Papua

Samkakai, Alias Geger Papua

Facebook | Tue, October 18 2016

Written by Aboeprijadi Santoso · 4 min read >
Photo: Dominic Hartnett via Flickr

Pengantar

Presiden Jokowi ke Papua lagi. Entah untuk keberapa kalinya. Menjelang keberangkatannya, media Jakarta mengangkat Road Map Jilid Dua. Jokowi datang dengan proyek infra struktur, dan Road Map Jilid Dua mengusulkan membuka pintu dialog. Kita tahu Papua sudah mengalami sekian jilid kegagalan solusi mutakhir Jakarta – mulai dari proyek perkebunan raksasa MIFFEE, Otsus yang gagal, hingga penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran HAM yang selalu kandas. Sepanjang kepresidenan SBY, Mayjen Bambang Dharmono, mantan komandan perang melawan GAM di Aceh, ditugasi untuk mengatasi Papua. Solusinya: pembangunan tanpa dialog, karena dia mengakui secara terbuka “kalau referendum di Papua, pasti pro-kemerdekaan menang”. Jakarta tidak pernah berpikir diluar bingkai doktrin negara ‘NKRI Harga Mati’. Ini mengingatkan saya pada kasus Samkakai. Meski hanya menyangkut nasib sebuah keluarga Papua, tapi sempat bikin geger Indonesia dan Australia – hanya karena Jakarta berangkat dari doktrin tadi. Berikut daur ulang tulisan saya 10 tahun silam – kolom mingguan semasa bekerja untuk Radio Nederland. Disini diturunkan lagi seutuh mungkin.

Samkakai, Alias Geger Papua * Kolom Ahad Radio Nederland 4 Juli 2006 * Sumber: http://www.ranesi.nl/…/samkakai_geger_papua060407

Nasionalisme, bukan patriotisme, per definisi irasional, meski dia pernah berjasa besar bagi kemerdekaan. Kini, nasionalisme Indonesia sudah buta. Dia berubah jadi nasionalisme hitam. Kasus suaka Papua adalah contoh terbaru korban nasionalisme hitam ini.

“Samkakai tak betah lagi di sini,” ujar pastor di Merauke yang mengenal baik pengungsi terbaru Papua itu. Kata kunci di sini adalah `tak betah’. Tak betah berarti tak suka. Tak suka karena harus meninggalkan kampung halaman sendiri dan mencari perlindungan di negeri orang. Wajar. Bukankah, kampung halaman (home, heimat) itu sebuah konsep dasar manusia sejak peradaban pengembara dan pemburu beralih menjadi agraris. Walhasil, suaka adalah opsi keterpaksaan. Opsi yang bukan opsi, alias semu. Dan ’betah’ atau ‘tak betah’ bukan konsep personal, melainkan bagian hakiki dalam kehidupan keseharian bersama, yang seharusnya dilindungi oleh negara. Persis, itulah inti soal fenomena suaka kaum Papua belakangan ini.

Pekan yang baru silam, pastor di Merauke tadi menjelaskan kepada Radio Nederland mengapa keluarga Samkakai akhirnya memilih hengkang. Paulus Samkakai adalah aktivis buruh yang sering bertikai dengan penguasa lokal di Merauke. Dia seringkali menggugat penguasa lalu dikejar intel, dan akhirnya memutuskan berlayar ke Papua Nugini, dan menyeberang selama dua jam ke Pulau Deliverance, wilayah Australia. Dia membawa lima anggota keluarganya, termasuk seorang bayi. Nekad? Mungkin. Tapi Samkakai punya alasan yang sah. UUD 1945 yang diamandemen pada 1999 (Pasal 28G) maupun Undang Undang Hak-hak Asasi Manusia 1999 (Pasal 28) menjamin hak warga Indonesia untuk hengkang dan mencari suaka. Indonesia juga penandatangan Konvensi Jenewa (1951, Pasal 1A-2) yang menjamin hak yang sama. Dan, pada akhirnya, bukankah negara memang seharusnya menjamin hak-hak dan memberi perlindungan kepada warganya? Jadi, bila negara tak mampu melakukan itu, maka pantaslah bahwa negara harus menjamin dan menghormati pula hak warga untuk hengkang, mencari suaka demi keamanan dan kepastian.

Sejak Revolusi Prancis, sejak penguasa Belanda yang Napoleonis, Herman W. Daendels, membawa konsepnya ke Jawa, lantas, sejak kita merdeka, kita mengenal azas bahwa negara itu ada, karena (negara) harus melindungi warganya. Keamanan warga adalah raison d’être dari negara. Negara ada, pertama, demi keamanan warga bangsa; kedua, demi kesejahteraan mereka. Dan sejak amandemen konstitusi 1999, Indonesia, dalam hal ini, konsekuen. Tapi, anehnya, ketika sebanyak 42 warga Papua, seperti Samkakai, merasa tak aman, lalu mengungsi ke Australia, dan memperoleh suaka-sementara di sana, kasus itu menyulut emosi kebangsaan publik. Canberra diprotes, Dubes RI ditarik, Jakarta geger. Lantas koran-koran secara bombastis berteriak dengan karikatur yang banal, yang dibalas koran negeri Kangguru secara banal pula. Bahkan sejumlah anggota DPR menuntut agar Dubes Australia diusir. Lantas, tetangga selatan ini dianggap ber”akal bulus” ingin mencaplok Papua. Ada “trauma” tentang sikap Australia terhadap soal Tim-Tim.

Aneh, padahal Tim-Tim tak pernah jadi bagian dari formasi sejarah bangsa Indonesia, melainkan produk invasi Orde Baru. Padahal, Canberra selalu setia pada Jakarta dengan mengakui “integrasi” propinsi Tim-Tim itu. Padahal, seperti seluruh dunia, Australia baru mengakui kemerdekaan Timor Leste setelah kemenangan kubu pro-kemerdekaan dalam referendum Agustus 1999. Lagi pula, bukankah Samkakai dan 41 rekannya pencari suaka itu hanya mendayagunakan hak mereka? Apa bedanya dengan badan hukum Australia – bagian dari civil society, bukan bagian dari pemerintah Canberra – yang memutuskan memberi suaka-sementara kepada mereka? Mengapa sebelum Canberra menyikapi secara resmi, Jakarta sudah marah dan geger?

Lebih mendasar lagi, mengapa segelintir kasus suaka Papua menimbulkan heboh besar, seperti kasus suaka Tim-Tim, para pelompat pagar di kedutaan-kedutaan pada 1990an itu? Sedangkan kasus-kasus hengkang dan suaka yang lain – ratusan kaum Ahmadyah yang siap hengkang, 20-an ribu warga Aceh di Malaysia sejak 1980an (ini terbesar, lho, dalam sejarah suaka Indonesia), ratusan warga Tionghoa menyusul kerusuhan Mei 1998, dan ratusan yang “terhalang pulang” sejak Tragedi 1965 – mengapa semua itu tak pernah memicu dan memacu heboh serupa? Jawabnya jelas: berbeda dengan Papua, isu-isu tsb terakhir itu dianggap tidak mengancam NKRI, Negara Kesatuan gaya Orde Baru. Jadi, sebenarnya Jakarta mengakui bahwa hengkang, pengungsian dan pencarian suaka adalah suatu bentuk protes dan pembelotan. Dan Papua dianggap sebagai potensi ancaman terbesar, seperti Tim-Tim (1975-90an) dan Aceh (GAM, Gerakan Aceh Merdeka, di Aceh dan di Swedia, tapi bukan yang di Malaysia) di masa lalu.

Tapi, lebih penting sebenarnya adalah jika mengakui bahwa setiap pembelotan adalah pertanda cacat pada nation-state. Ada cacat dalam menjaga kebangsaan (nationhood). Apa pun yang terjadi di Papua, buruk atau baik, adalah buatan Indonesia. “Tuan-tuan terhormat di Jakarta khilaf tentang Papua,” ujar pengamat Papua Benny Giay. Tapi kita lebih suka mencari kambing hitam di luar kandang. Ingat heboh Ambalat dengan Malaysia. Nasionalisme, bukan patriotisme, per definisi memang irasional, meski dia pernah berjasa besar bagi kemerdekaan. Kini, nasionalisme sudah buta, berubah jadi nasionalisme hitam. Jenderal Ryamirzad Ryacudu pernah terang-terangan mensyukuri pembunuhan pemimpin Papua Theys Hilo Eluay; dan puluhan tahun Jakarta tak peduli akan ingkar janji dan represi terhadap Aceh.

Kita tahu, setiap genosida dan represi berekor gejala hengkang. Para korbannya menjadi – kata orang Jerman – kaum heimatvertriebenen, yaitu mereka yang terhempas dari kampung halaman. Tapi Orde Baru mengajarkan bahwa tolok ukur martabat bangsa bukan kemanusiaan, melainkan kesetiaan pada`kesatuan’ NKRI. Idiom ‘persatoean’ yang kita kenal dari sejarah perjuangan kemerdekaan di tahun 1940an, sudah ‘dimiliterisir’. Konsep kesatuan teritorial telah menggusur konsep nasionalisme ala persatoean. Akibatnya, kita kini melihat nasionalisme hitam yang sejatinya amat peduli heimat (kampung halaman) menjadi tak peduli heimatvertriebenen demi menjaga kesatuan teritorial negara. Bukan demi persatoean bangsa. Nasionalism semacam ini tak peduli pada ketidakbetahan orang Papua yang resah dan bergolak di negeri sendiri.

Untung, masih ada mereka yang mengingatkan kita pada nasionalisme yang berwajah dan berkarakter lain: nasionalisme para pendiri negara persatoean RI yang dalam idealisme Soekarno tak lain adalah nasionalisme yang bagaikan bunga-bunga di taman internasionalisme yang berkemanusiaan. Cokorda Sawitri, juru bicara kesepakatan Bali menentang Undang Undang Anti Pornografi, misalnya, baru-baru ini berseru mengajak “Mari membangun format kebangsaan. Janganlah manusia memakan kemanusiaannya”. Susbstansi semacam inilah – dan bukan slogan-slogan “NKRI Harga Mati” – yang layak jadi kunci bagi bangsa. Kasus suaka Papua adalah contoh terbaru korban nasionalisme hitam NKRI itu.

Selamat hengkang Pak Samkakai!

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *