Misc

Pitojo & ‘Komunis’ Dulu & Kini

Facebook |Tue, May 10 2016

Written by Aboeprijadi Santoso · 3 min read >

Ada yang bertanya di Facebook: ‘Mana lebih berbahaya: FPI atau PKI?’ Jawabnya, sebut saja secara dubius ala Jawa: ‘Sing ana, ora ana, sing ora ana, ana’. (Yang ada itu tak ada, yang tak ada, itu ada). Kenyataannya, keduanya tidak ada secara hukum. FPI ada, tapi tanpa basis hukum. Dia ada cuma di markasnya di Jalan Jati Petamburan, Jakarta, dan di jalanan dimana-mana. Dia bentukan Jen. Wiranto dan beberapa jenderal polisi, kata Gus Dur. Jadi dia ada sebagai pasukan liar yang menjadi proxy individu-individu atau kelompok dalam aparat negara. Dia cuma sosok doang.

PKI juga ada, tapi tak ada. Dia tak ada diatas hukum kini. Dia tak ada di jalanan. Tapi dia ada lambang-lambangnya, ada sebagai tuduhan, dan ada sebagai mitos. Jadi, dia cuma ada sebagai alat dan isu politik belaka. Dia bukan sosok nyata. Tapi, sebagai instrumen politik bagi mereka – penguasa atau pun warga – yang berkepentingan memanfaatkan lambang, isu dan mitos tersebut demi kepentingan mereka.

Perang Dingin sudah berlalu sejak 1990an, sekitar dua dasawarsa silam. Bahkan dalam geo-politik dunia dan kapitalisme global, komunis telah bermetamorfosa besar-besaran. Dia hanya ada sebagai kekuatan kapitalis (kecuali, mungkin, di Korea Utara) selaku partai kuasa: di China (yang kini sarat orang kaya dan industri yang merusak ekologinya), Kuba (yang baru disapa kembali, tanpa Mea Culpa, oleh Paman Sam, sementara sukses dalam mengatur kesehatan rakyat), bahkan di Rusia bukan sebagai partai tunggal (tapi mirip China menjadi sarang baru kapital).

Soal PKI atau pun ‘komunis’ di masa lalu dan di masa kini mengingatkan saya pada seorang tokoh: Piet van Staveren. November yang lalu saya menemui Piet di Assen, Belanda sebelah timur. Bapak sepuh (90 thn) ini pernah menjadi kader komunis muda di Den Haag, Belanda. Kala itu, tahun 1940an, dia sudah bersimpati dengan gerakan kemerdekaan Indonesia. Ketika pemerintah Belanda mengirim tentara ke Indonesia, pada agresi pertama 1947, dalihnya adalah membantu menenteramkan keadaan yang kacau balau di Indonesia. Demi ‘Rust en Orde’ (Kamtibnas) – doktrin suci dan dasyhat rezim penjajah yang kelak dijiplak oleh Orde Baru. Dalih misi damai itu menggoda Piet dan, saking semangatnya, Piet mendaftar. Setiba di Jawa Barat, disadarinya ternyata Belanda menyiapkan perang agresi. Piet merasa ditipu dan marah besar. Dia mendekati tiga tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia a.l. Ernest Douwes Dekker aka Dr. Setiabudhi. Dengan berbekal secarik surat berisi tandatangan tanda kepercayaan dari tiga tokoh Indonesia, suatu malam dia nekad mengambil jalan berbahaya. Dia menyelinap melintasi batas kamp tentara Belanda, memasuki wilayah Republik, sambil berseru: ‘Merdeka!, Merdeka!’ Kontan dia ditangkap dan digeledah oleh laskar Republik. Piet menyeberang ke pihak R.I. Belakangan dia diterima menjadi bagian dari laskar Republik.

Piet van Staveren kemudian dikenal sebagai ‘Pitojo’. Sebuah nama yang dia banggakan karena dia memaknai kata tersebut sebagai (orang yang) ‘dipercaya’. Pitojo bergerak di kalangan pergerakan kemerdekaan yang sebagian adalah teman-temannya dulu di Belanda. Suatu hari dia menjadi saksi kedatangan seorang kurir bersepeda motor yang membawa sepucuk surat yang diserahkan kepada seorang tokoh pergerakan. Sayang sekali, dia lupa siapa tokoh yang menerima surat kurir itu, siapa kurir tersebut, dan apa isi suratnya. Yang terang, sejak itu pecah huru hara dan baku tempur antara tentara Siliwangi dan laskar-laskar rakyat yang kemudian dikenal sebagai ‘Peristiwa Madiun 1948’. Piet mengakui, sejak itu terjadi pembunuhan di kedua pihak, tetapi dia, bersama teman-temannya kala itu, yakin benar bahwa peristiwa tersebut adalah dampak dari suatu provokasi yang bermula dari surat ‘misterius’ yang dibawa kurir tadi. Suatu hari Piet ikut mengantar misi PBB di Yogya (barangkali dengan rombongan George McTurnan Kahin kala itu?). Celakanya, dia ditahan tentara Belanda lalu dipulangkan ke Belanda dan ditahan sebagai seorang desertir. Dia menjadi selebritas gerakan kiri Belanda. The rest is history.

Kembali ke FPI, PKI dan geopolitik kapitalisme global masa kini. Menjelang saya pamit, Piet menyatakan dia tidak mengenali Indonesia lagi. Indonesia kini bukan Indonesia di masa dia ikut bergolak pada 1940an. Indonesia sudah amat berubah. ‘Bagi saya Indonesia kini negeri asing,’ katanya. Yang menarik, dia tambahkan, apalagi China. ‘Saya tidak mengerti, bagaimana negara yang mengaku komunis itu kok banyak milyarder?’ Dengan kata lain, Piet alias Pitojo – orang awam, bukan sejarawan, bukan akademikus tapi terkesan cerdas – adalah bagian sejati dari zamannya, namun dia menatap realitas masa kini dengan tatapan jujur, menatap dengan jernih, mengakui faktualitas empiris. Mantan pemuda komunis dari Den Haag tujuh dekade yang lalu ini mengesankan kesadarannya yang mendalam, mungkin juga sebagian penyesalannya, bahwa ideologi adalah bagian dari pergerakan, tapi juga bisa menjelma menjadi bagian dari kepentingan kuasa dan kepentingan material masa kini. Dia insyaf bahwa ideologi yang menjadi bagian dirinya dan menyemangati dirinya itu adalah bagian dari suatu perjuangan sosial, namun kini telah menjadi bagian dari suatu kepentingan negara atau kelas kelas sosial yang kuasa. Piet, meski sudah jompo, lebih cerdas ketimbang banyak cendekia yang masih berfantasi melihat sosok yang sudah tiada sebagai ada, ketika sosok itu sudah berubah jadi alat kekuasaan.

Sejak 1947-48 itu, Piet tak pernah lagi ke Indonesia. Dan dalam usianya kini, dia tak akan ke Indonesia lagi, imbuhnya. Dalam hati saya berpikir, kalau dia melihat Indonesia kini, dia pasti takut melihat FPI, tapi tak pusing tentang PKI.

Saya pun pamit, dan Piet melambaikan tangannya dengan wajah serius dan air mata berlinang, tanda bahagia. ‘Daaaag,’ serunya, lalu istrinya menyupir mobil mengantar saya ke stasiun.

Written by Aboeprijadi Santoso
Independent Journalist in the Fields of Anthropology, Political History, Political Science and Social History. Formerly with Radio Netherlands. Profile

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *