Aceh, Bahasa Indonesia, Indonesia

Menjadi “Jawa” di Aceh

Kolom Ahad Aboeprijadi Santoso, 18 Oktober 2005, Radio Nederland Wereldomroep Adakalanya suatu kelompok etnik menjadi subyek historis yang amat dominan di negeri...

Written by Aboeprijadi Santoso · 3 min read >

Kolom Ahad Aboeprijadi Santoso, 18 Oktober 2005, Radio Nederland Wereldomroep

Adakalanya suatu kelompok etnik menjadi subyek historis yang amat dominan di negeri lain dengan kelompok etnik lain. Manakala negeri itu menjadi daerah konflik berkepanjangan dan rakyatnya jadi korbannya, maka wajar jika etnik dominan tsb menjadi bulan-bulanan – dia menjadi suatu simbol-target. Itulah yang terjadi dengan etnik Rusia dalam tragedi Baltik di bawah Uni Soviet.

Seperti itu pula kisah “Jawa” bagi Aceh di bawah Belanda dan Orde Baru. Jawa=penjajah Anggap saja Aceh adalah sebuah laboratorium sosial-historis yang merekam “Jawa” sebagaimana dipandang oleh masyarakat lokal. Suka atau tidak, dalam persepsi Aceh, “Jawa” adalah sebuah simbol kuat yang mewakili sosok penjajah. Para pengamat Aceh tinggal membuka buku-buku sejarah tentang bagaimana Belanda bertingkah di Aceh dengan menggunakan serdadu Jawa.

Sekarang pun, orang Aceh tak usah memilah-milah sejarah, mereka tinggal menengok de Petjoet Kerkhof, pekuburan di pusat kota Banda Aceh (satu satunya pemakaman di sentrum suatu ibukota di jagad ini). Di sana dapat ditemukan nama-nama Ambon, Manado, dsb, tapi yang terbanyak adalah nama serdadu Belanda dan Jawa. Zaman sekarang, idem dito. Orang tinggal membuka-buka koran-koran di masa Orde Baru, lagi-lagi nama-nama jenderal-jenderal dan serdadu Jawa menghiasi berita-berita tentang operasi ini dan operasi itu, sampai Operasi Jaring Merah (DOM 1989-98) yang membuat Aceh menjadi ladang bersimbah darah.

Orang desa di Aceh tahu benar siapa yang menyuruh mereka berjemur atau berkubang berjam-jam bagai kerbau di sawah, merayap puluhan meter dengan siku, atau menjilati dinding untuk menghapus slogan “merdeka” dan “referendum” di tahun 1998-2000, dsb. Indonesia-Jawa

Maka, ketika pasca-Soeharto, Aceh bangkit, saat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan gerakan sipil bergolak, “Jawa” pun kembali menjadi simbol, praduga, stereotipe tentang sosok penjajah. Istilah “Indonesia-Jawa” menjadi pembeda antara Indonesia yang Jawa dan Indonesia yang lain. Ketua Delegasi RI dalam perundingan Helsinki, Menhukham Hamid Awaluddin sempat bercerita bahwa dalam sidang pertama RI-GAM selama berjam-jam dia harus mendengar protes dan keluhan Delegasi GAM tentang “penjajah Indonesia-Jawa”. “Nah, gue mau bilang ape, gue kan orang Bugis!” begitu konon Hamid mengeluh. Menurut hemat saya, Hamid kurang paham makna simbolisme dari umpatan GAM.

Politik publikasi vs politik etnisisme

Ketika meliput acara terbuka pertama peringatan ulangtahun GAM, Desember 1999, kami dibawa ke desa Teupin Raya, Pidie. Sejumlah wartawan lokal dan asing, kebanyakan non-Jawa, harus diperiksa pejabat GAM sebelum memasuki lapangan tempat upacara. Tiba-tiba seorang wartawan Jakarta berseru kepada komandan GAM, “wah, ada Jawanya satu, Bang”. Rupanya koran Jakarta produk Orde Baru ini memainkan politik Machiavelisme-etnisisme dalam mengejar headline dengan mengirim wartawan-wartawan non-Jawa. Tapi si Panglima sagoe GAM tenang-tenang saja. “Ini kan Radio Nederland, bukan Jawa” katanya merekayasa dalih. Jadi, GAM yang mengejar publikasi mencari alasan pragmatis. Bagi GAM, politik publikasi akhirnya mengalahkan politik etnisisme.

Tapi politik etnisisme tidak hanya monopoli Orde Baru dan GAM. Di Washington 2001, ada pertemuan aktivis yang tak boleh dihadiri mereka yang non-Aceh. Di Kuala Lumpur, 2003, ada konperensi Aceh dengan satu sesi khusus buat aktivis-aktivis asal Aceh. Seorang kolega dengan nama Jawa sering meliput Aceh tanpa repot karena dia kebetulan etnis Tionghoa.

Warisan masa kolonial sampai Orde Baru

Tetapi, inti stereotipe “Jawa” di Aceh sebenarnya lahir dari garis panjang peran dominan aparat negara (kolonial sampai Orde Baru) yang menghadirkan peran kunci figur-figur Jawa. Di sini, politik etnisisme lahir dari persepsi-diri tentang sejarah hubungan antara kelompok sendiri dan kelompok dominan, yang berubah menjadi kelompok target.

Ini tampak di Bosnia, tapi juga di Riau, Medan, dsb, di mana ratusan eks-transmigran Jawa terhempas dari Aceh Timur oleh politik pembersihan etnis oleh GAM dan mereka yang mengaku “GAM”. Mereka dijuluki “Anak Anak Soeharto”. Di sini, jelas, stereotipe “Jawa” lahir dari kekuasaan Orde Baru Soeharto dan dampaknya bagi Aceh. Politik etnisisme menjadi produk dari konflik masyarakat dan pusat negara.

Selang lima tahun, GAM kewalahan di lapangan, sementara TNI – seperti Belanda di Indonesia dan ABRI di Timor Timur – tak berhasil mematahkan perlawanan lokal. Desember 2004, datang tsunami yang membawa karunia di balik musibah (blessing in disguise). RI dan GAM berdamai di Helsinki, Agustus 2005.

Kini, giliran Jakarta berpolitik etnisis. Bukan kebetulan, tak satu pun delegasi RI ke Helsinki yang asal Jawa.

Bukan etnisisme atau rasialisme.

Lima tahun meliput konflik Aceh, keluar masuk desa-desa di Aceh Utara, Bireuen dan Meulaboh, saya menyimpulkan bahwa stereotipe tentang “Jawa” itu, meski cukup kuat, namun tak serta merta perlu dicap ‘etnisisme’ atau ‘rasialisme’. Dari banyak narasumber, teman-teman asal Aceh, GAM maupun yang bukan GAM, hampir tak ada yang memanggil saya dengan “Santoso”, sementara para aktivis dan kolega memanggil “Tossi”. Kebanyakan narasumber Aceh lebih suka menyapa “Aboe”, sedangkan sapaan “Aboe” biasanya diperuntukkan bagi orang tua yang disegani. Ini, tentu, tidak berlaku buat saya yang bukan Aceh dan bukan sesepuh. Menurut Murizal, kolega wartawan asal Aceh, sebutan “Aboe” adalah isyarat keakraban dan kehangatan. Rupanya, Aceh membuat saya tidak menjadi “Jawa” di Aceh.

Jawa = korupsi kekuasaan

Menjadi “Jawa” adalah memenuhi persyaratan dari persepsi lokal tentang Jawa, sebab “Jawa”, bagi Aceh, bukan sekadar etnik Jawa, melainkan (bagian dari) kekuasaan (sic!) Jawa. Dia bisa direpresentasikan oleh kekuasaan kolonial Belanda, Soekarno maupun Orde Barunya Soeharto. Singkatnya, “Jawa” di Aceh mewakili korupsi kekuasaan, termasuk pelanggaran besar HAM. Walhasil, terjadilah stereotipe anti-“Jawa” yang mengungkap simbol target sebagai produk historis Aceh dalam melawan penjajahan – tak perlu ada hubungannya dengan etnik atau pribadi yang kebetulan asal Jawa.

Artikel ini semula terbit sebagai Kolom Ahad Aboeprijadi Santoso, 18 Oktober 2005, Radio Nederland Wereldomroep; juga dalam blog saya http://aboeprijadi.blogspot.com/2005/10/menjadi-jawa-di-aceh_19.html

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile