Misc

‘Fitna’ dan Kaum Migran

Tempo | Column | Mon, April 07 2008

Written by Aboeprijadi Santoso · 4 min read >

Geert Wilders, politikus Belanda yang menciptakan film Fitna, belum tenar ketika seluruhBelanda pada awal November 2004 bergetar, terkejut dan marah mendengar Theo vanGogh, sutradara film anti-Islam Submission, terkapar di jalan, dibunuh seorang ekstremismuslim. Wilders, Van Gogh, dan Ayaan Hirsi Ali, perempuan Somalia yang merancangSubmission, datang dari dunia yang berbeda, tapi menemukan musuh bersama: “Islam”.

Ketiganya “mentas” dari miliu liberal yang semu: Wilders, politikus dari Limburg, Belanda Selatan, yang religius dan konservatif, menyempal dari partai besar (VVD) yang lebih berideologi kemapanan ketimbang liberal; Van Gogh, seniman Amsterdam yang suka menyerang (kelompok) agama mana pun; dan Hirsi Ali, cendekiawan yang dibesarkan di bawah represi patriakhat di Afrika dan Arab Saudi, yang berputar haluan setiba di Jerman. Ketiganya meresahkan masa depan Eropa, khususnya masalah migran dari dunia Arab dan Maghrib (Afrika Utara). Hirsi Ali datang (2001) menyandang misi membebaskan perempuan muslim, tapi gagal menjangkau konstituennya, lalu hengkang (2007). Walhasil, Wilders, dengan partai guremnya (PVV), kini memimpin kubu Islamofobia ini.

Mereka menjadi sebagian eksponen zaman yang tengah berubah, dan dipacu agar berubah lebih cepat, di tengah pergeseran demografis dan pertarungan horizontal yang menggusur pergulatan vertikal dan Perang Dingin sejak runtuhnya Tembok Berlin pada 1989. Sebaliknya, musuh mereka-“Islam”, setidaknya yang ada di Eropa-dipersonifikasi oleh kelompok-kelompok migran yang berada di tengah pancaroba. Kedua kubu saling menegaskan purbasangka yang mereka ciptakan sendiri: Wilders dan wacana Barat memandang Islam dan peradaban Arab identik, sedangkan sebagian kaum migran menistakan “Barat” (“kafir”).

Dipacu hebat oleh peristiwa 11 September, kedua wacana itu menggoyang bandul zaman. Dan Eropa, wilayah politik dan umat yang harus ditata bersama, menjadi ajangnya. Sulit menyebut gejala ini “benturan peradaban” karena kubu-kubu semacam itu, menurut Edward Said, tak pernah diwakili sejumlah negara atau kekuatan politik yang menyatukan kepentingan. Oliver Roy, yang menulis Globalized Islam (2004) sebelum kasus Van Gogh terjadi, melihat benturan itu sebagai produk akulturasi yang gagal. Bukankah Muhammad Bouyeri yang menggorok leher Van Gogh itu putra migran muslim generasi pertama asal Maroko, yang suka McDonald tapi asing terhadap negeri asal, terhadap Islam yang dianut orang tuanya, tak peduli aturan lokal, dan di atas segalanya, terobsesi pencarian spiritual(?).

Pada 1990-an, dia dan rekan-rekannya resah pada situasi Irak, marah soal Timur Tengah, risau terhadap dunia Islam, dan merasa terpojok di Eropa. Dalam puisinya In bloed gedoopt (Dipermandikan dengan darah), Bouyeri menyatakan kemasygulan itu dengan mensyukuri perbuatannya seraya mengutuk korbannya. Pesannya berbunyi: Hij geeft jij de tuin in plaats van het aardse puin (Allah telah memberimu sebuah taman, bukan sampah bumi). Si pembunuh agaknya hendak mengatakan “mengapa kau jadikan taman ini sampah!”.

Harapan akan masa depan (“taman” Ilahi) sekaligus penyesalan terhadap jagat yang porak-poranda ini menjejali pikiran bukan hanya Bouyeri, melainkan banyak migran di Eropa. Namun geger kartun Denmark (2005) meruntuhkan gambaran ini. Geger itu menunjukkan bahwa demonstran-cum-migran yang merasa terhina dan marah itu kebanyakan warga awam yang telah berjati-diri ganda: merasa diri Belanda sekaligus Maroko, Jerman sekaligus Turki, Prancis sekaligus Aljazair, dan seterusnya.

Pola integrasi, pembauran, serta potensi konflik dan dialog yang terkandung itulah yang jadi masalah. Bermigrasi, bagi warga asal Arab dan Afrika Utara, bukan sekadar beralih tempat bermukim, melainkan memindahkan dan menghidupkan peradaban, termasuk amanat dan nilai-nilai religiusnya, di kancah yang baru.

Sebaliknya Belanda tak memiliki konsep “kampung halaman” sekuat bangsa lain. Tak ada padanan home, heimat (Jerman) pada bangsa yang “mencuri” rahasia navigasi maritim dari Portugis ini, yang kemudian bertualang sampai Nusantara menjadi bangsa yang suka menggurui, berniaga, dan pelit-het land van de dominees en de kruideniers (negeri pendeta dan pedagang). Sejak abad ke-17, mereka menerima pelarian Hugenot, pengungsi Yahudi, migran Cina. Tak banyak, memang, benih-benih rasisme dan anti-Islam, meski Belanda/Eropa pernah traumatik di bawah kekuasaan Ottoman yang muslim, dan di negeri-negeri jajahannya, rasisme pernah dominan.

Namun, menampung bangsa lain itu satu hal, tapi mewadahi sejuta migran yang memboyong seluruh peradaban dari kampung halaman, itu soal lain. Tak mengherankan bila isu migran asing (dalam eufemisme Belanda disebut isu autochtonen-allochtonen) sering melebar ke ranah kehidupan lain.

Di Amerika, para pendatang muslim datang dari perkotaan di negeri asal, dan banyak yang menjadi mapan. Kebalikannya, kaum migran dari pedalaman Mediterania, Arab, dan Afrika Utara yang sejak 1970-an menjadi gastarbeiders (pekerja tamu) di Eropa, hidup di perumahan yang tak selalu kumuh, namun dalam kantong-kantong tersendiri. Sekolah tak dipilah-pilah, namun berkembang “alami”. Dalam multikulturalisme Belanda, hal “alami” itu menjadi dubius, bahkan palsu, ketika orang tua melihat anak mereka tak maju seperti anak didik di sekolah-sekolah yang dipadati anak-anak lokal. Maka berkembanglah segregasi tak resmi namun nyata, dengan “sekolah putih” (witte scholen) yang berisi anak-anak orang lokal, dan “sekolah hitam” (zwarte scholen) yang isinya anak-anak migran. Tentu, berkembang pula masjid, termasuk yang terbesar di Eropa seperti di Zaandam dan di Amsterdam Barat.

Pada saat bersamaan, Belanda adalah korban berat pendudukan Nazi-Jerman dan pembantaian Yahudi. Dampaknya yang mendalam mewariskan nilai-nilai anti-rasisme, pluralisme, dan toleransi yang seusai Perang Dunia II dijaga dan dikembangkan melalui media massa, pendidikan, museum, dan kampanye politik. Semua yang berbau nilai-nilai yang mengakibatkan derita di bawah fasisme, disapu bersih. Hal itu berarti tuan rumah pun harus menerima kaum migran muslim dengan legowo. Namun ketegangan dan insiden silih berganti memunculkan pertanyaan yang semakin panas: sampai kapan? Sampai suatu ketika seorang profesor Marxis yang kebetulan gay dihina sebagai “babi” oleh seorang imam asal Maroko.

Dengan kata lain, sampai manakah batas toleransi dalam multikulturalisme? Adalah Pim Fortuyn, si profesor tadi, yang berbalik jadi ekstrem kanan dan mengecam pola pembauran salah kaprah itu. Politikus yang anti-migran asing ini kontan populer. Pada 2002 dia dibunuh. Kini, pola pembauran Belanda dinilai salah, multikulturalisme dianggap gagal dan kesantunan politik (political correctness) harus didefinisikan kembali. Tapi “revolusi Fortuyn” membuahkan satu semboyan kunci: “Tak ada toleransi terhadap intoleransi”. Dengan begitu, Pim Fortuyn membuka jalan bagi Van Gogh, Hirsi Ali, dan Wilders.

Multikulturalisme ala Belanda menciptakan kotak-kotak lokal dan migran yang “hidup berdampingan tapi tak bersama-sama”. Paul Scheffer dalam bukunya Het Land van Aankomst (Negeri Tuan Rumah, 2007) menulis, kehadiran kaum migran muslim dengan isu-isu tua-soal penghujatan (blasphemy), isu perempuan, dan lain-lain-merintangi berkembangnya open society. Dia menunjuk perlunya membangun suatu modus vivendi yang menuntut kaum migran tunduk pada konstitusi sekuler dan mengharuskan tuan rumah menjamin hak-hak dan lapangan hidup yang layak untuk menghindari malapetaka di masa depan.

Jurang lokal-migran makin intens sejak pembunuhan Van Gogh dan dapat dipastikan juga berkat Fitna-nya Wilders kelak. Pembunuhan Van Gogh bagi Belanda bermakna seperti “0911” bagi Amerika, serta bom Madrid 2004 dan bom London 2005 bagi Eropa. Mereka yang paranoia terhadap prospek “Islam”, seperti Wilders, merasa perlu menanggapinya dengan tampilan yang frontal, provokatif, guna membuktikan praduga mereka-self-fulfilling prophecy-bahwa Islam dan kaum muslim tak kebal kritik. Kartun Nabi yang direkayasa dari Kopenhagen dan Kairo adalah satu kasusnya. Dan Fitna Wilders adalah contoh terbaru.

Akibatnya, ketakutan terhadap (kemungkinan) amarah massa (fear of fear) dirasakan sebagai pembatasan hak dan kebebasan yang asasi, dan pada gilirannya menjadi dalih untuk mengaburkan batas antara hak berekspresi dan hak menghujat. Sebuah putaran setan terjadi karena-berbeda dengan menghujat pribadi, etnik, dan ras-menghujat opini, doktrin, dan agama tidaklah terlarang. Dalam batasan undang-undang Belanda itu, Wilders memperlakukan “Islam” kaum migran di Eropa sebagai sisi membahayakan dari globalisasi, karena meyakini peradaban Barat tengah terancam “tsunami Islam”.

Wilders tak salah sejauh dia mampu menggugah komunitas migran yang kaku, keras, berorientasi ke dalam, dan menolak tatanan hukum yang demokratis itu. Pasalnya, konstitusi negaralah yang berdaulat di negeri tuan rumah. Mungkin juga, dia berharap dapat memicu pembaruan imam dan iman. Celakanya, semua itu jadi mustahil ketika dia meniru kaum fundamentalis dengan merujuk ayat-ayat suci secara tekstual tanpa memahaminya secara kontekstual dan historis. Singkatnya, kebablasan.

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *