunkan Presiden Gus Dur, Juli 2001. Sebelumnya, bahkan di lapangan yang sama, Letkol. Zulkifli Lubis, lantas Kol. A.H.
Nasution pada 1950an, kemudian Kol. Kemal Idris pada 1965, melakukan hal yang sama terhadap pemerintahan sipil.
Celakanya, beda antara Ryamizard dan Aguado justru ironis. Jenderal Aguado mungkin cuma didukung bekas pendukung ancient regime Franco, sedangkan Jenderal Ryamizard dan cara-caranya menggertak daerah, mengancam kekerasan, memerangi daerah, memuji pembunuhan separatis Papua (alm. Theys Eluay) dengan dalih menjaga negara kesatuan, malah didukung dan disoraki oleh para pecinta, pendukung, bahkan diam-diam, mungkin juga, oleh sebagian penentang ancient regime Orde Baru Suharto.
Kok bisa gitu yah?