Bahasa Indonesia, Indonesia, Timor Leste

Srebrenica 1995, Dili 1999: Sons of A Bitch yang Lolos

Geopolitik itu kejam. Ini tercermin dari peristiwa-peristiwa sepanjang pekan ini. Dunia baru saja memperingati tragedi Srebrenica 1995. Dan, Indonesia tengah berupaya mengubur ketidakadilan...

Written by Aboeprijadi Santoso · 3 min read >

Geopolitik itu kejam. Ini tercermin dari peristiwa-peristiwa sepanjang pekan ini. Dunia baru saja memperingati tragedi Srebrenica 1995. Dan, Indonesia tengah berupaya mengubur ketidakadilan dalam kasus kekerasan di Timor Timur 1999. 

Sepuluh tahun lalu, 11 Juli 1995, di tengah perang saudara di Bosnia Hercegovina, tentara Serbia-Bosnia bergerak menuju tiga kawasan yang ditetapkan PBB sebagai`zona-aman’, antara lain, Srebrenica. Pasukan itu dipimpin langsung bosnya, Jendral Radko Mladic. Masyarakat internasional mengantisipasi, cepat atau lambat, gelombang pembersihan etnik Serbia, akan melanda daerah kantong Bosnia-Muslim Srebrenica. Saat itu, pasukan PBB di bawah Prancis baru saja meninggalkan kawasan itu, Inggris masih di sekitar, dan giliran kontingen Belanda bertugas di Srebrenica. Para baret biru PBB itu tugasnya jelas, yakni melindungi penduduk Srebrenica, tapi persenjataannya ringan. Sementara itu, koordinasi antar Sekutu dan Baret Biru juga tak jelas. Perlindungan udara yang sedianya  diberikan, ternyata absen. Bahkan, dua negara, AS dan Inggris, konon, mengetahui rencana invasi tentara Serbia, tapi tak berbuat apa apa, juga tidak memberi tahu Baret Biru Belanda. 

Walhasil, pasukan Belanda tak tahu apa yang mereka harus perbuat, kecuali menuruti kehendak pasukan penyerbu Serbia. Batalyon Belanda, Dutchbat, mungkin tak bisa disalahkan sepenuhnya. Tapi, layakkah mereka begitu pasif dan menonton saja ketika ribuan Muslim Srebrenica diseleksi dan digiring oleh tentaranya Mladic? Semua pria, tua dan muda, kemudian dibawa ke gunung untuk dieksekusi. Pembantaian ini menelan lebih dari 7 ribu jiwa, dari umur 14 sampai 90 tahun. 

Belakangan, kuburan massal mereka diacak, dipindah-pindah, sehingga tak jelas, apakah semua korban dapat ditemukan. Tim forensik yang selama empat tahun menyelidiki sisa-sisa tulang belulang mereka, berhasil mengidentifikasi 610 korban. Pekan ini, para wakil dunia berkumpul di desa Poticari,mengenang musibah Srebrenica, dengan menguburkan kembali secara hormat para korban tsb. Suatu kejadian yang amat memilukan.

Tragedi Srebrenica adalah pembantaian terbesar sejak Perang Dunia Kedua. Dan Balkan adalah gerbang Eropa – Eropa yang tengah berbenah-diri dan berkepentingan membuka pintu Uni Eropa bagi negara-negara bekas sekutu Soviet di Eropa Tengah dan Timur dan Balkan. Kasus Srebrenica langsung menjadi urusan Eropa yang dibantu Amerika Serikat. Tanpa Presiden Clinton, Menlunya, Madeleine Albright, krisis Bosnia tak akan melibatkan masyarakat internasional secara intensif. Dunia Barat harus meng-akui kelalaiannya yang fatal di Srebrenica. Sementara itu mereka melanjutkan upaya stabilisasi Balkan, dan menegakkan keadilan dengan membentuk Tribunal Yugoslavia dan memburu penjahat kemanusiaan Ratko Mladic dan Radovan Karadzic. 

Betapa berbeda dengan Timor Leste pasca referendum Sept. 1999. 

Di Srebrenica, tentara Eropa terlibat atas nama PBB dan Baret Biru bergerak dengan lampu hijau dari Amerika dan Eropa. Tapi, akhirnya, pasukan PBB terjebak karena kelalaian koordinasi Amerika dan Eropa. Di Timor Timur 1999, PBB juga terlibat, bahkan selaku lembaga tersendiri UNAMET, yang bertugas menggelar referendum. Tetapi ketika referendum itu menghasilkan kemerdekaan bagi Timor Leste, pasukan TNI menggerakkan milisi, meluluhlantakkan ibukota Dili, dan memburu para pendukung pro-kemerdekaan. UNAMET disandera di saat TNI dan milisi mengganas. 1400 jiwa melayang, seperempat juta mengungsi dan seperempat juta lagi dideportasi. Semua itu terjadi hanya dalam sepuluh hari. 

Jadi, di kedua daerah konflik itu, Srebrenica dan Timor Leste, PBB tak berkutik ketika tentara setempat, pasukan Serbia dan TNI, berjaya. Tapi untuk kasus Balkan, ada adidaya regional dan Amerika yang berperan kunci sebagai pemain politik global. Sejak mula, Menlu Madeleine Albright, perempuan Ceko yang pernah merasakan derita mengungsi di bawah Nazi, tergugah oleh tragedi pembersihan etnik di Balkan. Albright-lah yang menggolkan 
tribunal Yugoslaia, dan Clinton-lah menggolkan Konperensi Perdamaian Bosnia di Dayton, 1995. 

Lain ceritanya di Timor Leste. Baru pada saat-saat terakhir, pada kesempatan KTT APEC di Selandia Baru, Sept. 1999, Clinton mendesak Habibie agar tentara Australia masuk Timor Leste atas nama PBB, untuk menyelamatkan penduduk mau pun UNAMET. 

Hanya satu ihwal yang sama antara isu Timor Timur dan Balkan: “nasionalisme” yang salah kaprah (bukan ‘patriotisme’) di Indonesia dan di Balkan sama kentalnya. Ini membuat isu isu itu sepi di kandang sendiri – bahkan, dengan segelintir kekecualian, juga sepi di kalangan sayap kiri di Eropa. Semua itu membuat kedua isu tsb justru ramai di kancah internasional.

Geopolitik memang kejam. Balkan yang dekat dan terkait kepentingan Eropa, membuat derita dan prospek keadilan di Balkan amat berbeda dengan kasus serupa di Timor Leste. 

Di Timor Leste, Indonesia yang dipercaya oleh PBB dan Portugal (Persetujuan New York, 5 Mei 1999) untuk mengatur keamanan seputar referendum, malah aktif menggulirkan pertumpahan darah. Kemudian pengadilan ad-hoc HAM Jakarta membebaskan para jendral dan perwiranya yang terlibat. Sekarang, Jakarta mencoba mengelak saran-saran Komisi 
Pakar PBB agar mengulangi pengadilan HAM kasus kekerasan Timor Timur 1999. Tak ada unsur civil society di Indonesia, apalagi di Timor Leste, yang mendukung rekayasa Jakarta yang menggandeng Dili ini. 

Hanya Adnan Buyung Nasution – sohib di Belanda yang sekarang ditelan oleh “nasionalisme”nya sendiri – yang menentang saran Komisi PBB tsb karena menganggapnya “intervensi asing” – seolah-olah invasi TNI di Tim-Tim 7 Des. 1975 bukan “intervensi”. Aduh biyong, Bang Adnan Buyong!

Berbeda dengan kasus Srebrenica, kini tak ada adidaya Amerika mau pun Eropa yang tergerak untuk mendorong perlunya tribunal Timor Leste dan memburu Mladic dan Karadzic-nya Indonesia. 

Seorang presiden Amerika pernah mengakui bahwa adidaya Amerika bersekutu dengan para jendral Amerika Latin yang ulahnya, audzubillah, sarat kejahatan HAM. Memang, ujar presiden itu, “they are indeed sons of a bitch (anak-anak jahanam), but they are OUR sons 
of a bitch!”.

Demi keadilan dan nama baik Indonesia, akankah penguasa Indonesia bersedia mengadili kembali, atau menyerahkan “sons of a bitch” yang  ada di Jakarta, kepada suatu pengadilan internasional?

Digubah dari kolom Aboeprijadi Santoso, Radio Nederland, 13 Juli 2005
https://groups.yahoo.com/neo/groups/nasional-list/conversations/messages/16790

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile