1965, Bahasa Indonesia, Indonesia

“Teater yang menghanyutkan .. ”

Tulisan ini digubah dari catatan yang semula terbit di Facebook, Friends of People’s Tribunal 1965, https://www.facebook.com/groups/225178074340988/posts/1906784416180337/ Mengapa perempuan, mengapa masalah penyintas perempuan?...

Written by Aboeprijadi Santoso · 1 min read >

Tulisan ini digubah dari catatan yang semula terbit di Facebook, Friends of People’s Tribunal 1965, https://www.facebook.com/groups/225178074340988/posts/1906784416180337/

Mengapa perempuan, mengapa masalah penyintas perempuan? Dalam diskusi Watch65 yang dipandu oleh Yanti Mualim dan Taufiq Hanafi di Diemen, Amsterdam (18 Sept.), Magdalena Sitorus menunjuk, perempuan adalah rantai yang paling rentan. Perempuan paling cepat dikorbankan, harus cepat dikawinkan, dan seterusnya. Ini gejala global, ujar mantan aktivis anggota Komnas Perempuan ini, “sehingga perlu convention (Konvensi PBB) tersendiri” yang kini belum lengkap. Membicarakan pengalamannya menemui dan mewawancarai sejumlah penyintas perempuan menyusul ‘Peristiwa 1965’, dia mengungkap, “sering saya menulis sampai menangis”. Berbagai contoh dikemukakannya: “Ini teater yang menghanyutkan”.

Penyintas itu tidak mudah ditanya. Berbicara mengenai Genosida 1965-66, bagi mereka, adalah “membongkar luka-luka lama”. Sikonnya bisa saja kapan saja, di masa pemilu yang lalu, misalnya, tapi bagi mereka ini, ini selalu dapat membawa risiko ditangkap (kembali). “Ngenes (mengenaskan),” tambahnya, “harus berbahagia saya, kalau telah dipercaya. Kepercayaan itu adalah tangga yang selektif”. Namun bagi penulis ini, (pengalaman) ini adalah suatu partisipasi bagi suatu movement (pergerakan)”. Juga bagi peyintas perempuan yang diajaknya berbicara. “Saya libatkan mereka, sejak wawancara hingga dummy (bahan siap-cetak) (dibawa) ke penerbit”.

Tak berarti semua mudah dipahami. Ada dimana sebenarnya penyintas perempuan ini? Mengutip peribahasa Batak, Magdalena menunjuk “Kalau ada tujuh batu bertindih, ada dimana mereka, yang paling beratkah? Yang paling bawahkah?” Jadi, demikian simpulnya dengan rendah hati, “ada hal-hal yang belum tentu saya pahami, entah di lapis berapa. Di situ, saya belajar (dan) ini menjadi kekayaan yang saya peroleh”.

  • Magdalena Sitorus, Onak & Tari di Bukit Duri – Catatan Harian Utati (2020)
  • Magdalena Sitorus, Taburan Kebaikan Di Antara Kejahatan – Catatan Harian Uchikowati (2021)
  • Magdalena Sitorus, Jiwa-Jiwa Bermartabat – Catatan Harian Sri Muhayati (2022)

Magdalena Sitorus, yang kini menyiapkan bukunya yang keempat, menekankan memang nasib mereka berbeda-beda. “Yang satu kurang dari yang lain, tapi tak perlu dibandingkan”. Baginya, ini “satu proses belajar memahami”. Di situ, “tanpa disadari (kita) belajar mendalami eksistensi perempuan (telah) dihilangkan. Misalnya, orang dengan mudah bertanya, mana suami saya, si Sitorus, padahal, itu nama saya!”. Jadi bias (purbasangka) ini, tegasnya, “sudah diinternalisasi”.

Jadi siapa yang dituju? Bagi para penyintas, kita sudah “fed up (kesal sekali). Kepada generasi muda, it’s now your turn (kini, giliran kalian) – selagi negara selalu terlambat.” Menurut Magdalena, berbicara soal enampuluhlima (1965), bukan hanya September, tapi ‘65’ harus hidup terus!” Dengan tekanan ini, dia menunjuk inilah yang harus menjadi gerakan. Suatu gerakan terus meneruis ketika negara selalu kedodoran. “Kata ‘PKI’ menjadi momok – ini konstruksi sosial, ini seharusnya dipelajari.” Bagaimana dengan pendidikan ketika negara lalai menyelesaikan masalah hak-hak asasi manusia.

BBC Indonesia

Bukankah dari state (negara), semua ini bermula, tapi, simpul Magdalena, “state malah merawatnya”. Negara dan apparat-aparatnya-lah yang merawat stigma-stigma sebagai sarana propaganda itu.

Referenties

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile