Aceh, Bahasa Indonesia, Indonesia

Perang & damai gaya Aceh

Artikel ini semula terbit sebagai kolom di Mingguan Berita TEMPO Edisi. 34/XXXIV/17 – 23 Oktober 2005; juga di  https://groups.yahoo.com/neo/groups/nasional-list/conversations/messages/22153 Teuku Abeuek, Uleebalang...

Written by Aboeprijadi Santoso · 2 min read >

Artikel ini semula terbit sebagai kolom di Mingguan Berita TEMPO Edisi. 34/XXXIV/17 – 23 Oktober 2005; juga di  https://groups.yahoo.com/neo/groups/nasional-list/conversations/messages/22153

Teuku Abeuek, Uleebalang (Ketua Wilayah) di Pameue, Aceh Barat, sudah lama jadi sumber kekesalan penguasa Hindia-Belanda pada 1920-an. Dia dicurigai membantu logistik pemberontak, tapi selalu pintar mengelak tuduhan. ¨Mengapa Teuku membantu orang-orang muslim dengan memberi makan?¨ Sang Teuku menjawab¨Tuan harus mengerti, di Aceh tak seorang pun tamu keluar dari rumah dengan perut lapar. Itu adat Aceh.  Saya wajib menghormati tamu dengan menyuguhkan nasi.¨

Berulang kali interogasi semacam itu terjadi, berulang kali Belanda kena batunya. Menolak alasan si Teuku bisa dikira tak peduli adat. Padahal, pemerintah kolonial tegak justru dengan cara dan legitimasi menjunjung adat.

Pernah Tk. Abeuek menyindir dengan lembut: ¨Tuan musti tahu, di negeri kami, para musafir kami ukur jarak dan lamanya mereka bepergian. Saya tak boleh bertanya apa dia seorang muslimin (pemberontak), apa bukan. Tapi, sebagai seorang beradab, saya wajib 
memberi bekal, bukan?¨ Lagi-lagi, bagi Belanda, yang mengaku mengemban ¨misi peradaban¡¨, ulah si Teuku ini menjengkelkan karena dilematis.

Masalahnya, sudah keadaan damai kok masih bermain¨subversif¨. Sebaliknya, bagi orang Aceh, mereka yang meneken Maklumat Korte Verklaring (Kesepakatan Damai) itu kan orang penguasa saja. Takluk dan taat, bagi kaum muslimin (pemberontak, di mata Belanda) hanya kepada maklumat Allah-, bukan kepada manusia.

Sejak perang panjang 1873, Aceh pada 1920-an mulai mantap. Uleebalang, sebagai pejabat tinggi Belanda- dan tokoh yang disegani masyarakat lokal, tak boleh ditangkap- begitu saja. 
Balans politik kawasan bisa terancam di ujung tanduk. Maka harus dicari akal untuk menghabisi Tk. Abeuek, dan terpilihlah perwira dari satuan elite marrechausse, Letnan Infanteri J.H.J. Brendgen.

Uniknya, Brendgen menyiapkan tugas dengan saksama. Diam-diam dia pergi ke Bandung, belajar ilmu pedang. Kembali ke Aceh, dia mengundang Tk. Abeuek ¨beradu tangkas, menarikan pedang¨. Tk. Abeuek kontan menyanggupi. ¨Syaratnya, yang kalah harus mati,¡¨ usul Brendgen. ¨Setuju!¨ Teuku menyahut, tegas.

Duel pun berlangsung. Letnan Brendgen kagum melihat- Tk. Abeuek mengayun pedang. Lama berlaga, gelang tangan Brendgen lemas. Pedangnya terpelanting. Tubuhnya terkulai, Brendgen mengaku kalah,¨Teuku, bunuhlah aku!¨

Tk. Abeuek menjawab¨Ambil pedangmu!¨Brendgen tetap minta dibunuh, dan si Teuku tetap menolaknya. Akhirnya, Tk. Abeuek mengajak Brendgen makan bersama rakyat. Di tengah kenduri besar, Brendgen bertanya ¨Mengapa Teuku tak  mau membunuhku?¨ Teuku menjawab ¨Karena Tuan tak mau ambil pedang.¨

Walhasil, duel dan kenduri itu berubah menjadi momentum perdamaian terhormat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Brendgen menghormati kesepakatan kematian, dan Tk. Abeuek, selaku kesatria, puas: duel itu tak berakhir dengan membunuh lawan tak berdaya.

Kisah nyata yang tersimpan lama di memori lokal itu kini marak, seperti dituturkan oleh Ramli A. Dally, mantan pegawai Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), yang mendengarnya dari Brendgen sendiri, pada 1970an. Brendgen belakangan dikenal  menghormati dan mencintai Aceh, fasih berbahasa Aceh, bahkan pandai berazan.

Ramli A. Dally (arsip foto penulis)

Kini, di gerbang kuburan De Kerkhof, Banda Aceh, terukir ¨J.H.J. Brendgen. Vriend van Atjeh¨ (sahabat Aceh), walau Brendgen sebenarnya dikubur di Belanda.

Sekarang, kisah duel dan damai tadi dapat menjadi semacam model acuan bagi banyak orang Aceh untuk menafsirkan nota kesepahaman RI dan GAM di Helsinki, sekaligus untuk menguji pelaksanaannya. Moral cerita itu: bahwa suatu pertarungan sengit dapat berakhir secara bermartabat, dapat menjadi panutan khalayak untuk menerima dan mengawasi pelaksanaan MoU Helsinki.

Damai mini tanpa wasit ala Teuku Abeuek dan Brendgen tentu tak sama dengan MoU, namun keduanya menyiratkan bahwa hubungan konflik dapat berakhir ketika perdamaian tercapai secara bermartabat. Duel tadi, seperti setiap perang, merupakan momentum besar yang memacu masyarakat menjadi dalam model sosiologi klasik Durkheim: semacam¨komuniti 
moral¡¨.

Di situ gengsi, moral, dan kepentingan mapan masing-masing pihak bersatu menjadi taruhan telanjang di hadap-an masyarakat. Wajar jika martabat perdamaian ala Tk. Abeuek dan Brendgen menjadi tolok ukur  bagi martabat pelaksanaan perdamaian Helsinki.

Itu pula bedanya duel  Aceh dengan duel klasik Romawi atau duel Once Upon a Time in the West-nya Sergio Lionne, yang demi harga diri para petandingnya semata, tanpa melibatkan, dan tanpa hikmah, bagi masyarakat.

Kebalikan damai mini tadi pernah terjadi pada 1980-an, ketika keluar ancaman di Pidie, ¨Barang siapa memberi rokok kepada GAM akan dibunuh!¨ Tak mengherankan, dengan muatan segudang pelanggaran hak asasi, ungkapan ¨Kemerdekaan tinggal rokok siebak teu¨ (kemerdekaan  tinggal sebatang rokok lagi) belakangan jadi populer di Aceh.

Lelah oleh konflik 29 tahun plus tsunami, sekarang, pada detik-detik damai menuju berakhirnya militarisasi Aceh, Desember 2005, Aceh selaku komuniti politik dan komuniti moral, mendukung perdamaian Helsinki. Itu sebabnya, Aceh pantas bercermin pada Teuku Abeuek dan Letnan Brendgen, meski untuk masa kini perlu diingat adanya ancaman¨milisi¨ maupun ¨GAM liar¨.

Dengan kata lain, kini giliran para protagonis di lapangan dan politisi di Jakarta menjaga martabat diri sendiri, dengan cara ikhlas menjaga komitmen Helsinki.

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile