Bahasa Indonesia, Indonesia

Obituari: Onghokham, Sejarahwan Imajinatif

http://indoprogress.blogspot.nl/2007/09/ong-hok-ham-sejarahwan-imajinatif.html SUATU hari, di awal 1970an, sejumlah dosen kajian keIndonesiaan berada di kantin K.I.T.L.V. Koninkelijke Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde, yang...

Written by Aboeprijadi Santoso · 4 min read >

http://indoprogress.blogspot.nl/2007/09/ong-hok-ham-sejarahwan-imajinatif.html

SUATU hari, di awal 1970an, sejumlah dosen kajian keIndonesiaan berada di kantin K.I.T.L.V. Koninkelijke Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde, yang waktu itu berlokasi di seberang stasiun, Stationsplein, Leiden. Beberapa diantaranya namanya kelak terkenal: Boen Oemarjati, Soemarsaid Moertono, J. Badudu, Lance Castle & Peter Carey. Satu di antaranya melenggang sendiri, datang memperkenalkan diri di kalangan mahasiswa. Onghokham, waktu itu meneliti arsip Belanda suka mencari kalangan baru dan terjun dalam diskusi.

Sejak itu, saya mengenal Ong – dia tak suka disapa Pak atau Koh –   sebagai rekan diskusi: di kantin KITLV, di café, bar, di rumahnya di pinggir kanal di Leiden, di seminar, di jalanan menyelusuri kota Leiden dan Amsterdam; juga di rumah seorang rekan karibnya, Heather Sutherland (sekarang guru besar emeritus Vrije Universiteit, Amsterdam), dan di rumahnya, di Cipinang Muara, Jakarta Timur, Juni yang baru silam (2007). Kamarnya di Leiden, semacam gudang di lantai teratas (zolder), selalu amburadul. Buku bukunya, Pinguin Pockets Perang Saudara Spanyol, Revolusi Cina, feodalisme Eropa dan kajian-kajian keIndonesiaan, sampai buku-buku masak Jawa dan Eropa, berserakan.

Seorang akademik yang bersahaja, Onghokham suka dan mudah bergaul. Seorang cendekiawan yang nyentrik, berwawasan luas, analitis, jeli, sering orisinal dan tajam. Ong bergulat dan merasuk ke dalam sejarah, sekaligus menikmati dunia kuliner. Di kedua dunia itu, dia pantang sendirian. Dia selalu mengundang teman atau tamu, melibatkan rekan-rekan diskusi, mengajak bertukar-pikiran dan makan-makan. Di rumah sendiri, dia memamerkan kepiawaiannya dalam hal memasak. Di rumah orang, dia kasak-kusuk di dapur, bertanya tentang bumbu dan masakan, atau minta dimasakkan sesuatu yang digemari atau belum dikenalnya. Semua itu diselingi dan diakhiri dengan minum bir, anggur atau kesukaannya – jenever Belanda dan keju Prancis Camember.

Dengan cara itu, dia memperluas wawasan, kerabat-pikiran, jejaring teman dan publiknya, serta menikmati makanan, minuman dan kehidupan. Pantas, pesta ulang tahunnya selalu sarat tokoh-tokoh publik, selebriti dan cendekia. Maka dia menjadi semacam cendekia-selebriti namun, jauh dari gemerlap selebriti. Penampilannya unik, biasanya agak kumal, kalau pun berdasi selalu miring, tapi ujung-ujungnya sering membekali publiknya dengan inspirasi. Lewat seminar, kolom-kolomnya, terutama dalam Mingguan TEMPO dan wawancaranya di media asing, dia menyumbang gagasan dan kritiknya. Dia menjadi `guru’ tidak hanya di ruang kuliah. Dengan gayanya itu, Onghokham adalah sejarahwan yang mengabdikan ilmu dan pengetahuannya kepada masyarakat, lebih luas dari pada sekadar bagi diri sendiri dan rekan-rekannya –dan  tidak hanya di ranah kampus. Pendeknya – meminjam istilah masa kini – dia seorang public intellectual.

Di masa itu, saat maraknya isu Perang Vietnam dan naik daunnya New Left di Eropa, Ong mengakui analisis Marxis menarik dan tajam. Rekan-rekan hampir segenerasinya – Ben Anderson, Dan Lev, dan lain lain – banyak tergolong cendekia yang melawan perang Amerika di Asia Tenggara. Tapi Ong, yang mantan wartawan, justru suka baca koran-koran sayap kanan semacam Wall Street Journal dengan alasan yang berbau ‘Marxis’: koran-koran itu informasinya handal, katanya, karena para kapitalis mempertaruhkan modal dengan mengandalkan info media yang kayak gitu.

Ada beberapa hal yang layak dicatat pada cara pandang Onghokham. Wawasannya komparatif (visi perbandingan) dan jeli, karena itu, sering mengejutkan. Sejarah Eropa, kata dia, adalah sejarah yang `lengkap’ (sumber-sumber primairnya lebih dari memadai). Karena itu, dia bertolak dari sejumlah peristiwa besar (a.l. Revolusi Prancis, Revolusi Cina, perjuangan kemerdekaan Indonesia) sebagai rujukan-rujukan pokok.

Salah satu tulisannya yang cantik, “The Inscrutable and the Paranoids” (dalam The Thugs, The Curtain Thief and The Sugar Lord, 2003), menunjuk pada peristiwa sederhana: maling di rumah Residen Madiun, J.J. Donner. Ulah pencurian berantai itu, terutama maling gordijn (tirai kain) yang menyingkap isi rumah sang Bupati, membuat penguasa Belanda merasa dipermalukan di hadapan Bupati Raden Mas Adipati Brotodiningrat, dan, terlebih penting, di mata rakyat. Pasalnya, Belanda mengklaim sistim pemerintahannya adalah taat sesuai adat Jawa dan, dengan begitu, berupaya merebut hati rakyat. Menurut Ong, insiden-insiden (di tingkat mikro) dan sengketa Belanda dan sang Bupati (di latar makro) – “de kwestie Brotodiningrat” itu – mengungkap struktur sosial Jawa di abad ke XIX: posisi Belanda yang mudah rentan, dan posisi penguasa Jawa yang cerdik dan licik memainkan bola kekuasaan. Sebab, para Bupati itulah yang berwibawa dan menguasai kelompok petani kaya.

Di situ, Onghokham menohok satu butir yang penting dan mendasar: yakni bahwa institusi kepemilikan tanah penguasa Jawa – berbeda dengan feodalisme Eropa di tahap belakangan – sebenarnya bersandar pada “his leadership over men rather than on claims over territory” (ibid. hal.7). Asas itu membuat cara cara “feodal” Jawa mengukur `kepemilikan’ tanahnya, menjadi identik dengan cara cara menunjukkan `kuasa’nya, dan, dengan demikian, juga unjuk gengsi. Dengan kata lain, unjuk kehormatan ditampilkan, bukan dengan bilangan hektar, melainkan dengan hitungan (cacah) jumlah keluarga petani (petani kaya: sikep) yang dikuasai, tergantung pada, dan sekaligus mendukung, sang Bupati. Asas penguasaan lahan yang demikian, membuat penguasa Belanda secara politik lemah, rentan, dan, kelak – para pengamat Barat yang bertolak dari purba-sangka feodalisme Eropa – menjadi `bingung’.

Namun Ong mengingatkan, sistim itu hanya mungkin  terjadi, karena kala itu lahan tani di Jawa melimpah ruah, sedangkan tenaga kerja, langka. Kelak, ketika jumlah penduduk Jawa melonjak sehingga tenaga kerja berlimpah dan murah, asas tadi – idiom cacah itu – pudar, kehilangan makna aslinya, lalu di masa kini menjadi sebutan belaka bagi sensus penduduk (cacah jiwa). Dalam kaitan ini, antropolog Amerika Clifford Geertz mengembangkan tesis “involusi” dengan mengatakan bahwa para petani Jawa menanggapi sistim Tanam Paksa Belanda (Cultuurstelsel) dengan lompatan demografis – melahirkan anak sebagai tabungan masa depan (khas masyarakat tani) – sedangkan Ong, lebih sederhana namun cerdik dan jeli, menunjuk pada lahirnya tempe sebagai makanan rakyat pengganti daging, karena rakyat Jawa makin melarat. Menurut Ong, gudeg yang juga asli Jawa, mungkin juga merupakan substitut, pengganti daging yang mahal. Ini pun terjadi akibat sistim Tanam Paksa (1830-1850).

Sistim cacah yang mengungkap sistim kekuasaan ala Jawa tadi, menghasilkan kantong-kantong kekuasaan Jawa yang secara politik-geografis tersebar (dispersive). Disini, untuk masa pra-Tanam Paksa, paradigma sejarawan Michael Adas tentang klientelisme dan fragmentasi kuasa, berlaku kuat. Maka Ong pun menyimpulkan bahwa desa sebenarnya adalah gagasan birokrat-birokrat kolonial Belanda – samasekali bukan gagasan Jawa. Artinya, desa sebagai unit negara, satuan wilayah pajak, itu adalah cara penataan teritorial pedesaan Jawa yang diperlukan untuk memudahkan pemungutan pajak oleh penjajah Belanda. Belakangan, sosiolog Belanda, Jan Breman dari Universitas Erasmus, Rotterdam, mengembangkan ide desa ala Belanda itu – temuan imajinatif Ong tsb – sebagai bagian dari sistim kolonial. Begitu pula apa yang disebut rijsttafel, sajian makanan “Indonesia” yang populer di kalangan Indo-Belanda yang dapat ditemui di restoran restoran Indisch di Belanda kini, ditunjuk Ong sebagai hasil imajinasi Belanda, bukan gagasan asli Indonesia.

Dengan terobosan-terobosan itu, sebenarnya Ong mendorong para pengkaji Indonesia agar melepas diri dari kungkungan subtil dari paradigma para birokrat dan sejarahwan Belanda di masa lalu.

Hanya Aceh, dengan tradisi lembaga negara yang berkurun panjang, dan sistim kepemilikan yang jelas dan tegas sesuai luas lahan, yang mirip feodalisme Eropa. Kesultanan Aceh misalnya tentaranya memakai gajah, artinya memiliki tentara yang reguler, sedangkan Mataram, tentaranya bersifat ekspedisioner, yang dikerahkan kalau melakukan ekspedisi untuk menggertak lawan atau merebut wilayah. Lebih jauh, feodalisme Eropa penting untuk dipahami sebagai landasan bagi kapitalisme moderen, demikian Ong sering mengingatkan. Pada 1970an itu, Ong sulit membayangkan kaum bermental priyayi Jawa bakal menjadi kapitalis, ‘borjuis’ Asia baru. Di situ, Ong meleset, Orde Baru membuktikannya.

Bagi Onghokham, Eropa (Prancis), Cina dan Jawa, baik di dunia kuliner mau pun dalam membangun wawasan kesejarahan, amat memukau. Sejarah ketiga negeri itu diguncang revolusi dan banditisme dalam formasi dan bentuk yang berbeda-beda. Robin Hood di Inggris berbeda dengan Ken Arok dan `titisan-titisan’ nya di Jawa. Gambaran Ong tentang Jawa pra-Tanam Paksa mengesankan sebuah dunia yang `anarkis’ – bukan dalam artian kacau balau, melainkan: tak tertata oleh kraton –  yang memekarkan tokoh-tokoh di dalam dan di luar kelas penguasa, yang perilakunya menonjolkan dan menuntut kehormatan, melalui ciri-ciri dan ulah fysik mereka. Seperti ulah ayam jago diantara sesama ayam.

Gagasan Onghokham tentang fenomena jago, sebagai bagian dari struktur kekuasaan “feodal” di pedesaan Jawa itu, kelak dikembangkan oleh para antropolog sebagai gejala premanisme di perkotaan, selaku bagian dari sektor informal dari sistim politik kapitalisme-semu di negara-negara berkembang. Dalam konteks itu, ketika menulis tentang negara dan kriminalitas, tentang fenomena Petrus (penembak misterius) versus gali-gali di awal 1980an, Ong secara tersirat menyampaikan pesan, bahwa sistim Orde Baru, dengan militerisme dan Golkar, sesungguhnya tidak lain adalah sebuah bentuk banditisme moderen.

Onghokham, sohib dan guru itu, telah pergi. Selamat jalan, Pak Ong!

***

Aboeprijadi Santoso adalah wartawan di Amsterdam (eks Radio Nederland).

Obituari ini digubah sedikit dari artikel yang sebelumnya telah disiarkan dalam rubrik `Ranah Pengetahuan’ , Radio Nederland, 4 Sept. 2007).

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile