Bahasa Indonesia, Indonesia

Kudeta — Yang sutra, yang brutal & yang merangkak

Diolah dari Kolom Ahad penulis untuk Radio Nederland Wereldomroep 02 Oktober 2006 http://www.ranesi.nl/arsipaktua/Asia/indonesia060905/kudeta_kolom_aboeprijadi061002 https://groups.yahoo.com/neo/groups/nasional-list/conversations/messages/41030 Dalam tempo hanya dua pekan, Jenderal Sonthi Boonyaratglin...

Written by Aboeprijadi Santoso · 3 min read >

Diolah dari Kolom Ahad penulis untuk Radio Nederland Wereldomroep 02 Oktober 2006
http://www.ranesi.nl/arsipaktua/Asia/indonesia060905/kudeta_kolom_aboeprijadi061002

https://groups.yahoo.com/neo/groups/nasional-list/conversations/messages/41030

Dalam tempo hanya dua pekan, Jenderal Sonthi Boonyaratglin di Bangkok dan mantan Presiden B.J. Habibie di Jakarta telah memperkaya khasanah pengetahuan kita tentang kudeta. 

Jenderal Sonthi memimpin perebutan kekuasaan di Thailand dengan apa  yang belakangan disebut “kudeta sutra”. Dan Habibie, lewat bukunya, “Detik Detik Yang Menentukan” yang mengungkap sebuah upaya kudeta yang gagal pada 22 Mei 1998 – yang barangkali boleh disebut sebagai “kudeta brutal yang gagal”.

Kedua kudeta itu menjadi kontroversi. Di Negeri Gajah, permainan kudeta pernah menjadi tradisi yang berkepanjangan, sedangkan di Negeri Garuda, kudeta militer menjadi tabu sejak Orde Baru berkuasa tahun 1960an. Keduanya, baik Thailand mau pun Indonesia, tengah 
memantapkan demokrasi. 

Sepintas, kudeta Jenderal Sonthi yang sukses itu tampak amat berbeda dengan kudeta gagal yang diungkap Habibie. Disimak lebih mendalam, ternyata ada persamaannya yang hakiki.

Jenderal Sonthi bertindak terbuka, terang-terangan merebut kekuasaan negara, dengan mengerahkan tank-tank ke gedung pemerintahan, lalu membelot terhadap perintah PM Thaksin Shinawatra dari New York,  kemudian meminta restu Raja Bhumipol. Di negeri yang santun ini,  Dewan Militer yang kemudian dibentuk Jenderal Sonthi mengambil langkah politik yang brutal, yang memerlukan dukungan – paling sedikit, isyarat dukungan – dari Raja Bhumipol, penguasa tertinggi negara yang berstatus Dewa-Raja dan sangat populer di kalangan rakyat. Jenderal Sonthi mencatat sukses. Kudetanya mulus, tak berdarah, tanpa 
kekerasan, bahkan disambut kuntum bunga kuning.

Tapi kudeta sutra itu adalah sebuah kontradiksi. Betapa pun, “coup d’état” adalah suatu langkah yang tidak sah dalam suatu demokrasi. Bagaimana upaya perebutan kekuasaan yang per definisi tidak absah, seolah menjadi absah, adalah kunci magis yang dimungkinkan oleh wibawa sang Dewa-Raja. Pada akhirnya, meski kudeta itu tetap merupakan jalan yang tak absah, namun Raja telah memberikan isyarat restunya – seolah restu Raja dapat memaafkan sebuah langkah yang salah. Akhir-nya, sejarah harus mencatat bahwa langkah yang tak absah itu tampaknya cukup berkenan bagi sang Raja dan sebagian rakyat. 

Tetapi, Thailand akan harus membayarnya kelak dengan risiko dan  konsekuensinya jika Raja Bhumipol tidak lagi berada di tengah mereka. Menurut para pengamat, rupanya penggulingan PM Thaksin sangat mungkin merupakan hasil rembugan para jendral dan Raja dalam rangka menyiapkan pelembagaan demokrasi untuk mencegah dominasi arogan ala 
Thaksin di masa mendatang, sekaligus mencegah stagnasi apabila peran dan wibawa Raja kelak tak mampu memberi solusi bagi krisis demokrasi. Singkatnya, inilah konspirasi Raja dan militer dalam rangka « memperkuat demokrasi » di masa mendatang.

Kudeta itu boleh saja semulus selendang sutra, tapi, apa pun alasan pembenarannya, itu berarti elit militer dan Raja telah mencemari proses demokrasi, dan tidak memberi ruang pembelajaran berdemokrasi bagi masyarakat. Di situ, legitimasi institusi Raja berkontradiksi 
dengan asas demokrasi. 

Dengan kata lain: ketika pemerintahan yang terpilih demokratis tapi berkuasa secara angkuh, serakah dan nyaris despotis, seperti pemerintah PM Thaksin, maka orang tak perlu lagi menunggu pemilu baru untuk menggantikannya. 

Kini, jalan pintas telah tersedia lewat kudeta militer dan restu Raja.

Gaya Brutal & Merangkak

Jalan pintas seperti itulah yang menghantui Presiden B.J. Habibie di Jakarta pada 22 Mei 1998, sehari setelah dia ditunjuk Soeharto untuk menggantikannya. 

Dalam kasus Indonesia, sang Raja, Soeharto, memilih mundur atas keputusan sendiri, tanpa memberi restu yang justru sedang dan amat didambakan oleh menantunya, Letjen Prabowo Subianto. Raja yang satu ini juga penentu seperti di Thailand, tapi dalam kualitas amat 
berbeda. Di Thailand, pelecehan terhadap Raja, yang dituduhkan pada Thaksin, merupakan tabu.

Di Indonesia, menggelar kudeta secara terbuka, itulah tabu TNI/ABRI sejak Orde Baru. Soeharto pernah menggelar “kudeta merangkak” dan berhasil, maka logis, dia tak ingin  orang lain akan melakukan hal yang sama terhadap dirinya. 

Habibie mengungkap, waktu itu ada sejumlah pasukan dikerahkan dan melakukan pengepungan dan Pangkostrad yang digusur, Letjen Prabowo Subianto, mendatanginya dengan marah marah.

Prabowo mengakui ada pengerahan pasukan, tapi membantah telah memarahi Habibie dan melakukan pengepungan istana. Mayjen Syafrie Syamsuddin, waktu itu Pangdam Jakarta, membenarkan adanya penggalangan pasukan olehnya, yang sebagian atas permintaan Prabowo, tetapi Syafrie diam tentang pengepungan, sedangkan Jendral Wiranto, waktu itu Menteri Pertahanan dan Pangab, berkelit. Jenderal Sintong Panjaitan, selaku staf pribadi presiden, meminta Prabowo pulang. Sebuah sumber yang dekat dengan Endriartono Sutarto, mengatakan bahwa Endriartono, waktu itu Danpas-pampres (komandan pengawal presiden)-lah yang mencegat dan melucuti senjata Prabowo sebelum masuk istana. 

Bukan mustahil, Wiranto juga menggerakkan sebagian pasukan. Beberapa hari sebelumnya, sekitar saat kerusuhan Trisakti dan pemerkosaan perempuan Tionghoa, Wiranto pergi ke Malang memeriksa pasukan Kostrad di sana.

Habibie sendiri menekankan bahwa cerita yang diungkapnya itu baru sebagian saja. Pantas dia menolak desakan Prabowo agar merevisi ceritannya. Sementara Wiranto “atas nama TNI” 
memberi dukungan pada usul Habibie agar Amien Rais dicalonkan presiden. Amien mengaku, waktu itu, ada seorang jenderal, barangkali maksudnya Prabowo, yang mengancam “Tien An Men Kedua” jika Amien menggalang dukungan rakyat.

Dengan kata lain, besar kemungkinan, yang terjadi adalah upaya kudeta Prabowo yang gagal. Prabowo gagal karena Habibie sudah mengangkat Wiranto sebagai Pangab (Prabowo mengusulkan Soebagio HS) dan karena Soeharto toh tidak akan merestui menantunya ini. Perbedaan pendapat Habibie dan Prabowo yang ramai di media massa hanya menjadi semacam kabut untuk menutupi-nutupi agar kejadian itu tampak mulus bagaikan selendang sutra Thailand.

Di Bangkok, Jenderal Sonthi bertindak polos dan Raja Bhumipol mengisyaratkan restunya secara jelas. Di Jakarta, Habibie, Prabowo dan Wiranto berupaya menutup-nutupi sebuah upaya kudeta brutal yang gagal. Ketiga tokoh ini menyadari benar betapa tabu dan dosa-yang-tak termaafkan apabila sebuah kudeta militer digelar secara terbuka. 

Ketiganya adalah murid-murid yang baik dari Jenderal Besar yang berdarah, namun sukses dalam menggelar “kudeta merangkak” sejak September 1965 sampai 11 Maret 1966.

Diolah dari Kolom Ahad penulis Radio Nederland Wereldomroep 02 Oktober 2006

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile